Oleh : Andi Naja FP Paraga
Politikus atau politisi tentu seseorang yang berjuang untuk perbaikan bangsa melalui jalur politik yang tersedia yaitu Presisen-Wakil Presiden, MPR, DPR dan DPD RI ditingkat pemerintahan pusat. Sedangkan di daerah tersedia jalur politik untuk menjadi Gubernur,Wakil Gubernur,Bupati,Wakil Bupati,Walikota dan Wakil Walikota ditambah DPRD tingkat Propensi dan Kabupaten.
Politikus atau politisi bisa melalui jalur partai politik atau non partai politik untuk mencapai posisi yang tersedia.
Belakangan ini muncul diksi-diksi menjadi pilihan yang menggambarkan situasi politik dari pelaku politik saat ini antara seperti politikus sontoloyo dan politikus gondoruwo yang justru diungkapkan oleh Calon Presiden Petahana Ir H Joko Widodo.
Tentu pilihan diksi ini sangat beralasan mengingat masih maraknya provokasi SARA,hate speech dan Hoax. Ajakan Presiden untuk meninggalkan atau Hijrah dari ujaran kebencian kepada ujaran kebenaran seolah tak diabaikan.
Sebagai orang jawa Calon Presiden Petahana Ir H Joko Widodo sangat faham arti kata “Sontoloyo dan Gondoruwo” dua jenis setan dalam bahasa jawa.
Pemilihan diksi-diksi ini tentu sudah dipertimbangkan dan diperhitungkan dengan matang termasuk resiko – resiko yang ditimbulkannya di kemudian hari terutama resiko yang mungkin muncul saat pemilihan legislatif dan pemilihan presiden 2019.
Patut disayangkan sebulan sudah kampanye Pemilu 2019 berlangsung belum terlihat tawaran program untuk rakyat khususunya dari pihak tim calon presiden dan wakil presiden bukan petahana yang pasti sangat ditunggu-tunggu, padahal rakyat membutuhkan program-program pembanding yang lebih solutif bahkan lebih revolusioner.
Setiap hari rakyat hanya disodorkan kritik tanpa solusi sehingga tak sedikit pun yang kita ketahui apa sesungguhnya program dan ide perbaikan yang dapat menjadi alasan untuk menentukan pilihan kepada Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden bukan petahana. Ketika Calon Presiden Prabowo Subianto memastikan tidak adanya impor selama pemerintahannya jika terpilih justru diluruskan oleh Calon Wakil P Presiden Sandiaga Uno dengan mengatakan tetap ada hal-hal yang diperoleh dengan cara impor. Pasangan Capres-Cawapres bukan petahana ini juatru saling berbeda soal impor.
Sementara itu narasi – narasi politik yang mengesankan pemerintah gagal, anti islam, anti ulama terus ada bahkan semakin deras walaupun pemerintah telah menyediakan dan menyodorkan fakta dan data terkait keberhasilan pembangunan aelama lima tahun.
Pemerintah terus membangun komunikasi dengan umat islam dengan semakin memaksimalkan bahkan memperindah hubungan dengan para ulama. Program – program pembangunan aspek keislaman baik aspek pendidikan, keterampilan, kesejahteraan dan akhlak/budi pekerti menjadi prioritas pemerintah.
Presiden yang paling rajin berkunjung ke pondok-pondok pesantren selama ini adalah Presiden Joko Widodo yang sekaligus Calon Presiden Petahana.
Kedekatan Presiden Ir H Joko Widodo dengan tokoh-tokoh ulama dari berbagai ormas islam sejak menjadi presiden hingga saat ini patut diapresiasi.
Politikus-Politisi yang membolak – balikkan fakta – fakta tersebut disebut oleh Calon Presiden Nomor urut 01 sebagai politikus sontoloyo. Ini merupakan sebuah diksi yang pernah digunakan oleh Presiden Soekarno ketika menghadapi para politikus dan suasana politik di era pasca kemerdekaan. Ruang publik pun menjadi ramai begitu media menblow-up diksi Sontoloyo Presiden Joko Widodo ini dan seperti biasa pro kontra tak bisa dihindari mengalir deras seperti banjir bandang. Itulah fakta yang terang benderang bahwa banyak politikus-politisi Sontoloyo.
Kini Calon Presiden Petahana Ir H Joko Widodo memunculkan lagi diksi”Politik Gendiruwo” merespon maraknya praktek praktek politik yang menakut-nakuti masyarakat dan menjadi narasi-narasi politik yang tidak mendidik apalagi mencerdaskan.
Hal ini tentu dapat dipahani bagaimana narasi yang terbangun ketika nilai rupiah turun terhadap dollar. Narasi -narasi seolah ekononi indonesia terancam dibangun sedemikian rupa tentu hal ini menimbulkan ketakutan-ketakutan ditengah masyarakat, padahal hal yang sama juga terjadi di negara lain.
Belum lagi sebelumnya beberapa gerakan teroris bahkan berani menyerang kantor-kantor polisi,bahkan tahanan teroris memberobtak dan menyandera polisi dan tahanan lainnya. Tentu kedua kejadian ini tak lepas dari politisasi sehingga menghadirkan suasana mencekam. Politisasi peristiwa-peristiwa ini sangat wajar disebut”Politik Gendoruwo”.