Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 01 Joko Widodo (kiri) dan Ma'ruf Amin memberikan keterangan pers terkait putusan MK tentang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2019 di Lanud Halim Perdanakusuma Jakarta, Kamis (27/6/2019). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/aww.

Oleh: Sabinus Moa

Pemilu kali ini adalah Pemilu serentak pertama dalam sejarah Pemilu Nasional yaitu Pemilihan legislatif, DPD dan Pemilihan Presiden serentak pada 17 April 2019. Selain itu tahapannyapun sangat panjang yang diawali dari Agustus 2018 dengan pendaftaran Capres, masa kampanye yang panjang yaitu dari September 2018 sampai April 2019 dengan melalui tahapan debat Capres sebanyak lima kali dan pada pencoblosan dengan penghitungan suara yang sangat banyak yang memakan waktu hampir 20 jam sehingga banyak petugas yang kelelahan dan meninggal dunia. Selain itu hal yang tidak kalah melelahkan adalah beredarnya isu – isu hoaks dan isu sara yang begitu massif sehingga melelahkan pikiran untuk menjernihkan isu – isu itu yang hampir merutuhkan bangunan NKRI.

Munculnya isu bangkitnya PKI, isu terorisme, isu kafir, isu pro asing khususnya cina, sampai dengan isu penculikan anak, begal dan geng motor. Isu – isu yang disebar secara massif dan sistematif yang bertujuan untuk mengalihkan atau menciptakan ketidakpercayaan terhadap pemerintah dengan aparat penegak hukumnya yang mana kepala pemerintahan adalah calon petahana yang merupakan kompetitor super berat yang wajib di lemahkan.

Isu yang paling fenomenal adalah menganiayaan terhadap aktivis gaek Ratna Sarumpaet yang yang melibatkan Capres 02 Prabowo bersama tokoh pendukung uatamanya seperti Amin Rais, fadli Zon, Said Igbal dan Gumbernur DKI. Isu ini mau sengaja membangun opini bahwa pemerintah tidak sanggup melindungan rakyatnya, maka dibangunlah wacana untuk mendelegitimasi pemerintah. Semua ternyata bangunan hoaks yang diupayakan untuk menggelembung dan membangkitkan kemarahan rakyat.

Isu itu dihembuskan dan selalu disambut oleh Rachel Maryam, Ferdinand Hutahaean, Andi Arief, Hanum Rais dan politikus PKS Fahri Hamzah pun ikut mengutuk kasus itu. Dan setiap kali muncul isu, politisi – politisi itulah yang menyambut dan mebangun wacananya, seperti halnya berita bertruk – truk surat suara dari cina yang sudah tercoblos, pemilih gelap dari Cina sampai dengan bangunan isu bahwa pemilu ini curang walaupun belum ada bukti. Kita yang mendengarnyapun lelah apalagi aparat pemerintah.

Hampir setiap bulah orang ditangkap karena menyebarkan berita hoaks. Kita yang setiap saat aktif di medsos juga sangat lelah menantang gelombang isu disintegarasi bangsa yang kencang menerpa. Isu – isu yang bertujuan memberi penegasan bahwa hal – hal yang diwacanakan itu adalah pro terhadap calon petahana yang sedang berkuasa maka calon itu harus dilawan dengan tidak memilihnya pada hari pencoblosan, jika sampai petahana menang makan NKRI akan punah dan kafir berkembang pesat. Wacana itu masih behembus samapai saat ini, pasca Putusan MK.

Sampai pada peristiwa kerusuhan 22 Mei pasca pengumuman rekapitulasi suara oleh KPU, kerusuhan yang diawali dengan demo oleh berbagai ormas pendukung capres 02 termasuk eks HTI dan FPI. Peristiwa ini sengaja diciptakan untuk meciptakan kerusuhan dan sekali lagi mendelegitimasi pemerintahan Jokowi. Kerusuhan ini sengaja diciptakan dengan mendeasain benturan antara aparat dan sipil dengan menciptakan meninggalnya 8 orang yang sengaja dikorbankan.

Aksi massa ini kemudian sengaja di gerakan kembali untuk menekan Hakim Kostitusi dalam memutuskan sidang sengketa Pilpres yang dimohonkan oleh Capres Prabowo – Sandiaga Uno. Yang menarik dari gugatan ini adalah hanya sekedar untuk menggugat, karena dari awal pembacaan gugatannya saja sudah terlihat jelas petitumnya yang berjumlah 15 merupakan bukan kewenangan hakim MK, salah satunya adalah memerintahkan kepada Termohon untuk seketika mengeluarkan surat keputusan tentang penetapan Prabowo-Sandi sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode 2019-2024. Selain itu juga berharap agar MK mempertegas kemuliaannya melalui putusan 27 Juni 2019. Putusan itu harus berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila sesuai dengan kesepakatan bangsa dan mandat konstitusi di mana MK terikat pada UUD 1945, serta membuat wacana baru yaitu adanya pembuktian terbalik. Menyuruh pihak lain untuk membuktikan dalilnya. Ini aneh, gugatan yang aneh yang dibangun oleh kuasa hukum sekaliber Bambang dan Nasrulloh. Memang yang diharapkan bukan kemenanangan dari gugatan tetapi tekanan kekuatan massa terutama dari FPI dan eks HTI serta wacana kecurangan yang terus dibangun seperti kecurangan dan adanya acaman terhadap saksi dengan usaha untuk mengendalikan hakim MK yaitu dengan memohon agar hakim MK mengabulkan permohonan diluar kewenangannya.

Semua petitum, semua bukti, semua saksi yang di ajukan oleh Kuasa Hukum Capres 02 semuanya tidak dikabulkan oleh Majelis Hakim MK. Hakim menyatakan Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi tak bisa membuktikan ada kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Untuk membuktikan tuduhan itu, salah satu ketentuan adalah kecurangan TSM harus terbukti dilakukan di separuh jumlah provinsi yang ada di Tanah Air.

Majelis hakim menilai alat bukti yang diajukan Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi tidak lengkap dan berantakan. Dokumen-dokumen disusun tidak secara sistematis dan tak ada penjelasan keterkaitan. Saksi yang dihadirkan Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi tidak maksimal saat memberikan kesaksian. Ia mencontohkan saksi Rahmadsyah dari Kabupaten Batubara, Sumatera Utara. Kedatangan Rahmadsyah di ibu kota tidak sah karena berstatus tahanan kota. Saksi Rahmadsyah tidak menyaksikan kecurangan secara langsung di lapangan, melainkan hanya melihat video di Youtube. Dalam video itu, seorang polisi mengajak masyarakat memilih Jokowi-Amin. Rahmadsyah juga tidak mengetahui identitas polisi yang dimaksud. Ternyata di Kabupaten Batubara, pasangan Prabowo-Sandiaga yang menang. Jadi kesaksian Rahmadsyah tidak menerangkan apa-apa sehingga tidak mempunyai nilai pembuktian alias tidak berkualitas.

Selamat atas Kemenangan Capres- Cawapres 02, Jokowi – Maaruf Amin, pekerjaan berat menanti didepan mata, mempersatukan kembali rakyat yang terancam retak karena beda pilihan dan melanjutkan bersih – bersih semua lembaga negara, lembaga pendidikan dan BUMN dari sarang kelompok radikal, sebagai tindak lanjut dari pembubaran HTI agar negara ini tidak terancam punah, karena paham radikal.

Kami juga berharap dalam periode ini pemerintah fokus untuk memberi perhatian kepada mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat, secara khusus memperbaiki mutu hidup buruh/pekerja, dengan membersihkan aturan – aturan yang menyengsarakan buruh seperti PP 78, serta jangan lupa menempatkan aparat – aparat penegak hukum perburuhan yang tidak hanya berpihak kepada pengusha. Perhatikan buruh jika negara ini mau maju dan besar.

Sabinus Moa, Redaksi Pelaksana SBSINews

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here