SBSINews – Kementerian Kesehatan mengeluarkan obat bevacizumab dan cetuximab yang berguna untuk pengobatan kanker kolorektal atau kanker usus besar dari Formularium Nasional per 1 Maret 2019. Akibatnya, kedua obat tersebut tidak lagi dijamin dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).

Kebijakan ini dinilai memberatkan penyintas kanker usus besar karena harus membayar kedua obat tersebut. Ketua Komisi IX DPR RI, Dede Yusuf Effendi, mengatakan peserta BPJS Kesehahatan dirugikan karena harus menanggung biaya obat sendiri.

“Hal ini tentu akan memberatkan pasien yang sedang melakukan pengobatan. Terutama yang terkena kanker kolorektal stadium lanjut,” kata Dede, Rabu (20/2/2019).

Dede mengatakan, jika alasannya adalah penghematan, maka seharusnya Kemenkes menerapkan strategi alternatif ketimbang mengeluarkan dua obat tersebut dari Formularium Nasional. Pembiayaan obat bisa melalui beberapa cara, misalnya dengan urun biaya atau Coordination of Benefit (CoB).

“Sebagaimana diketahui bahwa jenis pelayanan kesehatan yang bisa dilakukan urun biaya sedang dibuat peraturannya,” ujarnya.

Komisi IX bakal memanggil Kemenkes untuk membicarakan hal ini lebih lanjut. Dede mengatakan rapat kerja rencananya dilaksanakan setelah reses (3 Maret).

Kajian Kemenkes Dipertanyakan

Kepala Biro Hukum dan Organisasi Kemenkes, Sundoyo, mengklaim kebijakan penghapusan dua jenis obat kanker usus besar telah melewati kajian. Sundoyo mengatakan bevacizumab tidak efektif untuk pengobatan, sementara cetuximab hanya efektif dalam kondisi tertentu saja.

“Dalam pelayanan JKN-KIS, Kemenkes wajib melakukan kendali mutu dan kendali biaya. Salah satunya kami bentuk tim HTA, dan setelah dilakukan kajian ternyata obat ini kurang efektif,” kata Sundoyo di kantornya, Selasa (19/2/2019).

Namun hasil kajian Kemenkes tersebut dipertanyakan Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Digestif Indonesia (Ikabdi), A Hamid Rochanan. Ia meminta Kemenkes menjelaskan pengganti kedua obat tersebut.

“Kalau beliau bilang ada gantinya tolong sampaikan pada kami. Supaya kami tahu, wong itu pasien kami kok,” ujar Hamid di Jakarta Selatan, Rabu (20/2/2019).

Hamid menjelaskan dalam kanker kolorektal terdapat zat-zat yang apabila tak ditangani akan menyebar dalam tubuh. Hal tersebut bisa dikalahkan dengan target terapi.

“Kalau tidak diberi obat] risiko penyebaran tetap ada, karena zat itu tidak ditekan kerjanya. Ada namanya vascular endothelial growth factor (VEGF) dan Vevacizumab ini Anti-VGEV,” ujarnya.

Jalan Pintas

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai kebijakan penghapusan dua jenis obat kanker usus tersebut adalah bentuk kegagalan pemerintah dalam mengatasi defisit keuangan BPJS Kesehatan.

“Memang pemerintah itu dalam merespons defisit, cara yang gampang ialah menurunkan manfaat dengan bahasa yang dikatakan ‘kendali biaya’ dengan mengorbankan kendali mutu,” ujar Timboel di Jakarta Selatan, Rabu (20/2/2019).

Timboel memaparkan data dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) BPJS Kesehatan yang menunjukkan pembiayaan kanker relatif kecil dari total biaya Ina-CBGs-sistem pengelompokan penyakit didasarkan pada ciri klinis yang sama dan juga sumber daya yang digunakan dalam pengobatan pada JKN.

“Jumlah kasus kanker yang dibiayai JKN, dari Januari sampai Desember 2018 sebanyak Rp1.990.091 dengan total biaya Rp2,9 triliun atau sekitar 3,35 persen dari total biaya Ina-CBGs sebesar Rp86,43 triliun,” jelasnya.

Intinya, Timboel menilai pemerintah belum cukup mumpuni dalam mengatasi persoalan defisit yang terjadi di BPJS Kesehatan.

(Sumber: tirto.id)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here