Sejatinya, perjuangan untuk melawan impunitas, penegakan HAM dan Keadilan adalah perjuangan politik. Karenanya, untuk bisa memenangkannya, kita harus masuk ke medan-medan pertempuran yang disediakan oleh sistem yang kita menangkan setelah menumbangkan kediktatoran pada tahun 1998.

Politik perjuangan saya ada di beberapa tingkatan. Personal, kolektif, generasi dan kebangsaan. Dari sana, saya memutuskan dan memilih untuk tidak memberikan sedikitpun kesempatan kepada mereka yang telah saya, kami dan kita lawan dengan berdarah-darah pada masa kediktatoran, lalu taklukkan (Alhamdulillah), untuk memegang kekuasaan politik tertinggi di Republik ini.

Memberi peluang mereka berkuasa, bagi saya adalah proses pendelegitimasian dan penihilan atas usaha, pengorbanan dan pencapaian perjuangan gerakan demokrasi 1998. Membiarkan mereka berkuasa adalah memberi restu (condone) atas praktik-praktik korupsi, pelangaran-kejahatan HAM, pembohongan, kediktatoran. Saya memilih untuk menutup pintu rapat-rapat dan tidak pernah mau memberi karpet merah untuk mereka yang telah merampas dan mengoyak-oyak kemanusiaan.

Secara personal, saya tidak bisa membayangkan bahwa di suatu masa (semoga tidak pernah terjadi) saya harus memberi hormat dan merapal lirih doa-doa untuk keselamatan, kesejahteraan dan kebijaksanaan seorang pemimpin, sementara saya tahu bahwa “pemimpin” tersebut adalah orang yang telah menyakiti dan menciptakan penderitaan bagi saya, keluarga saya, kawan-kawan saya, kelompok masyarakat lain dan Indonesia.

Karena itulah saya memilih dan berpihak. Berpihak kepada mereka yang, sebagaimana pernah diajarkan oleh kaum yang menderita, kaum bijak dan oleh sejarah, memberi lebih besar harapan.

Argentina, Chile, Brazil dll membutuhkan beberapa dekade untuk mengungkap kebenaran, memulihkan korban dan memenjarakan penjahat kemanusiaan. Mereka perlu menunggu pergantian rejim berkali-kali untuk merealisasikan mimpi membenamkan impunitas dan mengekalkan memori. Yang dibutuhkan, kesabaran, keuletan, kegigihan, dan untuk terus berjuang. Bukankah “the struggle we lose is the struggle we abandon!”, demikian kata kawan kami Patricia Isasa dari Argentina berbagi resep. Resep yang akhirnya bisa membuatnya mengirim 4 pejabat junta Argentina yang memperkosa dan memerintahkan pemerkosaan pada dirinya tahun 1978 lalu ke dalam penjara. Dan ini terjadi baru sekitar 5 tahun lalu.

Tidak perlu banyak teori untuk menjustifikasi perlunya keberpihakan dan penolakan atas kemungkinan kembalinya kediktatoran. Ibu-ibu yang anak-anaknya menjadi korban penyiksaan, penghilangan dan pembunuhan di negara-negara Amerika Latin pernah berseru saat Kongres 1 FEDEFAM di San Jose Costa Rica tahun 1981, agar tidak sia-sia pengorbanan anak-anak mereka. “No hay dolor inútil.”

Dicuplik dari tulisan Mugianto Sipin, sala seorang aktivis korban penculikan Orde Baru

#Sikap #Impunitas #Pilpres #HAM #Keadilan #Korban

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here