Oleh: Jacob Ereste

JAJARTA SBSINews – “Perjalan Sunyi” puisi karya Kang Endin ini ditulis di Pelabuhan Ratu, pantai Selatan pada 21 September 2018. Sejujurnya lama juga untuk kupahami, apa sesungguhnya yang hendak dia sampaikan lewat karyanya ini. Setidaknya lebih dari sekali telah kubaca puisi ini, hingga harus dibawa tidur agar bisa ikut mewarnai mimpi yang biasa menjadi putik inspirasiku menulis pangatar buku ini seperti yang dimintanya.

Malam sunyi tak ada cahaya/ hanya desir angin yang terdengar/ membawaku jauh mengembara/ memasuki rimba gunung dan lautan/ hutan dalam diri sendiri

Kulewati jalan tak ada kendaraan/ hanya terlihat rambu-rambu/ pasrahkan diri padaMu Illahi o……/ tak ada hanya terbukti memberi/ sebuah kenangan untuk diri sendiri

Tak terasa jarak kuberjalan mengembara/ istirahatku tak menentu aturan waktu/ selalu berubah-ubah dari hari ke harinya/ kuterjaga tiba-tiba ada yang masuk di kepalaku/ tang…..kudengar suara itu akan tetapi, entah.

Pelabuhan Ratu, 210918.

Saya kira puisi yang dijadikan judul dari antologi puisi “Perjalanan Sunyi” Kang Endin ini jelas hendak menggambarkan perjalanan spiritual dan intelektualnya, jadi bukan perjalan dalam arti umum yang sesungguhnya.

Ia menjadi semacam perjalanan bathin, pengembaraan intelektual dari proses kreatif dan berpikir, atau seperti pengembaraan ide dari proses yang bergairah penuh untuk mencari mencari dan menemukan jati dirinya yang sejati. Otentik.

Itulah sebabnya dari “Perjalanan Sunyi” puisinya Kang Endin ini tak ada rekam jejak visual yang dia gambarkan, kecuali hanya “hutan dalam diri sendiri”.

Jadi bolehlah dikata karya puisi Kang Endin yang berjudul “Perjalanan Sunyi” ini adalah perjalan bathin, atau pengembaraan intelektual sang penyair dalam usaha mencari jati dirinya yang sejati. Otentik !

Boleh jadi latar pengembaraan intelektualnya yang sepi, tak ramai dan tak hiruk pikuk seperti di sekolah formal atau kampus perguruan tinggi, karena semua dia lakukan sendiri secara mandiri. Seperti sekolah atau perguruan tinggi yang sering disebut “Universitas Jagat Raya”

Jadi sosok Kang Endin seperti seorang “yatim budaya” yang rindu kasih, rindu belaian dan rindu cumbuan puitik. Kemesraan dari dari dunia dan
lingkungan kesenian yang ramah mungkin tak pernah menyapanya.

Jalan kesenian yang dia tempuh mungkin sekali sungguh sepi. Dia sendiri ! Tak punya siapa-siapa. Tak ada siapa-siapa — mungkin pula tak ada apa-apa yang dapat dijadikannya sebagai andalan dan patokan.

Perjalanan Sunyi dan Pengembaraan Intelektual Kang Endin ini agak lebih tepat saya sematkan lewat pengantar singkat ini. Karena yang penting menurut saya Kang Endin sudah berkarya meski dalam suasana yang sunyi dan kesepian. Toh Olah pikir dan inisiatif yang kreatif toh tidak harus dalam suasana ria atau hingar – bingar guna mencapai klimaks atau semacam trance seperti yang selalu bisa digapai penyair sufi.

Sebagai penyair yang masih relatif muda dalam arti usia, siapapun pantas berharap Kang Endin kelak akan menduduki singgasana kepenyairan di Indonesia. Karena tak lagi ada Si Burung Merak. Tak lagi ada Presiden Penyair di Republik kita sekarang.

Artinya, dalam suasana damai pasti akan lebih baik mengambil alih kekuasaan dan tahta dari kepenyairan di Indonesia untuk terus dilanjutkan kehidupannya agar tidak sampai punah.

Itulah sebabnya saya suka kepada karya-karyanya Kang Endin, walau tak mustahil ada juga diantara masyarakat sastra yang tak suka. Karena setiap orang toh boleh berbeda selera. Tak perlu repot untuk menyeragamkan suka cita selera itu. Sebab perbedaan itu pun bagian dari rachmat Allah SWT yang patut disyukuri juga.

Selamat untuk Kang Endin. Genggamlah Tahta Penyair Indonesia. Sebab kau bagian dari ahli waris segenap yang ada di negeri ini.

Banten, 18 – 23 Desember 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here