[Catatan Hukum Diskusi dengan tema “Mewaspadai The Otoritarian State pada Pemidanaan Penolak Vaksin”]

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Aktivis Pejuang Khilafah

Judul tulisan ini, adalah pertanyaan retoris yang penulis sampaikan untuk mengawali paparan dalam diskusi yang diadakan oleh Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) dan Kifah Aktual Spesial Dakwah Giri. Sebab, sebelum membahas tentang ancaman pidana bagi penolak vaksin, baik penjara maupun denda, semestinya Negara menginsyafi sedang menghadapi siapa.

Kalau yang dihadapi negara adalah penjahat, pelaku kriminal, tentu ancaman pidana relevan diberikan. Sebab, sanksi penjara bagi pelaku kejahatan selain berfungsi sebagai efek jera, juga untuk menjamin agar pelaku tidak melakukan tindakan kriminal sampai pada batas waktu tertentu.

Namun realitanya, yang dihadapi negara saat ini adalah rakyat. Bukan sembarang rakyat, tapi rakyat yang sedang sakit. Bukan sembarang sakit, tapi sakit karena pandemi covid-19.

Apakah, dengan melakukan pidana penjara kepada rakyat yang enggan divaksin, serta merta membuat rakyat jadi sehat ? Apakah, dengan memberikan sanksi denda bagi penolak vaksin, akan menjadikan penolak vaksin imun terhadap virus Covid-19 ?

Negara atau pejabatnya, sebelum mengambil kebijakan bahkan sebelum mengeluarkan statement mesti menyadari bahwa saat ini negara sedang menghadapi rakyat nya yang sedang sakit, bukan menghadapi penjahat. Sebagaimana umumnya orang sakit, mungkin saja ada keinginan dan kehendak rakyat yang aneh, tak sejalan dengan kehendak Negara. Tetapi, semua itu tidak bisa diselesaikan dengan narasi ancaman.

Ancaman pidana bagi penolak Vaksin baik berdasarkan ketentuan pasal 93 Jo pasal 9 UU No 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana disampaikan Wamenkumham, atau sanksi pidana berdasarkan ketentuan pasal 216 KUHP seperti yang disampaikan Menkopolhukam, tidak berdasar dan sangat menyakiti rakyat. Yang dibutuhkan rakyat yang sedang sakit adalah pengobatan, edukasi, pelayanan, perlindungan dan pengayoman dari Negara. Bukan narasi ancaman pidana atau ancaman paksaan dari Negara berdalih pasal 28J UUD 45.

Bagi Negara, menyelenggarakan layanan kesehatan termasuk memberikan program vaksinasi adalah kewajiban. Sementara, bagi rakyat memanfaatkan fasilitas dan layanan kesehatan negara, termasuk memanfaatkan program vaksinasi pemerintah adalah hak yang kedudukannya sebagai pilihan bukan kewajiban. Rakyat memiliki hak dan kehendak bebas, untuk mengambil atau tidak mengambil, menggunakan atau tidak menggunakan fasilitas dan layanan kesehatan yang disediakan negara.

Secara khusus, rakyat juga memiliki hak dan kehendak bebas, untuk mengambil atau tidak mengambil, menggunakan atau tidak menggunakan fasilitas vaksinasi yang disediakan pemerintah. Soal apakah hal itu dijamin konstitusi dan perundangan, tentunya hal itu sudah penulis sampaikan pada artikel sebelumnya.

Dalam kesempatan diskusi, penulis juga mengingatkan agar negara tidak menambah beban rakyat dengan bertindak otoriter, memaksakan kehendak hingga mengeluarkan ancaman pidana. Dalam kondisi pandemi, apalagi ditengah banyaknya musibah bencana alam seperti banjir di Kalsel dan Gempa di sejumlah wilayah, semestinya Negara meningkatkan kohesi sosial antara rakyat dengan Negara. Bukan malah sebaliknya.

Tidak penting, tidak urgen, bahkan lucu pada saat rakyat ditimpa pandemi, ditimpa bencana, presiden justru mengeluarkan Perpres Nomor 7 tahun 2020, yang rentan menjadi alat adu domba rakyat berdalih isu ekstrimisme. Saat ini rakyat butuh sehat, butuh makan, dan butuh penanganan cepat di wilayah yang mengalami musibah bencana.

Perpres yang berpotensi menjadi alat gebuk bagi umat Islam, yang akan dituding ekstrimis karena meyakini agama dan mendakwahkan ajaran agamanya, justru akan mengundang bala. Sudah cukup, sejumlah kriminalisasi terhadap ulama dan pembubaran FPI. Sudah cukup bencana banjir dan gempa melanda negeri ini. Jangan ditambah lagi.

Selanjutnya, umat ini, rakyat dan pemimpinnya butuh bersatu menghadapi pandemi. Butuh bersatu menangani berbagai musibah dan bencana. Butuh Islam sebagai solusi untuk menyelesaikan segala problematika bangsa. Karena itu, mari kita dudukan Islam sebagai solusi bukan sebagai ancaman.

Demikianlah, diantara substansi materi yang penulis sampaikan pada Ahad, 17 Januari 2021. Selain penulis, juga hadir narasumber lain yaitu : Ustadz Adam Cholil Al Bantany (Keynote speaker), Victor Santoso Tandiasa S.H., M.H. – Kuasa Hukum Uji Perda Covid, Drs. Wahyudi Al Maroky M.Si. – Direktur Pamong Institute, dr. Muhammad Amin M.Ked. Klin. Sp.MK – Direktur Poverty Care dan Kyai Abdul Azis – Ulama Aswaja Jawa Timur.

Bahagia dan lega, diantara kesibukan rutinitas bisa hadir dalam forum diskusi yang semoga bisa membuka cakrawala umat. Semoga, Allah SWT menjaga negeri ini dari berbagai bencana dan bala. Cukup sudah bencana yang ada, sebagai pelajaran agar umat ini kembali kepada syari’at Allah SWT. [].

Dilaporkan oleh
Alamouty Motovali Ali Junaz
Departemen Kesehatan DPP PAN

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here