UU ITE terbukti bisa menjerat wartawan. Demikian pendapat jurnalis senior Bambang Harymurti, sehingga dia merasa perlu mendesak. Dewan Pers segera melakukan audiensi dengan Kapolri dan
Presiden.
Rencananya Presiden sudah meminta DPR untuk segera merevisi UU Nomor 19/2016 sebagaimana perubahan UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), harus dijadikan momentum yang tidak disia-siakan guna merevisi sejumlah pasal karet yang menjadi momok sejumlah orang untuk menyampaikan pendapat serta pemikirannya, utamanya kepada pemerintah.
Masalahnya yang menjadi krusial ada pada sejumlah Pasal dalam UU ITE yang terbukti bisa menjerat wartawan dalam menulis berita.
Sebagai masukan atas niat Presiden Jokowi merevisi UU ITE, berbagai kelompok yang berkepentingan bisa segera memberikan masukan. Idealnya memang Menkopolhukam yang mendapat dauh dari Presiden untuk mengkoordinir rencana merevisi atau melakukan perbaikan terhadap UU ITE ini bagusnya bisa menyediakan forum untuk menerima masukan seperti melalui media online atau sarana lain mengingat tak semua pihak bisa hadir secara fisik. Apalagi adanya hambatan akibat pandemi Covid-19 yang masih ganas mengancam kehidupan setiap orang.
Dari kelompok
media sosial hendaknya dapat lebih proaktif memberikan masukan serta pandangannya. Sebab pihak yang paling terdepan akan menjadi sasaran UU ITE adalah pengguna media sosial, utamanya para jurnalis yang menekuni pekerjaannya di habitat medsos.
Pendapat Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo yang menilik UU ITE sudah tidak lagi sehat, karena pada waktu belakangan ini kerap digunakan tidak sebagainana mestinya. Isyarat dari Kapolri ini patut diapresiasi dengan baik menjadi kesempatan melakukan perbaikan pada UU ITE yang sudah sering digunakan untuk menjerat banyak orang yang tidak disukai oleh pihak lain, termasuk pemerintah.
Sederetan pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE itu dalam versi SafeNET. Tempo.Co, 17 Februari 2021).
Presiden Joko Widodo sendiri memang sudah memerintahkan kepada jajarannya untuk segera melakukan langkah-langkah nyata untuk segera merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Meski yang paling krusial ada 9 pasal yang dianggap gawat, namun sebagian saja yang dapat diperbaiki, boleh jadi sudah dapat dianggap tidak lagi bermasalah untuk UU ITE ini.
Misalnya untuk pasal 27 ayat 1 soal advertising
yang memiliki muatan pelanggaran kesusilaan.
Lalu pasal 27 ayat 3 bagwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Berikutnta adalah pasal 28 ayat 2 yang menyatakan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Lalu pasal 29 yang menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.
Untuk semua pasal tersebut untuk orang yang bersangkutan ajan dikenakan sanksi hukuman yang cukup berat.
Karena keempat pasal tersebut bisa mulut mungkret digunajan untuk menjerat siapa saja sekehendak hati penguasa yang membuat tafsiran pada pasal-pasal tersebut. Karena pasal-pasal itu semua memang multitafsir.
Karena itu, dari keempat pasal itu saja yang dapat diperjelas batasan-batasan penafsirannya, kiranya sudah bisa memberi kelegaan bagi banyak orang untuk menjadikan media sosial sebagai sarana yang aman untuk digunakan tanpa perlh merasa cemas dan rakut dijaring oleh UU ITE yang terasa menyeramkan itu.