SBSINews – Kehadiran Peraturan Direksi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJSTK) Nomor : Perdir/3/022019 tentang Tata Cara Pemberian Bantuan Kegiatan Promotif dan Preventif BPJSTK merupakan hal yang baik untuk meminimalisir terjadinya kecelakaan kerja sehingga memastikan pekerja terlindungi dalam bekerja.
Aturan ini menggantikan Peraturan Direksi BPJSTK Nomor : Perdir/46/122016 tentang Tata Cara Pemberian Bantuan Kegiatan Promotif dan Preventif pada program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK).
Direktur Eksekutif BPJS Watch, Timboel Siregar, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (8/5/2019), nilai baik yang dikandung dalam Peraturan Direksi BPJSTK ini harus secara maksimal dimanfaatkan oleh perusahaan dan pekerja, dan diharapkan ke depan manfaat yang ada ini akan lebih menarik seluruh perusahaan untuk segera mendaftarkan pekerjanya ke BPJSTK.
Menurut Timboel, untuk memaksimalkan manfaat peraturan ini bagi seluruh perusahaan dan pekerja maka ada beberapa usulan atas isi peraturan ini yaitu, pertama, peraturan ini sebenarnya menempatkan pekerja sebagai subyek kegiatan promotif dan preventif, namun dalam proses pelaksanaannya BPJSTK tidak melibatkan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) atau perwakilan pekerja bila di perusahaan belum ada SP/SB.
Seharusnya BPJSTK juga berkomunikasi dengan SP/SB atau perwakilan pekerja, selain berkomunikasi dengan perusahaan. Dengan membangun komunikasi ini maka BPJSTK akan lebih komprehensif mendapat masukan tentang kondisi perusahaan sehingga program promotif dan preventif akan berjalan dgn baik dan secara signifikan melindungi pekerja dan perusahaan.
Kedua, ketentuan di Pasal 7 ayat (c) seharusnya memasukkan perusahaan daftar sebagian (PDS) upah sebagai persyaratan mendapatkan bantuan, tidak hanya PDS pekerja dan program. Faktanya banyak pengusaha yang melaporkan upah ke BPJSTK di bawah upah sesungguhnya (upah pokok + tunjangan tetap) yang diterima pekerja.
Ketiga, ketentuan Pasal 9 ayat (1a) tentang usia minimal pekerja yang mendapatkan bantuan medical check up yaitu 35 tahun, seharusnya medical check up bisa diberikan untuk seluruh pekerja tanpa persyaratan umur. Tentunya persyaratan tanpa batasan usia ini akan membantu BPJS Ketenagakerjaan dalam hal PAK (penyakit akibat kerja).
Keempat, ketentuan Pasal 9 ayat (1c) huruf (1b) tentang minimal nilai proyek Rp 200 juta yang berhak dapat APD (alat pelindung diri) dan sarana keselamatan dan kesehatan kerja (K3), sebaiknya tidak mensyaratkan nilai proyek karena pekerja-pekerja yang bekerja di proyek yang bernilai di bawah Rp 200 juta juga butuh APD dan sarana K3.
Bukankah pekerja-pekerja di proyek konstruksi di bawah Rp 200 juta juga wajib ikut jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JKm) dan iuran mereka ikut bergotong royong di JKK,JKm, tetapi kenapa didiskriminasi mendapatkan APD dan sarana K3.
“Semoga peraturan direksi ini benar-benar bisa bermanfaat utk seluruh perusahaan dan pekerja kita. Peraturan ini harus disosialisasikan ke seluruh perusahaan dan pekerja (SP/SB),” kata dia. (Simber: beritasatu.com)