SBSINEWS – Seribuan nelayan di Kota Sibolga dan Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng), Propinsi Sumatera Utara (Sumut) dilaporkan menganggur akibat dari terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) nomor 71 tahun 2016 tentang pemberhentian operasional kapal pukat ikan.
“Kapal pukat ikan ini sempat beroperasi, namun sebulan terakhir, tidak diperkenankan lagi, karena penegakan hukum di laut. Penegakan hukum di laut telah memaksa nelayan tidak berani berlayar, sehingga untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka sehari – hari menjadi sulit,” kata Ketua Persatuan Pekerja Kapal Ikan (Perkalin) Sibolga-Tapteng, Binner Siahaan, usai mengikuti rapat dengar pendapat bersama Komisi II DPRD Sibolga, Selasa (30/10). Binner berharap pihak legislatif dapat mencarikan solusi, seperti menyalurkan bantuan kepada nelayan, atau memberi izin kapal untuk melaut. ( Dikutip dari Gatra.com).
Sebab, bantuan nelayan yang dijanjikan pemerintah pusat juga tak kunjung disalurkan. “Kita masih melakukan cara – cara terbaik, meminta supaya persoalan ini diselesaikan. Demo bisa saja, karena memang nelayan sudah lapar,” imbuh mantan anggota DPRD Kota Sibolga ini.
Dengan Peraturan Meteri Kelautan tersebut memang banyak merugikan para telayan, tetapi juga bagi para nelayan penangkap lobster. Hal ini seperti disampaikan oleh salah satu perwakilan nelayan dari Banten dalam acara seminar nasional dengan tema “Laut Kaya, Nelayan Sejahtera, Industri Maju, Negara Maritim Kuat” di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (27/10) yang diselenggarakan oleh Partai Nasdem. Acara tersebut dihadiri oleh perwakilan nelayan seluruh Indonesia (sumber: RMOL.CO)
Perwakilan nelayan dari Banten dalam seminar tersebut menyebutkan bahwa ada nelayan yang dipenjarakan karena menangkap lobster. Ternyata hewan bercapit yang tertangkap itu dilarang dijual karena merupakan jenis lobster yang khusus untuk dibudidayakan.
“Teman-teman saya dipenjarakan akibat Permen 56/2016 Pasal 7 ayat 1,” ujar pria berjaket hitam dengan menggebu-gebu.
Setelah terbitnya Permen 56/2016, pemerintah menjanjikan akan memberikan bantuan berupa alat tangkap yang lebih ramah lingkungan, tetapi hal itu tidak kunjung tiba.
Pelaku usaha perikanan diakui, ingin dan bersedia mengganti alat tangkap ikan menjadi alat tangkap ramah lingkungan. Namun, bantuan yang dijanjikan pemerintah untuk mengganti alat tangkap belum juga terealisasi.
Sehingga nelayan terpaksa menggunakan alat tangkap yang selama ini digunakan. Sementara untuk merombak kapal, membutuhkan biaya yang cukup besar.
“Mana bantuannya? Jangan nelayan yang disalahkan terus,” tegas Binner Siahaan.
Dengan terbitkannya Peraturan Menteri Perikanan Nomor: 56 Tahun 2016, Ketua konsolidasi DPP SBSI Amser Hutauruk sudah pernah membawa delegasi nelayan ke kementerian perikanan dan kelautan, tetapi pihak kementerian tidak perduli dengan hal itu. Dan beberapa kali mendesak ke Eselon Satu dan Dua. Kelihatannya visi kesejahteraan menteri kelautan tidak jelas. Populer tetapi nelayan semakin menderita. (SM)