Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Demikian moyang kita terdahulu mengajarkan. Hidup itu bersaudara, gotong royong dan saling membantu itu ta’awaanu ‘alal birri wat taqwa, petuah para ulama kita. Semangat ini sepertinya perlu digemakan kembali.
Memasuki tahun kedua pandemi ini, yang diuji bukan hanya ketahanan ekonomi kita, tapi juga ketahanan persaudaraan dan kesetiakawanan kita. Seperti kisah Nabi Yaqub as dan Nabi Yusuf as, inilah saat ketika yang punya tabungan berbagi dengan mereka yang dalam kesempitan. Tapi, ternyata pandemi membawa ke permukaan krisis lain, krisis yang sesungguhnya: krisis kepedulian. Masih juga ada di antara kita, yang berfoya di tengah penderitaan.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw, pernah berkata: “Tidaklah seorang fakir kelaparan kecuali karena orang kaya menahan harta mereka” (Nahjul Balaghah, Hikmah 319). Dan dalam riwayat yang dikutip oleh penulis Libanon, George Jordac, khalifah Kaum Muslimin itu berkata, “Tidaklah aku melihat nikmat melimpah ruah, kecuali di sampingnya ada hak orang yang tidak ditunaikan.”
Mari kita melihat krisis empati ini, khususnya di dunia pendidikan. Beredar banyak berita, kesulitan siswa dalam mengikuti pembelajaran jarak jauh. Ada yang bekerja di pasar untuk dapat membeli handphone. Ada orangtua yang tertangkap aparat karena mencuri gadget untuk anaknya. Ada yang kesulitan karena berbagai keterbatasan. Di sebuah sekolah negeri, paket soal dititipkan pada jasa fotokopi di dekat sekolah. Orangtua membeli paket soal itu Rp. 50rb seminggu. Sebulan, mereka membayar Rp. 200rb. Ditambah paket data Rp. 100rb. Total untuk satu anak, orangtua menyediakan Rp. 300rb. Ini yang mesti dikeluarkan oleh orangtua yang berpenghasilan tidak menetap, kebanyakan orangtua murid kita di berbagai pelosok tempat.
Nah, dalam situasi seperti ini, anehnya kita justru melihat ketimpangan. Ada dua pemuda berbakat. Pemuda cerdas luar biasa, orang-orang hebat: Adamas Belva Devara dan Mas Menteri Nadiem Makarim. Keduanya tokoh inspiratif, brilian dan bertangan dingin mengelola bisnis mereka. Mas Menteri Nadiem sukses dengan Gojeknya, Belva dengan aplikasi belajar Ruang Guru. Keduanya diangkat Pak Presiden menjadi pembantunya. Belva mundur setelah polemik Kartu Prakerja yang kontroversial itu.
Kemarin, Ruang Guru berulang tahun. Syukuran tentu sah-sah saja. Ruang Guru berusia enam tahun. Untuk sebuah perusahaan startup baru, ini prestasi tersendiri. Sayangnya, mohon izin menyampaikan pendapat pribadi, syukuran itu digelar dalam pesta tayangan siaran langsung di sembilan stasiun televisi swasta. Ya, saudara tidak salah membacanya: sembilan televisi! Sebagian besar televisi nasional, sebagian lagi digital. Jam yang diambil pun adalah jam prime time. Netizen riuh rendah mengomentari. Bahkan ada praktisi televisi yang menghitung biayanya. Kurang lebih sekitar 200-300 miliar rupiah. Belum menghitung biaya artis, iklan dan sebagainya.
Bayangkan bila biaya yang sama, bayangkan bila bentuk syukurannya, justru adalah membagikan perangkat bagi mereka yang tidak punya. Atau berbagi kuota. Atau membuka jaringan di tempat yang tak tersedia. Bukankah para pengguna aplikasi ruang guru adalah orang-orang ‘kaya’? Penggunanya pasti mereka yang punya handphone dan gadget. Ruang Guru belum masuk pada murid-murid di pelosok negeri ini. Mengapa syukuran tidak diarahkan untuk itu?
Contoh kedua, hingar bingarnya dana POP: Program Organisasi Penggerak. Sejak Mas Menteri Nadiem mencanangkan program ini, beliau sering mengutip sosok guru penggerak. Saya lebih berharap menjadi sebuah gerakan yang menyertai konsep Merdeka Belajar yang beliau canangkan. Bila diarahkan sebagai gerakan, maka ia tidak bergantung pada sosok. Menempatkan guru yang satu sebagai penggerak dan yang lain bukan dapat berdampak divisif pada kultur sekolah. Tetapi bila ia dijadikan program nasional, ia dirasakan bersama. Karenanya, dana tidak perlu dititipkan pada organisasi, melainkan menjadi program Kementerian yang inheren dengan program nasional Merdeka Belajar.
Kenyataannya, dibentuklah kelompok-kelompok. Mas Menteri membaginya dengan nama binatang: Gajah, Macan dan Kijang. Lalu tiba saatnya, diumumkanlah para penerima hibah itu. Kita juga bisa melihat, ternyata dana yang diberikan teramat besarnya. Ratusan miliar. Organisasi super kaya juga kebagian. NU dan Muhammadiyyah yang langganan menjadi mitra Pemerintah dalam hal ini menyampaikan ketidaksetujuan. Mereka mundur. PGRI juga ikutan mundur. Terlepas dari dinamika proses penentuannya, lagi-lagi bagi-bagi dana sebesar ini menunjukkan kekurangan empati. Di saat beberapa guru dipotong penghasilannya, di saat sekolah dan kampus berusaha bertahan dengan situasi yang ada, di saat banyak yang diputus hubungan kerjanya, di saat guru-guru TK dan PAUD bertahan bersabar begitu rupa, mengapa tidak disesuaikan dulu prioritasnya. Alihkan Program Organisasi Penggerak ini pada program cepat tanggap evaluasi pembelajaran jarak jauh dan pemberdayaan terkait dengannya.
Bagaimana juga dengan nasib ribuan bimbel seluruh Indonesia yang kehilangan usahanya selama pandemi ini. Sudah UN ditiadakan, bisnis mereka juga terancam keberadaan. Sebagai Bimbel online, baiknya Ruang Guru berempati dengan itu.
Kita mesti sejenak merenung diri. Mundur dulu, tarik nafas dulu. Mari belajar dari kisah Nabi Ya’qub as dan Nabi Yusuf as. Menabunglah untuk era paceklik ini, jangan foya-foya. Bantulah sesama saudara yang menderita, tanpa memandang mereka siapa. Nabi Yusuf as membantu saudaranya yang telah membuangnya dan menjauhkannya dari ayahnya. Inilah saatnya berpaling pada teladan orang-orang suci.
Dan, tiba-tiba, di tengah komunitas lintas iman muncul perbincangan. Ada berita, Pak Presiden memugar Masjid Besar Istiqlal dengan biaya Rp. 450 miliar. Maka sebuah ibarat mengemuka dengan tepat. Ada yang menyebutkannya dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra, ada juga dari Imam Syafi’i dan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Dari siapa pun sumber riwayatnya, mari belajar kedalaman maknanya: Luqmatun fii bathni ja’i, khairun min bina`I alfi jami’. Sesuap makanan pada perut orang yang lapar, lebih baik dari membangun seribu masjid besar.
Mari berdoa dan berusaha, jangan sampai krisis ini mengantarkan kita pada pandemi yang lainnya.
Pandemi empati.
ditulis oleh: @miftahrakhmat
(Praktisi Pendidikan, Direktur Pendidikan Sekolah-sekolah Muthahhari, mengelola sekolah SD, SMP hingga SMA).