SBSINews – Pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) hingga tahun keenam ini masih terus dibayangi oleh masalah defisit, yang tiap tahun terjadi namun belum mampu dicarikan solusinya oleh Pemerintah secara sistemik. Untuk tahun ini diperkirakan defisi JKN mencapai Rp. 28 Triliun (Rp. 28 T). Dengan utang klaim ke Rumah Sakit (RS) per 31 Desember 2018 sebesar Rp. 9,1 T dan potensi defisit bulanan mencapai Rp. 1,5 T lebih maka perkiraan defisit sebesar Rp. 28 T tentunya berpotensi besar terjadi.
Sebenarnya, dari sisi penganggaran saja program JKN ini sudah disetting defisit. Dalam RKAT (Rencana Kerja Anggaran Tahunan) 2019, Pendapatan Iuran ditetapkan sebesar Rp. Rp. 88,8 T, dengan anggaran Biaya Manfaat sebesar Rp. 102,02 T dan anggaran Beban Operasional BPJS sebesar Rp. 4,47 T.
Membaca laporan keuangan di akhir Juni 2019, tercatat utang klaim ke RS sebesar Rp. 9,23 T, naik sekitar Rp. 4 T bila dibandingkan utang klaim per akhir April 2019 yaitu sekitar Rp. 5,3 T. Dalam dua bulan terjadi kenaikan utang klaim sebesar Rp. 4 T, atau dalam sebulan bertambah Rp. 2 T.
Dalam RKAT s/d. 30 Juni 2019 Biaya Manfaat ditetapkan Rp. 49,63 T, namun dalam realisasinya Biaya Manfaat yang terjadi sebesar Rp. 51,61 T. Ada kelebihan sekitar Rp. 2 T, dari anggaran yang telah ditetapkan. Kelebihan sekitar Rp. 2 T ini dikontribusi oleh lebih tingginya realisasi pembiayaan Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP) sebesar Rp. 1,47 T, dibandingkan RKAT-nya yang ditetapkan sebesar Rp. 5,98 T. Dan dikontribusi juga oleh pembiayaan Rawat Jalan Tingkat Lanjut (RJTL) yang lebih sekitar Rp. 1 T dari RKAT yang ditetapkan sebesar Rp. 14,1 T. Untuk pos RITP dan RITL, realisasinya lebih rendah dari RKAT.
Untuk Pos Pendapatan Iuran, realisasi pendapatan iuran per 30 Juni 2019 mengalami kelebihan hampir sebesar Rp. 1 T dari penetapan RKAT sebesar Rp. 43,4 T. Namun demikian prestasi baik Direksi BPJS Kesehatan dari sisi Penerimaan Iuran ini masih dibayangi tinggiya Piutang Iuran yang mencapai Rp. 3,43 T. Ini masih pencatatan Piutang sebulan, belum menghitung bulan-bulan sebelumnya yaitu 23 bulan lainnya.
Dari paparan angka-angka di atas dalam satu semester, bisa menggambarkan bahwa potensi defisit program JKN sebesar Rp. 28 T akan benar-benar terjadi dan mungkin bisa lebih besar lagi. Bila posisi kelebihan Rp. 2 T dari Pos Biaya Manfaat dan Rp. 1 T dari Pos Penerimaan Iuran terjadi lagi di semester kedua maka defisitnya bisa mencapai Rp. 30 T. Demikian juga dengan utang klaim ke RS yang dalam sebulan mencapai kenaikan Rp. 2 T maka cash flow RS akan semakin sulit sehingga akan berdampak pada pelayanan kesehatan kepada peserta JKN.
Hingga saat ini Pemerintah masih belum mampu untuk mengatasi masalah defisit yang menyebabkan semakin besarnya utang klaim ke RS. Walaupun Wakil Presiden sudah menyatakan besaran iuran JKN harus ditinjau ulang, namun Menteri Keuangan (Menkeu) masih terus mengkaji kenaikan iuran dengan meminta perbaikan manajemen dalam pelaksanaan JKN, sementara Menteri Kesehatan (Menkes) menyatakan bahwa kenaikan iuran ini masih bersifat wacana.
Masalah defisit adalah masalah “klasik” tahunan yang seharusnya Pemerintah sudah bisa belajar dari kejadian defisit tahun-tahun sebelumnya sehingga kata “mengkaji” dan “wacana” sudah tidak perlu lagi disampaikan ke publik. Saya meyakini Pemerintah sudah tahu akar penyebab terjadinya defisit, sehingga tidak perlu lagi lama-lama untuk mengkaji dan berwacana. Pemerintah harus mengambil sikap cepat atas masalah ini. Jangan biarkan utang klaim terus membumbung tinggi sementara tindaklanjut mengkaji dan berwacana tidak selesai juga.
Menurut Pasal 38 ayat (1) Perpres No. 82 Tahun 2018 (jo. Perpres No. 19 Tahun 2016), besaran Iuran ditinjau paling lama 2 (dua) tahun sekali. Seharusnya Pemerintah menaikkan iuran di tahun 2018 lalu tetapi hal tersebut tidak dilakukan, namun solusi yang diambil adalah memberikan bantuan sebesar Rp. 10,2 T untuk mengatasi defisit. Solusi tersebut kurang pas, seharusnya solusi yang diambil adalah menaikkan iuran.
Kenaikan iuran untuk semua segmen kepesertaan harus segera direalisasikan, lakukan evaluasi kinerja Direksi BPJS Kesehatan untuk menyelesaikan pekerjaan rumahnya, tingkatkan kualitas FKTP khususnya Puskesmas sehingga bisa menurunkan tingkat rujukan, tingkatkan pengawasan dan penegakkan hukum untuk meminimalisir fraud di faskes, merupakan hal-hal yang harus segera dilakukan untuk menurunkan tingkat defisit pembiayaan JKN.
Sikap Pemerintah yang diwakili oleh Menkeu dan Menkes seperti saat ini harusnya mendapat perhatian dari kalangan legislatif. Fungsi Pengawasan yang dimiliki anggota DPR harus digunakan untuk memastikan kapan Pemerintah akan mengajukan usulan kanaikan iuran PBI (Penerima Bantuan Iuran) ke DPR sehingga APBN Perubahan untuk manaikkan iuran PBI ini bisa segera disepakati, dan perubahan Perpres No. 82/2108 untuk pasal iuran segera ditandatangani Presiden.
Lebih dari itu, mengingat DPR pun memiliki fungsi anggaran, maka sudah seharusnya DPR pun mempunyai hitungan kenaikan iuran PBI ini sehingga dalam proses pembahasan di DPR nanti terjadi dialektika sehat antara Pemerintah dan DPR dalam penentuan kenaikan iuran PBI.
Demikian juga dengan DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang diberi tugas di Pasal 7 ayat (3) UU SJSN yaitu, antara lain, melakukan kajian dan penelitian yang berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan sosial seperti besaran iuran dan manfaat; dan mengusulkan anggaran jaminan sosial bagi penerima bantuan iuran (PBI) dan tersedianya anggaran operasional kepada Pemerintah. Dengan tugas tersebut DJSN tentunya sudah memiliki angka kenaikan iuran PBI yang diusulkan kepada Pemerintah. Dengan usulan angka kenaikan tersebut diharapkan DJSN pun mau mendorong Pemerintah untuk segera merealisasikan kenaikan iuran PBI.
Saya berharap DPR dan DJSN bisa proaktif mau mendorong Pemerintah untuk segera merealisasikan kenaikan iuran JKN guna menyelamatkan JKN dari belenggu defisit. Jangan biarkan Pemerintah terus mengkaji dan berwacana sebagai alasan tidak segera mematuhi Pasal 38 ayat (1) Perpres 82 Tahun 2018.
Pinang Ranti, 2 Agustus 2019
Tabik
Timboel Siregar