Oleh: George aka Tilaria Padika

Saya sudah pernah ceritakan, Lebaran tahun lalu saya berada di Oh’aem I, desa di kaki Bukit Batu Kauniki, benteng pertahanan Sonbai dalam perang melawan Belanda. Saat itu festival pangan lokal sedang digelar di sana.

Oha’em I terletak di Kecamatan Amfo’ang, Kabupaten Kupang. Setiap berada di wilayah Amfo’ang, saya selalu merasa baru saja melewati portal teleporter seperti di film Star Trek, tiba-tiba pindah dari Kupang ke suatu tempat di antah-berantah.

Kupang itu kuning dan hitam oleh rumput mengering dan tonjolan tajam bebatuan karang. Amfo’ang adalah hijau mengepung pandangan. Kupang itu karang, lontar, sabana; Amfoang itu pohon, sungai, beragam pangan.

Yang bikin saya takjub, penduduk Ohaem I mendomestifikasi tetumbuhan sumber pangan yang lazimnya di tempat lain dibiarkan tumbuh di hutan, ladang bera, atau di tepi sungai. Di Ohaem, beragam uwi (dioscorea), berbagai varian talas, dan macam-macam kacang hutan sengaja ditanam di pekarangan belakang rumah (Om-Tante perlu baca sistem pencadangan pangan orang Timor dalam artikel “Menanggapi Artikel “Orang Sumba Makan ‘Ughi'” dan Konsep Manajemen Pangan di Timor”).

Orang-orang Ohaem I mengaku tidak pernah kesulitan pangan. Bukan hanya karena mereka melestarikan beragam sumber pangan lokal melalui domestifikasi, melainkan juga karena kondisi alam sangat mendukung kelimpahan berjenis-jenis tanaman pangan yang lazim tumbuh di daerah pegunungan.

Namun, seorang bapak–saya lupa namanya–yang ringan hati ceritakan banyak hal kepada saya mengeluhkan kondisi di desa itu. Menurutnya, manusia tidak cuma butuh makan. Orang harus berpakaian, lengkap dengan kancutnya; harus beli sabun dan odol gigi; perlu pulsa telepon agar bisa menghubungi kerabat dekat yang tinggal jauh. Beragam kebutuhan itu tak bisa ditanam. Sesuatu harus dijual terlebih dahulu agar ada uang guna membeli barang-barang tadi.

Menurut si Bapak, uang tunai susah diperoleh sebab orang-orang Ohaem kesulitan mengakses pasar. Pasar mingguan di kecamatan tak banyak membantu karena pedagang dan pengunjung memiliki barang serupa: aneka bahan pangan.

Menjual dagangan mereka ke pasar di Kota Kupang bukan opsi menguntungkan.

Jarak Ohaem I ke Kupang lebih dari 100 km. Dengan kondisi jalan yang buruk, dibutuhkan waktu tempuh kurang lebih 5 jam jika menggunakan kendaraan pribadi. Kalau menumpang kendaraan umum—yang terbatas jumlahnya itu—butuh waktu 7 jam mencapai kota.

Lamanya waktu tempuh membuat sayur-mayur sudah layu setiba di kota. Siapa mau membeli dengan harga pantas?

Sama saja jika mereka menjual hanya bahan pangan awet simpan, seperti jagung, keladi, uwi, singkong, labu, pisang.

Buruknya kondisi jalan raya berbuntut tingginya biaya transportasi. Sekalipun ada pedagang dari kota yang mendatangi Ohaem untuk membeli bahan pangan orang desa, si pedagang terpaksa menimpakan beban biaya transportasi ke petani (menurunkan harga) dan pembeli di kota (menaikkan harga). Jika tak begitu, si pedagang sudah pasti rugi. Siapa mau berusaha hanya demi merugi?

Sampai di sini Om-Tante mungkin sudah bisa membaui hubungan antara infrastruktur jalan raya dengan pasokan dan harga pangan di kota.

Maka patut dipertanyakan kewarasan para pemuja Rocky Gerung ketika mereka berteriak-teriak di depan Istana Merdeka sambil mengusung poster ‘kami tidak makan infrastruktur’ dan ‘kami tidak makan aspal’. Benar-benar unjuk rasa politis orang-orang kurang akal.

Mereka buta kondisi bahwa harga daging sapi di Jakarta sulit ditekan selama jalan raya di daerah-daerah sentra peternakan sapi tidak diperbaiki.

Sapi-sapi hidup dari Timor itu masih saja mahal meski sudah ada kapal khusus pengangkut sapi untuk menjamin orang Jakarta yang egois bisa makan daging dengan harga murah.

Seorang kawan yang pernah meneliti rantai nilai sapi bercerita, sapi diangkut dari desa-desa menggunakan truk. Buruknya kondisi jalan menyebabkan banyak sapi cedera, patah kaki. Ada pula yang jadi emohmakan selama masa karantina hingga pelayaran ke Jakarta karena stres, mungkin batinnya terguncang. Jangan salahkan sapi. Mereka tak dididik untuk paham dan tabah bergucang-guncang di atas truk.

Sapi yang cedera atau enggan makan adalah susut yang membebani pedagang antarpulau, mengurangi keuntungan, bahkan bisa bikin tekor. Lalu kepada siapa pedagang harus bebankan biaya itu jika bukan pada setiap kilogram sapi yang tiba selamat di Jakarta?

Karena itu orang-orang yang menuntut pangan murah sambil mencibir pembangunan infrastruktur jalan di kawasan timur Indonesia adalah kaum khufur nikmat.

Tak masalah jika mereka mengeluh dan memprotes gejolak harga beberapa komoditas pangan saat nilai tukar dolar sedang kuat-kuatnya terhadap rupiah. Saya pun mengeluhkannya. Harga produk pangan yang banyak mengandung input impor, seperti ayam potong dan telur, memang naik signifikan beberapa saat.

Namun secara umum, kita tak bisa menutup mata begitu saja terhadap prestasi penting pemerintahan Jokowi menjaga harga pangan stabil. Pada 2014, inflasi tahun kalender komponen bahan pangan masih dua digit, sebesar 10,57%. Artinya harga bahan pangan naik 10,57 persen antara Desember 2013 ke Desember 2014. Pada tahun-tahun selanjutnya, inflasi tahun kalender bahan pangan hanya 1 digit. Inflasi bahan pangan 2017 bahkan tak sampai 2 persen. Ini satu-satunya prestasi luar biasa semenjak Republik Indonesia berdiri. Mengabaikan ini adalah sehebat-hebatnya kemunafikan dan tak tahu bersyukur.

BPS. Tabel Dinamis Inflasi Tahun Kalender (Kelompok Pengeluaran) I Bahan Makanan
Politisi oposisi yang agak waras–tidak beralasan soal harga pakai rasa seperti lazimnya–mungkin akan mendebat, ah inflasi bahan pangan terjaga karena pemerintahan Jokowi mengandalkan impor.

Argumentasi seperti ini separuh benar. Betul bahwa impor masih jadi salah satu instrumen ketahanan pangan kita. Salah satu berarti bukan satu-satunya. Rendahnya inflasi bahan pangan juga disebabkan peningkatan produksi dan penurunan harga produk pangan dalam negeri.

Peningkataan produksi bisa terjadi karena ada peningkatan gairah produksi petani oleh meningkatnya margin usaha. Alat ukur untuk ini adalah Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP).

NTUP mengukur rasio antara harga input usaha pertanian—biaya produksi dan barang modal– yang petani bayarkan dengan harga output (komoditas pertanian) yang petani terima.

Pada 2014, NTUP hanya sebesar 106,05. Artinya meski untung, jumlahnya tak terlalu besar. Dari setiap belanja modal dan ongkos produksi Rp 10 juta, petani cuma untung bersih Rp 605 ribu. (NTUP 100 berarti besarnya biaya produksi dan barang modal setara dengan pendapatan petani). Namun, NTUP terus naik di tahun-tahun selanjutnya, menjadi 107,44 (2015), 109,83 (2016), dan 110,03 pada 2017.

Apa yang membuat nilai tukar usaha pertanian terus meningkat?

NTUP bisa terus naik jika laju kenaikan harga input yang petani bayar lebih rendah dibandingkan laju kenaikan harga komoditas pertanian yang petani dapatkan. Salah satu faktor kontributor kondisi ini adalah peningkatan prasara transportasi.

Jalan raya yang baik akan menekan biaya angkut barang-barang industri dari kota (termasuk pupuk, benih, obat-obatan, alat dan mesin pertanian); harga atau biaya yang dikeluarkan petani lebih rendah. Sebaliknya biaya angkut produk pertanian ke kota juga lebih rendah sehingga harga di tingkat petani menjadi lebih baik.

Meningkatnya NTUP berarti membesarnya insentif bagi usaha pertanian. Dalam bisnis, peningkatan insentif berdampak kepada peningkatan gairah usaha pertanian. Pada ujungnya, produksi pangan nasional meningkat hingga kondisi kemandirian pangan sangat mungkin terwujud.

Nah begitulah. Maka mulai sekarang berhentilah menjadi orang lucu yang menuntut harga pangan murah, menuntut hentikan impor pangan, tetapi menganggap remeh pembangunan jalan.

Sikap yang benar untuk memperjuangkan kemandirian pangan dan peningkatan akses pangan adalah mendukung Jokowi melanjutkan pembangunan infrastruktur jalan raya—tentu juga bendungan–ke pedesaan; peningkatan kapasitas petani (keahlian, modal murah, dan teknologi tepat guna); serta kepastian penguasaan lahan.

Jangan tiru kubu Prabowo-Sandiaga yang berteriak-teriak menjanjikan pangan murah dan penghentian impor pangan tetapi tak mampu menjelaskan bagaimana caranya. Kira-kira Prabowo sudah paham jalan keluar konkret untuk mewujudkan janji-janji atau masih dengan gaya lama, asal kritik dan obral janji abstrak.

George aka Tilaria Padika, Kompasiana
Senin, 4 Maret 2019

***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here