Setelah hampir sepuluh bulan lebih, “bekerja dari rumah” (working from home), saya menyanggupi hadir – dengan protokol kesehatan ketat– pada refleksi akhir tahun bersama Ekonom Bang Faisal Basri, Bung Timboel dan Kang Saepul Tavip. Diskusi untuk meneropong tantangan dan prospek ekonomi dan perburuhan di tahun 2021, bercermin pada kondisi tahun lalu.

Sebelum diskusi, Timboel mengundang dan meneraktir makan siang yang tanpa sengaja mempertemukan saya dengan beberapa teman lama lain, di tempat yang sama. Ada Adi Haryadi (Adi Bule), Saepul Tavip, dan Hari Nugroho (Mas HarNug). Tanpa terasa pertemanan ini telah berjalan lebih dari dua dekade.

Seperti kebanyakan “orang orang yang sudah tidak muda lagi”, kita lebih banyak bercerita masa lalu, ketimbang masa depan. Jikalaupun bicara tentang masa depan, sedikit hati-hati, meski tetap optimistis.

Adi sudah pensiun dari salah satu Bank Korea di Jakarta. Jabatan terakhir yang cukup tinggi sebagai seorang bankir. Adi adalah teman paling lama – dibandingkan yang lain- sejak mulai bekerja di Bank H (sebuah bank Inggris) di era 1990an. Jadi sudah tigapuluh tahun tepatnya. Perkenalan dimulai ketika sama-sama “dijebloskan” ke Serikat Pekerja Bank H karena meskipun “new comers”, dianggap punya pengalaman sebagai aktivis kampus. Jabatan yang disandang ketika itu cukup mentereng, Adi, Wakil Ketua dan saya, Sekretaris Jenderal.
Yang saya ingat dari Adi, dengan kemampuan bahasa Inggris yang di atas rata-rata, seringkali membuat manajemen yang penutur aseli itu, dalam negosasi Perjanjian Kerja Bersama, kerap kikuk dan agak sedikit “mati kutu”. Negosiasinya memang dalam Bahasa Inggris. Mungkin itu strategi manajemen, untuk bisa dengan mudah memenangkan negosiasi. Saking alot dan ketatnya negosiasi, manajemen terkadang sedikit terpojok oleh kinerja dan “showtime” Adi yang “kinclong”. Mr. M salah satu dari tim Manajemen Bank H seperti memperoleh momentumnya, saat Adi meminta ijin ke kamar kecil, dengan cepat menukas “Hi, go back to your planet and don’t come back!”

Adi adalah teman diskusi saya. Penuh logika meski kadang nyeleneh, “thinking out of the box”. Hal yang sering membingungkan lawan dan juga kawan. Selepas dari Bank H, kita terus berteman dan bertemu lagi beberapa tahun kemudian. Hingga Reformasi Politik (1998), dalam upaya pembentukan Federasi Nasional Serikat Pekerja Perbankan yang demokratis, mandiri dan independen. Karena kedekatannya, saya kenal dengan “mantan”-nya dan juga hadir dalam resepsi pernikahannya.

Terlibat aktif dalam serikat pekerja di era orde baru, manakala Konvensi ILO tentang Kebebasan Berserikat (C-87 on Right to organize) belum diratifikasi Indonesia, memberi sebuah nuansa lain. Saat itu, nampaknya serikat pekerja hanya dibolehkan bernegosiasi di tingkat perusahaan. Terbatas berunding terkait syarat dan kondisi pekerja di perusahaan saja. Pada saat yang bersamaan, ada restriksi dan hambatan yang besar, untuk menyuarakan kepentingan pekerja dan buruh yang lebih luas di tingkat nasional. Termasuk untuk ikut memformulasikan kebijakan publik – melalui dialog sosial.

Meski demikian, pengalaman berserikat di Bank H pada masa itu, merupakan kemewahan tersendiri. Serikat Pekerja dapat bernegosiasi setiap dua tahun sekali dengan perbaikan syarat dan kondisi kerja, memiliki kantor SP sendiri yang nyaman untuk memudahkan pengorganisasian, bahkan dapat menerbitkan publikasi organisasi/ newsletter secara berkala (meski kadang isinya agak agitatif dan tentunya berseberangan dengan pihak manajemen). Bahkan, penandatanganan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) pun, dihadiri oleh pejabat negara setingkat Menteri (Menteri Tenaga Kerja).

Setelah Federasi Nasional Serikat Pekerja Perbankan (ASPEK Indonesia) terbentuk, ada niatan merealisasikan Pusat Riset dan Advokasi Serikat Pekerja. Ide dasarnya adalah memastikan setiap tuntutan dan proposal serikat pekerja harus mendasarkan dirinya pada bukti riset dan data empirik. Sehingga akuntabel. Ini memerlukan pembangunan kapasitas riset dan penelitian di kalangan serikat pekerja.

Untuk tujuan itu, Adi memperkenalkan saya dengan Hari Nugroho. Peneliti saat itu dan kemudian menjadi Direktur Lembaga Penelitian Departemen Sosiologi (LabSosio ) Universitas Indonesia. Hari piawai tentang riset dan metodologi ilmiah. Hari yang peneliti dan akademisi tulen itu banyak membantu menyusun metodologi penelitian dan implementasi riset Federasi Serikat Pekerja yang baru didirikan (2000), selain mitra urun-rembug untuk hal-hal yang serius. Beberapa riset diselesaikan, termasuk diantaranya survei tentang lapangan kerja kaum muda, perbandingan Perjanjian Kerja Bersama di sektor-sektor Industri dan kondisi kerja.
Sebagai Peneliti, Hari sangat teliti dan “perfectionist”. Adi sering berkelakar; “Meski peneliti, mbok jangan terlalu teliti-teliti…” Hari banyak menulis di jurnal ilmiah nasional dan internasional terkait isu-isu perburuhan. Draf desertasi PhD-nya terkait koalisi Serikat Pekerja dengan Aktor Non-Negara sangat menarik. Saya termasuk yang diminta memberikan rekomendasi untuk pendidikan pasca sarjananya di Belanda. Meski dengan kualitas intelektual dan akademisnya, rekomandasi saya boleh jadi hanya sekedar pelengkap penderita. Dengan jejaring akademiknya, Lembaga Penelitian Serikat Pekerja yang baru ini berhasil menghasilkan beberapa penelitian yang didukung oleh lembaga-lembaga donor. “Lesson to be learnt” dari pengalaman ini, “Networking” dengan pemangku kepentingan termasuk Universitas, LSM dan lembaga yang relevan lainnya merupakan hal yang krusial dan perlu didorong di masa depan. Termasuk untuk mengakselerasi kerja advokasi serikat pekerja, dalam mempengaruhi kebijakan-kebijakan publik.

Teman lama lain adalah Saepul Tavip “urang” Sunda aseli. Barangkali huruf “p” bukan “f” pada nama Saepul menjelaskan secara gamblang hal tersebut. Tavip merupakan motor berdirinya serikat pekerja independen kerah putih di sektor perbankan, keuangan, media dan telekomunikasi – berafiliasi pada UNI-Union Network International- pasca Reformasi. Tavip adalah orator ulung. Meski sama-sama pernah bekerja di Bank H, perkenalan saya baru dimulai setelah saya bekerja di tempat lain, sebuah bank B yang berafiliasi ke Perancis, dan terlibat dalam penyusunan strategi pendirian Federasi Nasional yang demokratis, mandiri dan independen.

Sebelumnya, Tavip terlibat dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial antara Manajemen dan Serikat Pekerja Bank H di era 1997-an. Perselisihan yang berujung pada pemberhentian ratusan pekerja. Hal yang menjadi semacam “turning point” bagi gerakan serikat pekerja di sektor perbankan.
Interaksi saya dengan Tavip secara mendalam diawali ketika membangun Federasi Organisasi Serikat Pekerja Nasional FOKUBA, yang sayangnya berunjung pada perpecahan akibat tidak disepakati nya konstitusi baru organisasi. Konstitusi yang diharapkan menjadi “game changer” merubah struktur organisasi Serikat Pekerja yang ada untuk terkoneksi dengan afiliasi “akar rumput” atau organisasi pekerja di tingkat perusahaan/ tempat kerjanya. Dalam perkembangannya kemudian, secara paralel, ASPEK Indonesia didirikan dan memisahkan diri dari FOKUBA. Saya, Tavip dan kawan-kawan termasuk yang mendukung ide pemisahan dan pembentukan ASPEK Indonesia.
Teten Masduki (sekarang Menteri Koperasi dan UKM) yang saat itu mewakili LBH divisi Perburuhan menyayangkan perpecahan FOKUBA. Dalam perjalanannya, ASPEK Indonesia kemudian berhasil berkembang cukup pesat, memperbesar basis anggota melingkupi pekerja di sektor perbankan, keuangan, media, pos dan telekomunikasi. Selepas ASPEK Indonesia, Tavip ikut terlibat dalam pendirian federasi serikat pekerja baru OPSI dan Konferederasi Serikat Pekerja Rakyat Indonesia. Ketika OPSI didirikan, saya sudah keluar, “pensiun dini” dari dunia perbankan sebagai internal auditor dan otomatis keluar dari serikat pekerja (2002).

Di Kongres Dunia Serikat Pekerja Dunia Sektor Perbankan dan Keuangan (FIET) yang kemudian merger dengan sektor Media dan Telekomunikasi menjadi UNI di Sydney, Australia (1999) , Tavip sempat berorasi mengadvokasi pengemplangan utang negara (yang haram); “dump the debt!”. Utamanya utang yang dibuat akibat korupsi politik. Utang yang tidak selayaknya dibayar oleh rakyat-melalui pajak. Ide yang menarik dan saya sepakati 100%.
Di sela-sela kongres, saya menyempatkan menggalang dukungan Serikat Pekerja Perancis untuk memuluskan negosasi kompensasi pesangon sejumlah kolega kantor Bank B yang ditutup akibat krisis moneter. Berbekal dukungan mereka, negosiasi terkait dengan kompensasi PHK membuahkan kompensasi pesangon yang sangat baik- pada masanya.

Di Kongres Nasional Pertama ASPEK Indonesia (1999), saya kebetulan terpilih sebagai Wakil Presiden dan Timboel Siregar didapuk menjadi bendahara organisasi. Timboel kemudian banyak terlibat dalam advokasi Jaminan Sosial untuk Pekerja melalui “BPJS Watch”-nya. Sebuah aliansi pekerja/ buruh dan pemangku kepentingan lain yang berhasil mendorong diadopsinya UU Sistem Jaminan Sosial yang fenomenal itu. Dengan jaringan yang luas di kalangan media dan para intelektual, termasuk Arief Budiman (Alm), lulusan IPB dan juga pengacara ini, banyak terlibat dalam penyelesaian sengketa perburuhan.
Di luar pekerjaan rutinnya mengadvokasi hak-hak buruh dan menjadi pembicara di sejumlah seminar dan lokakarya, Timboel sangat aktif menulis di media masa. Ia menjadi kolumnis “tidak tetap yang tetap”, opininya hadir di media hampir setiap hari. Di luar kesibukannya, ia tetap menyempatkan diri pergi ke gereja setiap minggu, dan selalu mengingatkan saya untuk untuk shalat di saat waktu sembahyang tiba. Timboel sangat mengapresiasi kebebasan berekspresi dan menulis sebagai panggilan jiwa dan pilihan hidup. Baginya “publish or perish!” . Hal yang inspiratif.
Kolaborasi saya dengan Timboel cukup intens saat mengadvokasi “Jaminan Sosial bagi semua” beberapa tahun yang lalu. Timboel banyak membantu dalam penelitian dan pembangunan kapasitas, khususnya bagi serikat pekerja dan buruh.

Orang Perancis bilang sejarah itu berulang “l’historie se repete”. Pertemuan siang itu terjadi tanpa sengaja. Meskipun, dengan sengaja dan tentunya sadar, kita berteman dan terlibat dalam kerja-kerja terkait dengan isu buruh dan hak-hak pekerja.
Sambil menikmati gado-gado dan toge goreng traktirannya Timboel yang berulang tahun , Saya menikmati persahabatan ini. Menyempatkan berfoto bersama. Seperti dua puluh tahun lalu, sambil berharap perbaikan kehidupan pekerja Indonesia ke depan yang lebih baik.

Bon appetit!
Tabik, Tauvik, Tangsel, Maret 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here