Evaluasi kedua
Oleh: Prof. Dr. Muchtar Pakpahan, SH., MA.
SBSINews – Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 berbunyi: Setiap warga Negara berhak mendapatkan pekerjaan dan hidup layak bagi kemanusiaan.
Pasal ini mengatur dua hal :
1. Rakyat berhak mendapatkan pekerjaan. Sejajar dengan hal tersebut pemerintah berkewajiban memberikan pekerjaan kepada rakyat yang tidak memiliki pekerjaan.
2. Pemerintah berkewajiban membuat semua orang yang bekerja hidupnya layak bagi kemanusiaan dari pekerjaannya tersebut. Apakah dia bekerja sebagai buruh, petani, nelayan, pedagang kecil. Semua mereka harus mendapatkan kehidupan yang layak dari pekerjaannya.
Evaluasi pertama dari sudut ketenagakerjaan bagian pertama dari penyelenggaraan Pasal 27 (2) menugaskan presiden RI Jokowi untuk:
Pertama; Memenuhi amanah konstitusi adalah memberikan pekerjaan kepada tiap – tiap penduduk. Dengan kata lain, di NKRI ini tidak boleh ada penganggur.
Kedua; Memberikan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dari pekerjaannya bagi orang yang sedang bekerja sebagai buruh, petani, nelayan, pedagang, dan pekerjaan lainnya.
Evaluasi Kedua dari janji politik: 1). Memperhatikan permasalahan outsourcing 2). Meningkatkan profesionalisme, menaikkan gaji dan kesejahteraan PNS, TNI dan Polri, dan mengangkat pegawai honor menjadi PNS. 3). Menjadikan perangkat desa menjadi PNS. 4). Menciptakan 10 juta lapangan kerja baru yang lebih banyak di sektor pertanian, perikanan dan manufaktur.
Apa yang terjadi ? Sesudah purna lima tahun?
Secara konstitusional berdasarkan Pasal 27 (2) ada dua tugas presiden yaitu: pertama, menciptakan lapangan kerja, menghapus pengangguran atau sebagai konsekuensi kewajiban itu memberi kehidupan bagi penganggur. Kedua, membuat orang yang bekerja di bidang apapun, mendapatkan hidup layak bagi kehidupannya sebagai manusia.
Yang pertama.
Menurut data BPS yang Saya unggah di google per Senin 16 Oktober 2017: penganggur tahun 2014 sebanyak 7,2juta, tahun 2015 sebanyak 7,6 juta, tahun 2016 sebanyak 7,0 juta, 2017 sebanyak 7,1juta, tahun 2018 sebanyak 6,87 juta, dan tahun 2019 sebanyak 6,82 juta.
Berarti dari sudut Pasal 27 (2) bagian pertama, tidak ada pengurangan angka pengangguran secara signifikan, hanya yang dapat diselesaikan adalah pengangguran dari pertambahan penduduk yang rata – rata 1,4% pertahun.
Yang kedua.
1. Study perburuhan S2 MIH UKI di semester genap 2016 – 2017 melakukan kajian. Bahwa mutu kehidupan Buruh Indonesia tidak berubah dari tahun 1994 – 2017 semester I. Mengapa tahun 1994 ? Karena Januari tahun 1994 SBSI melakukan mogok nasional, menuntut stop upah minimum dan upah murah, wujudkan upah hidup layak.
2. Kebebasan berserikat tetap sulit hampir di semua sektor. Lemahnya komitmen menegakkan hukum perburuhan oleh kementerian ketenagakerjaan dan kepolisian.
3. Hubungan Industrial di sektor perkebunan/pertanian/perkayuan dan pertambangan dapat dikatakan semakin buruk. Sudah sempat tingkat harmonis pada tahun 2001 – 2003. Saat ini kembali menjadi sangat buruk.
4. Eksploitasi secara massif dan sistematis terhadap tenaga kerja dengan sistem outsourcing, PKWT/kontrak dan PHK tetap meluas bahkan cenderung semakin meluas. Apalagi penderitaan buruh semakin bertambah dengan kehadiran PP 78 tahun 2015 tentang Pengupahan, ditambah Menteri Ketenagakerjaan yang tidak memahami hubungan industrial dan lemah komitmennya untuk membangun hubungan industrial yang harmonis, dinamis, demokratis, berkeadilan dan berkesejahteraan. Ditambah lagi, tidak memiliki empati terhadap penderitaan buruh.
5. Kehidupan petani tetap tidak meningkat. Jumlah petani miskin 25,67 juta. Menurut KPA, 28 juta petani yang tidak memiliki lahan produksi pertanian.
6. Sulit mendapatkan data nelayan. Tetapi menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Puji Astuti tahun 2017, 10 tahun terahir jumlah nelayan terus menurun dari 1,6 juta menjadi 800 ribu. Mereka pindah kerja menjadi buruh atau tukang becak. Itu berarti hidup sebagai tukang becak lebih baik dari dari hidup sebagai nelayan, minimal sama.
Kesimpulan
1. Lima tahun pemerintahan Jokowi-JK, tidak memenuhi janji – janjinya.
2. Perlu ada kajian komprensif yang terukur secara ilmiah dengan menggunakan alat ukur yang atas apa yang Saya kemukakan.
3. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pasal 27 ayat (2) tidak dijalankan oleh Presiden Jokowi dari tahun 2014 hingga 2019, mungkin tidak mampu atau mungkin tidak tertarik untuk menjalankannya, sama – sama tidak menjalankan pasal 27 ayat 2 UUD.
Note: Secara lengkap harus disandingkan dengan 66 janji politik waktu berkampanye 2014.
Prof. Dr. Muchtar Pakpahan, SH., MA., Ketua Umum SBSI