SBSINews – Pada Rabu, 14 Agustus 2019, sebagai Ketua Umum (K)SBSI, Muchtar Pakpahan diundang oleh Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) dalam diskusi tentang keadaan di Nduga (Papua) yaitu tentang gambaran yang sebenarnya tentang pengungsi secara besar – besaran di Nduga, dengan mendapatkan gambaran itu maka Muchtar Pakpahan membuat surat kepada presiden pada 21/08/2019.
Dalam diskusi tersebut dipaparkan laporan dengan data yang lengkap dari Tim Kemanusiaan Kabupaten Nduga, Papua 2019.
Penulis laporan adalah: Pemerintah Kabupaten Nduga, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Nduga, Anggota Majelis Rakyat Papua, Sinode Gereja Kingmi di Tanah Papua, Yayasan Keadilan Keutuhan Manusia Papua (Pemerhati HAM), Intelektual Suku Nduga, Mahasiswa dan Pemuda dan Tokoh Perempuan (Pemerhati HAM) Kabupaten Nduga.
Dalam laporan itu disebutkan bahwa total jumlah korban pengungsi yang meninggal sebanyak 182 orang. Mereka mengungsi karena takut tinggal di kampungnya sendiri.
Jumlah pengungsi yang dipaparkan dalam diskusi tersebut berjumlah 37443 dan yang meninggal dunia 182 orang pengungsi dengan rincian sebagai berikut: Distrik Mapenduma berjumlah 4276 orang, Distrik Mugi 4369 orang, Distrik Jigi 5056 orang, Distrik Yal 5021 orang, ditrik Mbulmu Yalma 3775 orang, Distrik Kagayem 4238 orang, Distrik Nirkuri 2982 orang, Distrik Inikgal 4001 orang, Distrik Mbua 2021 orang dan Distrik Dal 1704 orang.
Data tetsebut hampir tidak di publikasikan oleh media – media mainstream. Media sepertinya dibungkam dan penderitaan pengungsi, bahkan banyak yang meniggal menjadi tertutup.
Selengkapnya surat Ketua Umum dapat dilihat di bawah ini:
– Distrik Nirkuri 2982 orang
– Distrik Inikgal 4001 orang
– Distrik Mbua 2021 orang
– Distrik Dal 1704 orang
TOTAL 37443
Data relawan juga menyebutkan pengungsi internal di Wamena tersebar di sekitar 40an titik. Akibat banyaknya pengungsi internal, di dalam 1 rumah atau honai bisa terisi 30 s-d 50 orang, dan bahkan ada yang terisi hingga ratusan orang.
Saya adalah pegiat HAM di Papua sejak tahun 80an. Keadaan yang terjadi di Nduga sama dengan apa yang dialami oleh kawan saya, seorang Antropolog dosen Universitas Cenderawasih yang bernama Arnold Ap (almarhum). Pada 26 April 1984 ABRI membunuh Arnold Ap, dan mendorong adanya OPM di Papua menjadi proyek Militer. Kemudian kekerasan terjadi lagi 10 November 2001, TNI membunuh Theys Hiyo Eluyai, mantan Ketua Presidium Dewan Papua. Dan sekarangpun menurut yang saya amati, ini akan berulang. Hal ini telah saya tulis di SBSINews 11/12/2018.
Papua akan tetap menjadi konflik apabila pemerintah tidak merubah cara-cara pendekatan. Pemerintah melakukan pendekatan dengan menggunakan kekerasan dengan embel-embel keamanan. Seharusnya yang dilakukan di sana adalah pendekatan kesejahteraan dan kemanusiaan. Dan ada juga orang Indonesia yang mengaggap Papua bukan teman sebangsa dan setanah air seperti ada kejadian bullying di Surabaya seminggu yang lalu, yaitu ejekan yang menyebutkan mereka seperti monyet.
Kejadian memalukan ini menimbulkan demo besar-besaran di Manokwari, Sorong, dan Jayapura. Sehubungan dengan itu, saya meminta kepada Presiden Republik Indonesia untuk segera membentuk tim fact finding untuk mengetahui apa yang terjadi di Papua, dan mengambil perubahan kebijakan. Dari kekerasan dan keamanan oleh TNI dan POLRI, menjadi pendekatan kesejahteraan dan kemanusiaan oleh Menkokesra, dan diadakannya Public Fact Finding yang berisikan Gereja, Komnas HAM, Dewan Adat Papua yang pengamanan didukung Polri dan TNI.
Atas perhatian Bpk Presiden saya ucapkan, terima kasih. Surat ini juga akan saya tembuskan ke Socialist Internasional (SI, Persatuan Partai-partai Buruh dan Sosial Demokrat Sedunia).
Hormat Saya,
Dewan Pengurus Pusat Serikat Buruh Sejahtera Indonesia
(DPP SBSI) &
Dewan Pimpinan Pusat Partai Buruh
Prof. DR. Muchtar Pakpahan, SH, MA.
Ketua Umum
Tembusan: 1. Socialist International
2. Media pers