SBSINews – Saat diberi kesempatan untuk bertanya, calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo menanyakan infrastruktur apa yang akan dibangun lawannya, Prabowo Subianto, untuk membantu unicorn. Pertanyaan itu diajukan Jokowi pada debat kedua Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang digelar di Jakarta, Minggu (17/2/2019).

Prabowo sempat terlihat bingung dengan istilah unicorn itu. “Oh, yang Bapak maksud, yang online-online itu,” ujar calon presiden nomor urut 02 itu beberapa saat kemudian.

Lantas, apa sebenarnya yang dimaksu dengan unicorn itu?

Di dunia bisnis rintisan (startup), istilah unicorn itu bukan barang baru. Istilah unicorn muncul sejak beberapa tahun lalu sejak bisnis rintisan tumbuh subur di Amerika Serikat, Tiongkok, Jerman, Inggris, dan beberapa negara lain.

Kata unicorn mengacu pada bisnis rintisan yang memiliki valuasi lebih dari US$ 1 miliar atau sekitar Rp 14 triliun. Saat ini, sudah ada ratusan bisnis rintisan yang masuk dalam kategori unicorn. Model bisnisnya bermacam-macam, mulai dari keuangan, ritel, bahkan permainan (games) daring.

Secara harafiah, unicorn adalah jenis hewan dalam dunia khayal. Hewan itu berbentuk kuda dengan satu tanduk di atas kepalanya. Beberapa cerita dongeng juga memperlihatkan unicorn memiliki sayap, sehingga bisa terbang. Mungkin, karena hewan itu tergolong tidak mungkin didapatkan dan bisa terbang tinggi, maka digunakan sebagai kategori bisnis rintisan.

Menurut data CB Insights, bisnis rintisan pertama yang masuk kategori unicorn adalah Uber. Pada 2016 saja, bisnis rintisan asal AS yang berdiri pada 2009 itu telah memiliki nilai valuasi lebih dari US$ 51 miliar.

Di Tiongkok, bisnis rintisan yang masuk kategori unicorn adalah Xiaomi, yang dua tahun lalu memiliki valuasi sebesar US$ 46 miliar. Angka itu dicapai Xiami dalam jangka waktu 6 tahun. Di Indonesia, bisnis rintisan yang masuk kategori unicorn, antara lain Gojek, Traveloka, Bukalapak, dan Tokopedia.

Selain istilah unicorn, ada istilah lain di dunia bisnis rintisan itu. Ada juga istilah cockroach atau kecoa untuk bisnis rintisan yang valuasinya di bawah US$ 100 juta.

Namun, bisnis rintisan yang masuk kategori ini bukan sembarangan. Mereka juga harus mampu bertahan hidup lama, tidak mengeluarkan biaya pemasaran yang besar, serta melakukan banyak efisiensi dalam masalah keuangan dan operasional.
(Beritasatu.com)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here