Perlindungan Sosial (bantuan sosial dan jaminan sosial) di Indonesia dilakukan top-down tanpa pelibatan pemangku kepentingan, sehingga rakyat diposisikan sebagai obyek perlindungan sosial.

Program BSU (contoh bantuan sosial), dirancang sendiri tanpa melibatkan pemangku kepentingan sehingga hanya pekerja yang masih berstatus aktif di BPJS Ketenagakerjaan yang mendapat. Seharusnya BSU melibatkan pastisipasi masyarakat khususnya pekerja yang terdampak dengan memberikan ruang kepada pekerja yang terdampak melapor bahwa mereka pekerja yang terdampak. Kalau dicek tidak benar, ya tidak dapat.

Demikian juga Program JKP (program baru jaminan sosial) hanya diberikan kepada PPU, dan itu pun tidak bisa diakses manfaatnya oleh pekerja yang terPHK karena PKWT jatuh tempo atau mengundurkan diri. Fakta sosiologisnya, akan semakin banyak pekerja dengan PKWT karena pasal 59 dan pasal 66 dibuka secara luas untuk pekerja penerima upah, yang artinya akan semakin banyak pekerja penerima upah yang tidak dapat JKP ketika mengalami PHK.

Semangat Top-down dan diskriminasi mendominasi pembuatan program perlindungan sosial kita. Yang penting ada program perlindungan sosial dulu, pelibatan pemangku kepentingan tidak menjadi hal penting. Ini Fenomenal Perlindungan Sosial di Tanah Air yang tidak turut direformasi.

Semestinya Bangsa Ini belajar dari Afrika Selatan sebuah Negara yang belum lama merdeka dari Sistem Apartheid.

Redaksi SBSINEWS
22 Agustus 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here