MEMBANGUN organisasi buruh Indonesia yang baik dan sehat itu semakin diperlukan pada era pasar bebas bagi generasi milenial untuk ikut membekali diri guna bercampur gaul dengan masyarakat dunia yang kini nyaris tidak lagi disibukkan oleh masalah upah murah dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak.
Jika pada masa orde baru berjaya dahulu masalah informasi dan komunkasi atau teknologi digital belum begitu dijadikan faktor yang penting dan patut diperhitungkan, maka pada masa generasi milenial sekarang ini model pelatihan, pendidikan dan sejenisnya yang dapat mendukung segenap upaya kaderisasi, semakin nyata dan jelas harus dan patut dilakukan tidak dengan sambil lalu.
Kelemahan para aktivis buruh atau bahkan fungsionaris organisasi buruh yang bayak dan berkecambah sekarang, sehingga jumlah organisasi buruh di Indonesia berkisar ratusan jumlahnya di tinggkat nasional, dan agaknya berjumlah ribuan adanya di daerah. Jelas akibat dari keberadaan aktivis karbitan yang tidak cukup dibekali secara ideologis mengenai buruh dan organisasi kaum buruh.
Karena itu tidaklah mengherankan bila hampir dalam segenap aktivitas organisasi buruh sekarang dilakukan seperti mengelola perusaaan yang profit minded. Sehingga orientasi dari kebanyakan organisasi buruh yang ada sekarang di tanah air kita selalu di kalkulasikan dengan nilai uang dan balas jasa, bukan lagi atas bentuk pengabdian yang sepenuhnya bagi masyarakat.
Baca Juga: http://sbsinews.id/organisasi-buruh-indonesia-yang-kuat-dan-sehat-ii/
Untuk membangun orgnaisasi buruh di Indonesia yang baik dan sehat memang tidak cukup memenuhi sara dan prasarana organisasi belaka, tetapi juga akan sangat tergantung pada aktivis dan fungsionaris yang terlibat di dalamnya. Bagi aktivis buruh yang handal, sumber daya dana maupun manusia yang ada dapat dioptimalkan fungsi dan peranannya.
Maka dari itu, kegamangan aktivis dan fungsionaris buruh dalam menggunakan sarana komunikasi dan publikasi yang relatif murah untuk digunakan sekarang seakan menjadi aib.
Media online yang ada pun tampak jelas belum dapat maksimal digunakan oleh organisasi buruh.
Kelemahan ini jelas bukan terletak pada ketersediaan sarana organisasi semata, tetapi lebih ditetukan oleh para fungsionaris dan aktivis organisasi buruh yang tidak mempunyai cukup pengetahuan serta keahlian menggunakan sarana komunikasi maupun publikasi yang ada.
Fenomena ini jelas membuktikan bahwa aktivis dan fungsionaris organisasi buruh pun enggan untuk mengembangkan potensinya yang ada.
Ditulis Oleh: Ratuate & Jacob Ereste