Oleh : Prof. DR. Muchtar B.Pakpahan, SH., MA.
Marsinah dibunuh 5 Mei 1993.
Marsinah adalah Buruh PT. Catur Putra Surya Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Ia berani melawan penindasan, agar upahnya dibayar sesuai ketentuan, karena dibayar dibawah UMR (Upah Minimum Regional).
Pada masa itu resmi Militer/ABRI/TNI hadir sebagai bahagian Hubungan Industrial Pancasila yang kehadiran ABRI membackingi pengusaha. Walaupun Tentara sudah memperlihatkan kebringasan dengan wajah yang berkumis, namun Marsinah tetap berani menuntut haknya. Marsinah melawan penindasan dan meninggal karena dibunuh.
Sia – siakah kematian Marsinah ? Saya katakan tidak. Marsinah adalah pahlawan buruh, walaupun proses pengurusannya menjadi Pahlawan Nasional yang dikerjakan DPP (K)SBSI belum berhasil. Hal yang sama terjadi juga terhadap Rusli di Medan pada 11 Maret 1994. Rusli buruh di PT Industry Karet Deli Medan, yang tidak mendapat THR tinggal satu hari lagi, lalu mereka mogok walaupun ada Tentara di sana sebagai bahagian hubungan industrial pancasila. Ternyata ada 14 perusahaan melakukan mogok spontan di hari yang sama menuntut pembayaran THR. Besoknya mayat Rusli ditemukan terapung di sungai deli yang melewati perusahaan. Rusli juga adalah pahlawan yang memberi contoh keberanian melawan penindasan.
Sesudah kematian Marsinah dan Rusli, Pengurus SBSI di semua tingkatan termasuk Saya sering mendapat ancaman atau teror lewat telepon atau dicegat jika sedang jalan atau Saya didatangi langsung dengan kalimat “kalau tetap mengganggu ketenangan berusaha, mengganggu investor akan di-Marsinah-kan atau di –Rusli-kan”. Lalu terhadap teror tersebut saya memberikan reaksi pada setiap pidato atau kata sambutan di seluruh Indonesia “kamu lebih baik mati dalam memperjuangkan hakmu dan melawan penindasan, kamu akan menjadi pahlawan yang berguna bagi teman-temanmu, jika menyerah kepada penindasan karena ketakutan lalu lapar dan mati juga, maka hidupmu akan sia-sia dan menjadi pecundang”.
Kemudian kalimat di atas menjadi tuduhan pidana di Pengadilan Negeri Medan dengan ancaman hukuman pidana 4 tahun penjara, dan tuduhan subversif di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dengan ancaman hukuman mati.
Apakah buruh takut ? Takut tabungan sudah habis, muncul persediaan berani karena mendapat suntikan dari mahasiswa dan akhirnya ikut media. Partai Politik (PDI, Golkar dan PPP) ? Diam seribu bahasa, hanya ada beberapa pribadi dari PDI dan PPP yang kritis.
Ternyata membunuh, menganiaya, memenjarakan, dan menteror buruh ada batas efektivitasnya untuk membungkam. Sedangkan peran SBSI adalah sebagai penghimpun dan pengarah kemarahan agar terarah menuju reformasi.
Sebegitu kuat dan kokohnya pemerintahan Suharto melakukan penindasan, penghisapan darah kepada buruh dan petani demi kebahagiaan investor. Penderitaan dan kelaparan dampak dari penindasan, menimbulkan kemarahan, kemarahan menimbulkan ketidakpatuhan (disobey), lalu berani bertindak melahirkan reformasi.
Menurut berita, RUU Omnibus Law/Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan bulan Oktober ini akan diparipurnakan. Klaster Ketenagakerjaan ini tidak pernah dibahas melibatkan buruh yang diwakili Serikat Buruh hingga tuntas.
Bandingkan ketika membahas UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja, UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan UU No. 24 tahun 2011 tentang BPJS, ada fraksi Balkon dari Serikat Buruh di DPR. UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan mengatur buruh tetapi tidak melibatkan buruh.
Kami dapat lagi bahan materi bacaan, bahwa materi UU Cipta kerja klaster ketenagakerjaan ini lebih buruk dari materi UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Kesimpulannya, bahwa legal approach dengan UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan ini, kebahagiaan bagi pengusaha (investor) tetapi penderitaan bagi buruh. Buruh mau demo menolak klaster ketenagakerjaan sudah mendapat ancaman dan dengan alasan pandemi corona. Padahal pemerintah memanfaatkan pandemi corona untuk menggoalkan UU Cipta Kerja.
Saya mengilustrasikannya begini, pengusaha (investor) yang berteriak salam dua jari dengan nyanyian “di sana senang di sini senang dimana-mana hatiku senang”, sementara buruh berteriak salam gigit jari (lihat di youtube Muchtar Pakpahan) dengan senandung merintih “aku tak sanggup lagi menerima derita ini”.
Tiga kali pengusaha mendapatkan kebahagiaan dari pemerintahan Joko Widodo yakni: 1. PP 78 Tahun 2015, 2. UU tax Amnesti dan 3. sebentar lagi keseluruhan UU Cipta Kerja. Sebaliknya buruh dua kali mendapat kepedihan yakni: PP 78 Tahun 2015 dan nanti UU Cipta Kerja Klaster ketenagakerjaan.
Kami (K)SBSI tetap memohon kepada Presiden dan DPR-RI dan mengharapkan untuk Kita diskusikan materi itu dengan cara yang benar – benar mendiskusikannya. Kalau tetap dipaksakan dengan mengabaikan aspirasi buruh, RUU ini akan menjadi undang – undang. Tetapi saya pastikan UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan ini merupakan penindasan dari yang berkuasa yang membuat buruh menderita, dan waktunya nanti akan ada masa disobey, mungkin revolusi. Mungkin terjadi masih dalam masa Joko Widodo atau setelahnya. Syaratnya buruh bersatu atau SBSI Kuat Kembali agar menang.
Saya meminta Seluruh Buruh (penerima Upah), Buruh tani, dan mahasiswa untuk melakukan aksi yang paling sederhana yaitu menuliskan surat yang ditujukan Kepada Yth 1. Presiden RI Bapak Joko Widodo dan 2. Ketua DPR-RI Ibu Puan Maharani di Jakarta. Dengan hormat. Kami memohon agar ditunda mengundangkan RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan, selanjutnya dilakukan pembahasan dengan melibatkan (Konfederasi) Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (K)SBSI pimpinan Prof. Dr. Muchtar Pakpahan, SH., MA. dan seluruh serikat buruh/pekerja lainnya untuk menghasilkan ketentuan yang adil bagi pengusaha dan bagi buruh, yang dapat segera menstabilkan politik dan ekonomi Indonesia demi utuhnya NKRI berdasarkan Pancasila. Terima kasih. Tulis nama, alamat, tertanggal 5 Oktober 2020, dan tanda tangan. Masukkan ke amplop kirim ke kantor pos atau sarana lainnya.
Prof. DR. Muchtar B. Pakpahan, SH., MA. Ketua Umum DPP (K)SBSI & Guru Besar UTA45