DALAM negara hukum, kekuasaan negara dibatasi oleh Hak Asasi Manusia (HAM) sehingga aparatur negara tidak bisa bertindak sewenang-wenang dan diskriminatif dalam penegakan hukum terhadap warga negaranya.
Penegakan hukum yang terjadi belum seindah dambaan masyarakat yang sesungguhnya, sering kita mendengar keluhan masyarakat khususnya masyarakat yang jauh dari jangkauan pusat kekuasaan dan dan jauh dari liputan media massa bahwa laporan pengaduan masyarakat kepada pihak-pihak yang berwenang belum terselesaikan dengan baik bahkan kadang kala ada tanggapan tetapi tidak berujung tanpa alasan yang tidak jelas, hingga seringnya jawaban aparat sedang diproses karena sedang mencari alat bukti dan saksi-saksi tetapi tidak jelas kapan berakhir.
Akhir-akhir ini beragam kasus menghebohkan yang terjadi di Indonesia, seperti tragedi Perdagangan Orang (Human Trafficking/HT) di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menimpa TKI di Malaysia Adelina asal NTT dan teman-temannya. Mulai bulan Januari hingga 16 Maret 2018 yang menjadi korban perdagangan orang dengan kondisi mayat telah berjumlah 16 orang hanya dari Malaysia.
Artinya setiap minggu ada 2 orang TKI korban Human Trafficking (HT) kondisi meninggal hingga ada jahitan dari leher hingga ke bawah pusar dikirim dari Malaysia ke NTT, kejadian ini patut diduga ada kehilangan organ untuk diperjual belikan oleh pihak-pihak tertentu. Atas kejadian HT ini Pemerintah Indonesia belum maksimal menanganinya sehingga pada tanggal 5 Maret 2018 Aliansi Persada Indonesia pun melakukan Demonstarasi Damai di Kedutaan Malaysia Kuningan, Jakarta Pusat yang dihadiri sekitar 500 orang untuk menuntut pertanggungjawaban dari Negara Malaysia dan Indonesia baik secara Pidana dan Perdata.
Apa dikata, hingga saat ini keluarga dari korban HT belum jelas kapan mendapat ganti rugi atas derita yang mereka alami. Dengan kondisi ini mengapa pemerintah pusat maupun Pemda NTT sangat lambat merespon atau berdiam diri? Apakah rakyat kecil di NKRI ini masih mendapat perlindungan hukum dari negaranya ?
Mudah-mudahan aparat penegak hukum dan pemerintah ke depan lebih tanggap menanganinya tanpa pandang bulu sehingga diharapkan dapat berkurang korban (Human Traffiking). Dan kemudian kelak akan memberikan rasa keadilan yang sama bagi masyarakat pencari keadilan.
Melihat potret penanganan kasus seperti di atas, ada kasus lain di Sumba Barat Daya yang penanganannya sangat lambat, karena hingga saat ini laporan yang dibuat pada bulan Juni 2014 oleh keluarga terpidana 20 tahun atas nama Mase Umbu Deta STh., S.H., (disebut Manase) dan teman-teman di Polres Waikabubak-Sumba Barat Daya belum jelas ujungnya. Adapun kronologis singkat kejadiannya sebagai berikut.
Manase adalah seorang rohaniwan gereja sekaligus aktivis anti korupsi yang juga masih sebagai pengurus Lembaga Hak Asasi Manusia Internasional (Leadham Internasional) sedang menjalani masa hukuman 20 tahun di Lapas Waingapu Sumba Timur. Manase sering kali vokal menyuarakan kasus-kasus korupsi dan kebijakan-kebijakan pejabat yang dinilainya gagal membangun di wilayah Sumba Barat dan sekitarnya. Hal ini terbukti dengan tingginya angka kejahatan, kemiskinan, dan buta huruf.
Karena kevokalannya itu pula ia harus berpisah dengan korban pembunuhan (Alm. Pendeta Filmon Neno) dari pelayanan gereja yang sebelumnya telah mereka rintis. Dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanan bersama korban, Manase menemukan bukti-bukti kejanggalan dalam perjalanan pelayanannya dengan korban (Alm. Pendeta Filmon Neno) dan menyampaikannya ke intansi-instansi terkait perihal kejanggalan-kejanggalan tersebut karena memang ada yang menyimpang dari agenda yang mereka rencanakan dan berdampak kepada masyarakat luas.
Namun demikian, tidak pernah terbersit sedikitpun niat jahat di benak Manase untuk merampok, melukai, apalagi membunuh Pendeta Filmon sebagaimana barang bukti yang dihadirkan Jaksa Penuntut di dalam persidangan Manase. Semua perjuangan anti korupsinya merupakan wujud dari tanggungjawabnya sebagai seorang aktivis anti korupsi dan rohaniwan yang memimpikan daerahnya yang lebih baik dari sekarang, dapat memberantas angka buta huruf yang masih tinggi, mengurangi kemiskinan dan membrantas korupsi sehingga kelak penduduk di Sumba akan lebih baik kehidupannya.
Dari tindakan-tindakan yang sering vokal tersebut akhirnya Manase harus menjadi korban yang diduga kuat terjadi rekayasa kasus pembunuhan dan penganiayaan berat oleh aparat kepolisian yang kuat dugaan didalangi oleh oknum-oknum pejabat yang terusik atas kevokalannya demi memperjuangkan anti-korupsi di kampungnya selama ini.
Manase telah ditetapkan oleh Polres Waikabubak, Sumba Barat sebagai aktor intelektual pembunuhan berencana sekaligus sebagai pelaku pembunuh dan perampok kejadian pada malam 25 Juni 2014. Manase dituduh telah membayar Terpidana Yosef Jano dan teman-teman dengan uang senilai Rp 500 ribu dan menjanjikan Rp 18 juta kepada para Terpidana lainnya untuk membunuh korban, padahal sesuai dengan barang bukti dan pengakuan Manase, Yosef Janu dan teman-teman di dalam persidangan mereka tidak pernah mengetahui terkait pembunuhan mendiang Pendeta Filmon Neno karena senyatanya Manase berada di Jakarta selama satu bulan saat kejadian pembunuhan yaitu berangkat dari Sumba (Waingapu) tanggal 6 Juni 2014 dan pulang ke Sumba Barat pada tanggal 6 Juli 2014 guna menghadiri acara pertemuan di Lembaga Advokasi Hak Asasi Manusia Internasional (Leadham International) dan kegiatan lainnya.
Kemudian untuk menjawab DPO tersebut Manase dengan niat baik pada tanggal 6 Juli 2014 pulang dari Jakarta menuju Waingapu, Sumba, kemudian pihak Polres Sumba Barat tiba di Polres Waingapu dan langsung membawa Manase ke kantor Polres Sumba Barat Waikabubak.
Selanjutnya penyidik menahan Manase selama 120 hari mulai dari tanggal 7 Juli sampai 3 November 2014. Selama masa penahanan dan pembuatan BAP serta rekonstruksi perkara, Manase di dalam persidangan mengaku bahwa aparat telah menganiaya dirinya secara keji yang mengakibatkan luka-luka di sekujur tubuhnya, mengalami gangguan pengelihatan dan konsentrasi akibat kepalanya dibenturkan berkali-kali ke tembok hingga berdarah, tiga rusuknya bengkak dan kuku induk jari kakinya lepas akibat ditindis dengan meja selama dalam penahanannya. Akibat dari penganiayaan tersebut semuanya ini telah diperlihatkan kepada Majelis Hakim di persidangan tanggal 23 Januari 2015.
Selain bukti kejanggalan-kejanggalan di atas yang dihadirkan dalam persidangan ada juga bukti tiket pulang-pergi, foto-foto kegiatan dan agenda dari Manase dalam rangka mengikuti serangkaian kegiatan yang diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Pusat Leadham Internasional dan PT. UFO. Seluruh bukti yang dihadirkan dalam persidangan sudah cukup membuktikan bahwa Manase berada di Jakarta selama satu bulan.
Sehingga pada malam 25 Juni 2014 terjadi pembunuhan mendiang Pendeta Filmon di Waikabubak, Sumba Barat dengan terang bukti tiket pulang-pergi, foto-foto kegiatan dan agenda dari Manase dalam rangka mengikuti serangkaian kegiatan di Jakarta telah membuktikan pada saat kejadian pembuhunan mendiang Pendeta Filmon tersebut Manase sedang di Jakarta yaitu berada di sekretariat Leadham di jalan I Gusti Ngurah Rai No.15, Jakarta Timur. Saksi yang melihat dan bersama Manase pada saat itu adalah Pendeta Yusup L. Tobing dan pengurus Leadham lainnya.
Walaupun bukti-bukti dan saksi-saksi sudah dihadirkan dalam persidangan tetapi Manase tetap dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai perencana dan pelaku pembunuh mendiang Pendeta Filmon, padahal JPU tidak pernah membuktikan ada tiket pesawat pulang bahwa Manase ada di Sumba sebelum waktu ada kejadian pembunuhan mendiang Pendeta Filmon yaitu tanggal 25 Juni 2014.
Selama persidangan Kuasa Hukum banyak menemukan kejanggalan alat bukti yang tidak bersesuain dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sehingga kuasa hukum meminta Ketua Majelis yang memimpin persidangan untuk menghadirkan oknum polisi yang diduga menganiaya dan merekayasa BAP untuk hadir dalam persidangan, tetapi seluruh oknum polisi tidak satupun hadir dalam persidangan dengan alasan sedang cuti dan tugas luar.
Selain itu Kuasa Hukum pun meminta kepada Majelis Hakim agar mengulang persidangan dari awal sehingga kebenaran materil dari perkara tersebut dapat terungkap, sayangnya wakil Tuhan, Ketua Majelis yang mulia menjawab tidak ada diatur dalam KUHAP.
Pada tanggal 27 Maret 2015, sesuai dengan Putusan nomor : 139/PID.B/2014/PN.WKB tanggal 27 Maret 2015 Majelis Hakim akhirnya memutus terdakwa Manase terbukti bersalah sebagai perencana dan sekaligus pelaku pembunuhan bersama-sama dengan ke tujuh terpidana lainnya hingga menghukum Manase dengan pidana penjara selama 17 tahun.
Bahwa 4 (empat) dari 6 (enam) terpidana yang menurut dakwaan Jaksa sebagai pelaku pembunuh Pendeta Filmon adalah buta huruf telah mencabut BAP yang dibuat polisi karena BAP penuh rekayasa.
Bahwa dikarenakan banyaknya kejanggalan atas perkara ini dan hingga adanya putusan yang tidak memberikan rasa keadilan, Manase telah melakukan upaya-upaya yaitu:
- Banding dan Kasasi. Sesuai petikan putusan MA Nomor: 1002 K/Pid/2015 tanggal 21 September 2015 menghukum Manase 20 tahun Penjara.
- Melaporkan pihak oknum polisi yang menganiaya ke Propam Polres Waikabubak pada bulan Juni 2014, ke Propam di Mabes, ke Propam Kupang dan Polres waikabubak.
- Melaporkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada Pengawas Kejaksaan.
- Melaporkan Majelis Hakim kepada Komisi Yudisial (KY).
- Melaporkan Majelis Hakim kepada Komisi Pengawas Hakim.
- Melaporkan Aparat Polisi Polres Sumba Barat kepada Komisi Ombudsman RI.
- Melaporkan Aparat Polisi Sumba Barat ke KOMNAS HAM RI.
- Melaporkan Aparat Polres Sumba Barat melalui KOMPOLNAS RI tidak ada progressnya.
Seluruh laporan di atas sudah 6 bulan lebih dilaporkan tetapi belum ada ujungnya. Yang lebih menyakitkan aparat penegak hukum yang diduga menganiaya dan korban penganiayaan belum diperiksa secara pelaku penganiaya, sehingga masih menyisahkan pertanyaan bagi masyarakat Waikabubak-Sumba Barat dan sekitarnya, siapa pembunuh dan pelaku sebenarnya ? Kenapa begitu lama bahkan cenderung mandeg atas laporan Manase di atas? Tidakkah semua masyarakat mempunyai hak dan kedudukan yang sama dimata hukum?
Dengan gambaran kejadian di atas semoga lebih baik lagi pengawasan dari aparat penegak hukum dari pemerintah pusat ke seluruh daerah-daerah, khususnya daerah pulau-pulau yang jauh dari pemerintah pusat dan jauh dari liputan media massa nasional. Sehingga penegakan hukum di negara ini tidak lagi tumpul ke atas tajam ke bawah.
Semoga kasus ini dapat menjadi perhatian Bapak Presiden, Bapak Menteri Tenaga Kerja, Bapak Mahkamah Agung, Bapak Jaksa Agung dan Bapak Kapolri sehingga seluruh permasalahan di atas dapat selesai sebagai mana mestinya hingga kelak dapat mengungkap apa motif kejadian dan siapa perencana dan pelaku sebenarnya yang akhirnya memberikan keadilan bagi semua korban dikemudian hari.
Ditulis Oleh: HENRI LUMBAN RAJA, SE., S.H., M.H. (Advokat, Kurator dan HKHPM)