Profesor Imam Soepomo, yang dijuluki sebagai Bapak Hukum Perburuhan Indonesia, mewariskan 5 (lima) gagasan yang diberi nama Panca Krida Hukum Perburuhan, yang meliputi :
1. Membebaskan manusia Indonesia dari perbudakan dan perhambaan.
2. Membebaskan penduduk Indonesia dari rodi atau kerja paksa
3. Membebaskan buruh Indonesia dari sanksi hukuman pukulan dan kurungan badan yang dijalankan oleh Kolonial Belanda atau sanksi hukuman bagi buruh yang melanggar kontrak dan melarikan diri dan ditangkap polisi
4. Membebaskan buruh Indonesia dari rasa ketakutan akan kehilangan pekerjaan secara semena-mena.
5. Memberikan kedudukan hukum yang seimbang (bukan sama) kepada pekerja/buruh dan memberikan penghidupan yang layak bagi pekerja/buruh
Gagasan Profesor Imam Soepomo tersebut ditujukan sebagai jawaban terhadap keadaan perburuhan sebelum kemerdekaan, yang didasarkan kepada kekuasaan dengan menjadikan :
1. Hukum perburuhan adalah kontrak sosial yang bebas. Nasib pekerja/buruh sangat bergantung kepada belas kasihan dari pengusaha yang menggunakannya.
2. Peraturan yang ada hanya mengatur hubungan antara individu.
Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari Pembangunan Nasional, sejak Orde Lama sampai dengan Era Reformasi belum memberikan perlindungan yang berkesesuaian dengan hak untuk hidup sejahtera kepada pekerja/buruh dan keluarganya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) Jo. Pasal 28D ayat (2) Undang Undang Dasar 1945, yang secara operasional selain diatur dengan Undang Undang Ketenagakerjaan 13/3003 dan Cipta Kerja, 11/2020, juga terkait dengan yang diatur dalam Undang Undang No. 39 Tahun 1999, tentang Hak Azasi Manusia (HAM), yang pada pokoknya, menegaskan ; Pelanggaran hak azasi manusia adalah setiap perbuatan yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan/atau mencabut hak azasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang Undang.
Saat ini setidaknya terdapat 2 (dua) gagasan Profesor Imam Soepomo yang menurut kaca mata pekerja/buruh masih relevan untuk dikaji dan ditindaklanjuti dengan berpedoman kepada Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu :
1. Membebaskan pekerja/buruh Indonesia dari rasa ketakutan kehilangan pekerjaan secara semena-mena.
Potensi terjadinya hal itu tampak tersurat dalam Pasal 151 ayat (2) Undang Undang Cipta Kerja No. 11/2020, yang menegaskan ;
(2). Dalam hal pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maksud dan alasan pemutusan hubungan kerja diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.
“ Frasa “ diberitahukan menurut sudut pandang kaca mata pekerja/buruh mengandung kemudahan bagi pengusaha untuk mengakhiri hubungan kerja secara semena-mena
Sementara upaya menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja sebagaimana yang diatur dalam Pasal 151 hayat (1), jarang dilakukan. Karena itu Pasal 151 ayat (1) tersebut, patut diduga hanya menjadi pemanis belaka
2. Memberikan kedudukan hukum yang seimbang (bukan sama) kepada pekerja/buruh dengan memberikan penghidupan yang layak.
Gagasan Profesor Imam Soepomo ini menginginkan hukum ketenagakerjaan dapat mengatur hak dan kewajiban pekerja/buruh secara seimbang, utamanya hak atas upah untuk penghidupan yang layak bagi pekerja/buruh dan keluarganya.
Fakta menunjukan, bahwa Penetapan Upah Minimum yang selalu disebut sebagai “ jaring pengaman “ ,ternyata tidak aman bagi pekerja/buruh yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak yang bersekolah.
Penetapan Upah Minimum yang selama ini dilaksanakan tidak berkesesuaian dengan perintah Pasal 28D ayat (2) Undang Undang Dasar 1945, yang menegaskan ; Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Dalam hal ini sudut pandang kaca mata pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menganggap sepanjang Upah Minimum hanya diperuntukan bagi pekerja/buruh lajang, maka imbalan dan perlakuan yang adil dan layak tidak pernah dapat terwujud.
Tentu sangat ironis apabila seseorang yang sudah bekerja keras dengan mencurahkan segala dayanya selama puluhan tahun untuk memajukan perusahaan, tetapi pemenuhan kebutuhan hidupnya disubsidi oleh masyarakat.
Indonesia mempunyai 2 (dua) model hukum ketenagakerjaan
1. Hukum yang bersifat Heterenom, yang dibuat oleh Pemerintah dan DPR RI, berbentuk Undang Undang dan turunannya dibuat oleh Pemerintah berupa Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Presiden.
2. Hukum yang bersifat Otonom, yang dibuat oleh Pekerja/Buruh dan Pengusaha berupa Perjajian Kerja, atau dibuat oleh Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Pengusaha berbentuk Perjanjian Kerja Bersama.
Materi muatan yang diperjanjikan tentu tidak boleh lebih rendah dari norma ketenagakerjaan yang diatur dalam Peraturan Perundang undangan.
Tenaga kerja/pekerja/buruh adalah tulang punggung pembangunan ekonomi nasional. Karena itu harus dijamin hak-haknya, diatur kewajibannya secara manusiawi dan bermartabat dan didayagunakan potensi dan kompetensinya secara tepatguna dan hasilguna. Jaminan dimaksud harus dilakukan sejak tenaga kerja diterima bekerja, selama masa bekerja dan sesudah berakhirnya hubungan kerja.
Pelanggaran adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang undangan. Tetapi bisa terjadi pelanggsran beralih menjadi pelonggaran aturan hukum. Contohnya dimasa pandemi covid19, pengusaha dibolehkan dan dibenarkan membayar upah lebih rendah dari Upah Minimum.
Dalam hal ini Pengawai Pengawas Ketenagakerjaan (PPK) yang telah diberikan kewenangan yang begitu luar biasa oleh Undang Undang untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum. PPK berhak memasuki semua tempat kerja di perusahaan. Bahkan apabila ditolak atau fihalang’halangi PPK berhak meminta bantuan kepolisian untuk memasuki tempat kerja, melakukan pemeriksaan, memberikan peringatan atau teguran berupa Nota Pemeriksaan, apabila ditemukan pelanggaran Norma Ketenagakerjaan yang diatur dalam peraturan perundang undangan.
Apabila Nota Pemeriksaan tidak dijalankan, PPK berhak mengeluarkan Penetapan Tertulis berisi kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pengusaha. Tetapi sayangnya pekerjaan PPK menjadi pekerjaan yang sia-sia dalam penegakan hukum dan sangat mengecewakan bagi pekerja/buruh yang mencari keadilan. Karena penetapan dimaksud tidak dapat memaksa, apabila pengusaha tidak mau menjalankannya. Disinilah terjadi kebuntuan hukum, sehingga PPK berbalik badan menjadi penonton pertarungan penegakan hukum antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melawan pengusaha untuk mendapatkan kepastian hukum dan keadilan. Lebih para lagi, dalam hal ini Undang Undang No. 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan dan/atau Undang Undang No. 11 Tahun 2020, tentang Cipta Kerja, tidak mengatur tentang sanksi apa yang harus diberikan kepada pengusaha, apabila mereka tidak menjalankan penetapan PPK tersebut.
Kebuntuan hukum lainnya, penetapan tersebut juga meniadakan hak pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh untuk meminta pelaksanaan penegakan Norma Ketenagakerjaan kepada lembaga yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan untuk menjalankan fungsi pengawasan negara sebagaimana yang ditulis dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 33 Tahun 2016, tentang Tata cara Pengawasan Ketenagakerjaan.
Sudut pandang kaca mata pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh, menganggap tanggung. jawab PPK hanya sebatas menggugurkan kewajiban. Yang penting mereka sudah menjalankan perintah Undang Undang. Soal bagaimana hasilnya, apakah Norma Ketenagakerjaan yang dilanggar sudah ada perbaikan atau belum, itu bukan urusannya lagi. Karena PPK memang tidak punya keberanian mental untuk memaksa pengusaha agar aturan hukum segera dijalankan sebagaimana seharusnya.
Padahal sepengetahuan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh, di Kementerian Ketenagakerjaan terdapat institusi Penegakan Norma Ketenagakerjaan dan Jamsostek (PNKJ) dalam lingkup Ditjen Binawasker & K3, yang patut diuji eksistensi dan manfaatnya dalam penegakan norma ketenagakerjaan.
Pasalnya, proses pembinaan seharusnya dilakukan sebelum terjadi pelanggaran. Kalau sudah terjadi pelanggaran harus dilakukan tindakan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, bukan lagi dibina (?)
Timbulnya hukum ketenagakerjaan dikarenakan adanya ketidaksetaraan posisi tawar antara pekerja/buruh dan pengusaha dalam hubungan kerja. Dengan alasan itu maka tujuan utama pembentukan dan penegakan hukum ketenagakerjaan adalah meniadakan ketimpangan hubungan di antara keduanya dalam hubungan kerja.
Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tentu sangat menginginkan agar Politik Hukum Ketenagakerjaan dapat menjadi benteng yang melindungi hak-hak pekerja/buruh yang didalamnya juga terdapat hak keluarganya untuk hidup sejahtera. Karena itu kita tentu tidak menginginkan apabila Politik Hukum Ketenagakerjaan menjadi pintu masuk intervensi gurita raksasa untuk mencengkram hak-hak pekerja/buruh, sehingga pekerja/buruh dan keluarganya tak dapat memenuhi penghidupan secara layak. Dengan berbenteng Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, kita cegah potensi munculnya Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme) agar kondisi Ekonomi Rumah Tangga Kaum Pekerja/Buruh tidak terganggu.
Penulis
Sofyan A Latif
Seniornya Perburuhan