Masihkah ada asa di tengah nestapa itu?
Hiruk pikuk pilkada masih berlangsung hari-hari ini. Kertas suara juga masih hangat dalam kotaknya. Termasuk tinta di jari belum terhapus. Tenda-tenda juga belum dirobohkan. Tapi cerita pilkada baru saja dimulai dan takkan pernah usai.
Terjadi serangan fajar di sana. Intimidasi dan ancaman mengawali hari pilkada di situ.Truk berisi paket sembako berisi uang ditahan polisi. Kotak suara berisi surat suara sudah tercoblos. Jagoan kalah padahal harta benda sudah habis untuk menyumpal mulut konstituen dengan kepeng (uang). Tinggal dia meratap dengan hutang yang berlimpah. Jagoan dan pendukungnya ngamuk karena merasa dicurangi. Klaim menang walau belum tentu menang. Sujud syukur kemenangan bahkan, sekalipun perhitungan belum dimulai.
Ah, masih banyak cerita ngeri dan konyol menyertai perhelatan yang disebut pilkada ini. Cerita dengan aroma busuk proses pilkada untuk sebuah kemenangan yang identik dengan kekuasaan raja kecil. Praktis tak ada kisah bagus soal pilkada.
Story muluk pilkada akan berlangsung selama 5 tahun sampai menjelang pilkada selanjutnya. Begitu terus, mutar dan mbulet seperti tupai berlari ke kandang putarnya.
Janji-janji manis dalam sekejap akan tinggal kenangan. Para buruh yang biasa dirangkul untuk mendulang suara dalam hitungan detik akan ditinggalkan setelah calon itu fixed jadi penguasa. Good bye mama, katanya.
Para pemilihnya duduk terpekur sambil mengais recehan dan hidup berjalan normal dengan kesejahteraan yang tak berubah. Sementara si penguasa akan berpikir bagaimana membayar hutang modal kampanye kemarin. Rencana korupsi digelar.
Yang menang akan duduk di singasananya. Otonomi daerah menjadikan dia raja kecil. Tidak jarang negara (pusat) dikangkangi atas nama otda. Salahpun dianggap benar. Benar juga masih diragukan. Mau dpecat, tak ada kuasa untuk itu. Aturannya ribet. Raja kecil hasil pilkada itu semakin membesar kepalanya. Tak tersentuh karena pendukung fanatiknya pasang badan baginya.
Demokrasi di Indonesia baik pusat dan daerah benar-benar nestapa. Penuh intrik dan kepalsuan. Pemborosan uang untuk hasil yang tak bermutu. Suara bisa dibeli. Praktek kotor demokrasi ini seolah berjalan alamiah. Lantas masih percaya pilkada ini pesta demokrasi?
Saya sih no. Sejak pilkada dki 2017 demokrasi kita bukan lagi pesta rakyat. Itu demokrasi palsu yang dipertontonkan. Itu juga ajang tipu-tipu menggunakan ayat dan agama. Yang punya duit dan punya massa (bodoh juga ngak apa-apa) yang bakal menang. Bahkan mayatpun diajak serta.
Lihatlah setelah berkuasa, negara seperti dikangkangin oleh penguasa itu. Buktinya negara seolah tak berdaya dan membiarkan penguasa daerahnya memporak porandakan kota yang sudah cantik tertata sebelumnya. Alasannya klasik, perlu proses panjang untuk menurunkan raja kecil yang dipilih rakyat itu. Walau senyatanya raja kecil itu tak bisa kerja dan bertindak sewenang-wenang.
Pilkada lebih merupakan pesta kepalsuan. Pesta mengumbar nafsu berkuasa dan transaksi politik. Tak ada demokrasi di sini. Yang tertinggal hanya demos yang crazy. Rakyat yang gila karena diberi php terus menerus oleh penguasa yang sudah tak punya rasa.
Pilkada DKI kali lalu meninggalkan trauma yang tidak kecil. Itu bisa jadi benchmark untuk pilkada-pilkada wilayah lainnya. Tapi, mudah-mudahan tidak dalan hal kebusukannya.
Hari ini pilkada diselenggarakan di sebagian besar wilayah Indonesia. Memang tidak akan seperti pilkada DKI, karena mungkin itu menjijikkan bagi sebagian calon penguasa kini. Mudah-mudahan pilkada kali ini kembali pada marwahnya. Demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai penguasanya.
Tak perlu singasana dan kemewahan. Yang penting adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak perlu buruh makan lobster, tapi janganlah cuma mampu makan mie instant terus. Otak takkan berkembang karena makanan kurang bergizi.
Di balik cerita apatis tentang pilkada ini, masih tersimpan sedikit asa buat penguasa-penguasa yang masih punya nurani. Ahok bisa menjadi role model penguasa atau pejabat publik tepatnya sekalipun ia tak lagi menjadi kepala daerah. Ya, Ahok satu satunya figur yang patut dimodel dalam semangat keberpihakan pada rakyat yang dipimpinnya.
Bicara Ahok dan pilkada, asa itu berpendar lagi setelah sempat menguap apatis. Integritas menjadi sahabat satu-satunya kawan sejati Ahok ketika kawan-kawan lain berseberangan karena beda prinsip dalam kejujuran dan spirit pelayanan kepada orang kecil. Persis seperti Abraham Lincoln yang berteman karib dengan integritas semasa karir politiknya.
Integritas menjadi barang langkah dalam jiwa peserta pilkada di negeri ini. Sekalinya Tuhan menganugrahkan Ahok, kebejatan moral musuh politiknya menisbihkan semuanya. Makanya Ahok di hari terakhir persidangannya sempat berujar yang siapa melawan Tuhan, satu persatu akan dipermalukan. Dan itu terbukti. Orang bilang itu karma Ahok.
Renungan singkat ini semestinya menjadi konsern para pejabat yang terpilih dalam pilkada kali ini. Jangan sekali sekali sia-siakan kepercayaan rakyat yang sudah memilih dan menaruh harapan. Jangan buat kepercayaan rakyat jadi mandul lagi.
Asa sudah terbentang. Jangan belokkan jadi nestapa lagi. Karena sejatinya dalam demokrasi rakyatlah yang jadi tuanmu.
Selamat melayani.
Penulis : Paulus Laratmase