Oleh: Andi Naja FP Paraga

Pengantar
Di Era Orde Lama sejak sidang BPUPKI 18 Agustus 1945 Pancasila ditetapkan sebagai Dasar Negara dan Falsafah Hidup Bangsa. Era Orde Baru menjadi Ideologi Negara dan era Susilo Bambang Yudhoyono menjadi salah satu pilar dari empat pilar dan sejak saat itu MPR RI tidak lagi menjadikan Pancasila sebagai Falsafah Bangsa dan Dasar Negara apalagi menjadi Ideologi. Pilar itu sebuah tiang yang umumnya terbuat dengan kontruksi beton untuk menyangga atap. Sementara Dasar itu pondasi tempat berdirinya beberapa pilar. Loginyakanya ketika pondasi dijadikan pilar lantas yang jadi pondasi apa. Mungkin saja sejak era MPR RI di ketuai almarhum Taufik Kiemas saat itu tidak ada ahli kontruksi sehingga pondasi dijadikan Pilar. Dasar dijadikan Tiang, falsafah tidak lagi menjadi hal Primer.

Ketika Pancasila menjadi Ideologi dan Ketika menjadi Pilar

Pancasila Menjadi Ideologi

Jika menyimak sila demi sila Pancasila sulit dibayangkan Pancasila menjadi Ideologi karena Ketuhanan yang Maha Esa itu berangkat keyakinan bukan hasil doktrinisasi sebagaimana memasukkan sebuah ideologi.

Kemanusiaan yang adil dan beradab itu adalah buah dari keyakinan yang meniscayakan hidup berkemanusiaan antar sesama warga bangsa dengan tidak membeda-bedakan satu dengan yang lainnya dan dilakukan dengan keadaban.

Beradab itu memartabatkan manusia sesuai martabat kemanusiaan yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Persatuan Indonesia adalah kesepakatan bersama yang meliputi persatuan antar Suku, budaya, agama bahkan persatuan geografis hingga ekonomi. Persatuan adalah keniscayaan untuk mengumpulkan dan mengakomodir perbedaan. Disinilah letak dari Makna Substantif Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa yang digemakan lewat Sumpah Pemuda tahun 1928.

Persatuan itu disamping menjadi pondasi juga menjadi perekat berbedaan. Sederhananya persatuan dalam kehidupan sehari-hari misalnya dalam berumah tangga, persatuan itu direkatkan dengan Perkawinan/Pernikahan. Mempersatukan Suku Bangsa perekatnya adalah kesamaan-kesamaan, misalnya sama-sama ketuhanan, sama-sama dalam kebutuhan dan keperluan. Jadi Persatuan Indonesia itu bukan Ideologi melainkan Kesepakatan untuk bersama-sama menjadi Indonesia.

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan Perwakilan juga bukan Ideologi melainkan sebuah sistem dalam dinamika Kerakyatan Indonesia bahwa motivasi bermusyawarah dan bermufakat itu harus terpimpin oleh Hikmad dan Kebijaksaan. Hikmad dimaknai sebagai ajaran Agung yang diperoleh dari Agama dan Keyakinan sebagai kebenaran yang mutlak. Sedangkan kebijaksanaan itu adalah hasil dari pengolahan kemampuan berpikir yang melahirkan sikap bijaksana.

Setiap pengambil keputusan itu haruslah bijaksana baik dalam cara mengambil keputusan hingga penetapan keputusan bahkan mampu memastikan dampak dari musyawarah dan mufakat itu bijaksana. Kerakyatan dari skala terkecil desa hingga kerakyatan dalam skala paling besar yaitu Negara.

Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia itu adalah Tekad sekaligus Tujuan. Keadilan sosial itu harus diciptakan bukan ditunggu, karenanya harus ada pedoman dan strateginya. Itulah dasarnya kita bekerja keras, bekerja cermat dan bekerja cepat.

Mewujudkan keadilan sosial itu bertahap-tahap. Mewujudkan keadilan dalam beragama dan berkeyakinan, mewujudkan hadirnya kebutuhan sandang, pangan dan papan untuk rakyat, mewujudkan adanya pilihan pekerjaan yang banyak dan merata.

Terwujudnya kesempatan untuk berusaha dan tersedianya modal usaha oleh negara untuk rakyat banyak. Hadirnya seluruh infrastruktur yang dibutuhkan sebagai akses menuju percepatan kesejahteraan disemua wilayah di Seluruh Indonesia itulah keadilan Sosial. Jadi orang yang berpendapat tidak butuh infrastruktur sebagai pendekatan keadilan sosial sangat keliru. Infrastruktur sangat dibutuhkan untuk humanity dan welfare serta security keadilan sosial.

Pancasila sebagai Pilar itu menyesatkan

Memang sangat Parah jadinya jika Pancasila menjadi pilar karena defenisi pilar itu tiang penyangga yang berdiri diatas pondasi/dasar. Semakin besar bangunan yang dibuat semakin banyak pilar yang dibutuhkan. Tetapi pilar itu bisa yang lain bukan Pancasila. Pilar tidak bisa menjadi pemersatu karena satu pilar hanya mampu menyangga apa yang ada diatasnya dan tidak bisa menyangga yang bukan diatasnya. Sementara ketika Pancasila masih menjadi Dasar Negara berapa pun pilar yang ingin kita pakai untuk menyangga tergantung kita. Pilar itu dalam Konstitusi hanya berkedudukan sebagai Undang-undang saja yang tidak bisa menjadi Undang-Undang Dasar apalagi menjadi Dasar Negara karena itu tidak bisa disalahkan jika ada Partai Politik yang menolak Pancasila sebagai Azas Tunggal jika kita meletakkan Pancasila sebagai satu dari empat pilar kebangsaan.

MPR RI 2019-2024 harus mengembalikan Pancasila ketempatnya semula seperti di Era Presiden Sukarno sebagai falsafah dan dasar negara. Ini tugas sejarah yang mendesak untuk dikerjakan oleh Bambang Soesatyo dan para pimpinan dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Hentikan sosialisasi Empat Pilar yang justru dibiayai dengan anggaran negara justru dengan tujuan menjadikan dan mensosialisasikan Pancasila sebagai pilar. Inilah kesesatan yang besar dan kita harus kembali ke jalan yang benar. Ini tugas berat tapi jika tak dilakukan maka ribut – ribut pro pontra seperti yang terjadi pada RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) tak bisa dihindari. (210620)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here