Tiap 9 Januari — kecuali mungkin di hari-hari Covid-19 ini — ratusan ribu orang berdesakan di jalan-jalan Manila. Mereka bergerak, rapat, melambaikan kacu putih, menjunjung baner marun, berteriak “viva! viva!”, dan selama berjam-jam mengiringi sebuah patung hitam — patung Yesus.

Kebaktian mereka mengesankan, keyakinan mereka membingungkan.

Upacara “Traslación” di kota Filipina itu sebenarnya tak berliku-liku: arak-arakan besar ini mengantar patung al-Masih dipindahkan dari sebuah gereja di wilayah Intramuros ke sebuah gereja di Quiapo. Jaraknya cuma 6, 5 kilometer. Tapi perjalanan itu bisa berlangsung 22 jam, sampai patung itu tiba di basilika kecil yang dituju. Jalanan berhimpit-himpit. Orang tak bisa melangkah satu meter ke samping atau ke depan. Kamera drone dari atas akan melihat ribuan manusia yang bergerak itu seperti lumpur sungai yang mengalir berat: pelan, kedap, tak habis-habis.

Di tengahnya, sebuah kereta beringsut ditarik tali. Di atas kereta itu anak-anak muda berbaju kuning — mereka “Hijos del Nazareno” — bertugas menjaga “Poong Itim na Nazareno”, patung kayu seukuran manusia yang mencitrakan Yesus, orang Nazareth, dalam perjalanan menuju kematian.

Arca “Nazarene Hitam” itu impresif. Sejarahnya bermula 415 tahun yang lalu. Diraut seorang seniman tak dikenal di Acapulco, Meksiko, di abad ke-16, ia dibawa ke Filipina di tahun 1606. Yang digambarkan adalah Yesus memikul salib mendaki bukit Golgotha.

Tapi berbeda dengan gambaran yang lazim, Yesus yang terbuat dari kayu mesquite hitam ini tampak gagah: ia berjubah beludu warna marun, dengan krah putih yang direnda dalam bentuk bunga, dengan sulaman benang keemasan di dada. Sabuknya berlapis emas bertuliskan NAZARENO. Ia tak mengenakan mahkota duri, melainkan mahkota yang dihiasi tiga “rayos” (sinar) dari logam mulia dan gelas berkilau.

Kita tak tahu, persiskah gambaran tentang Yesus yang megah itu. Mungkin orang bahkan tak tahu itu bukan patung yang asli. Empat abad sejarah Filipina digempur perang dan bencana. Waktu telah merusak sesembahan itu. Ia memerlukan replika.

Tapi bukan keaslian dan kepersisan Nazareno yang menentukan auranya. Di satu sisi, orang-orang dalam prosesi itu tentu tahu Kristus tak ada di kereta yang terseot-seot ke basilika Quiapo. Tapi di sisi lain, dengan iman Kristiani yang tulus, mereka berlomba mengusapkan kain putih ke badan “Nazarene Hitam” agar penyakit bisa sembuh, rejeki bisa didapat.

Kita tahu, agama hidup dengan ambiguitas.

Dan tak cuma hari itu.

Alkitab melarang orang beriman membuat gambar manusia dan menyembah berhala, seperti ketentuan kedua agama Ibrahimi yang lain. Sejarah dunia Kristen menyaksikan beberapa kali letusan “ikonoklasme”, gerakan menghancurkan patung: di abad ke-8 dan ke-9 di Bizantium, dan di awal abad ke-16 di Eropa, ketika orang Protestan membakar arca dan lukisan di gereja-gereja.

Tapi ikonoklasme tak pernah penuh. Martin Luther sendiri, pelopor Protestantisme, menganggap, ketika orang membaca kitab suci dan membayangkan Kristus dalam imajinasinya, itu tak berbeda dengan memasang patungnya di Katedral. Sebelum Luther, ada “fatwa” Thomas Aquinas, tokoh theologi Gereja di abad ke-13: “Pemujaan religius bukan ditujukan ke patung dan gambar itu sendiri, yang merupakan benda semata-mata…Gerak ke arah gambar dan patung tak berhenti pada gambar dan patung, melainkan ke arah yang mereka citrakan”.

Kalimat Aquinas agaknya bergema dalam “l’Idole et la Distance” (1991) Jean Luc Marion. Pemikir Katholik Prancis ini punya sebuah dikotomi yang termashur: ada “idole”, (“berhala,” benda sesembahan) dan ada “icône “(terjemahan saya: “azimat”). Keduanya bukan saja berbeda, tapi berkebalikan.

Ketika ribuan orang di Quiapo memandang arca Yesus itu bukan cuma sebagai penanda, tapi sebagai sang Pemberi sendiri — yang karunianya bisa mereka pesan langsung —mereka tak lagi memuliakan Ia yang maha gaib, yang tak tepermanai. Tuhan sudah mereka bentuk — dan mereka bentuk sesuai dengan hasrat mereka. Tuhan hanya cermin diri mereka. Tuhan instrumental.

Berbeda dengan ketika kita terpukau dalam doa yang merunduk. Saat itu bukan berhala yang kita takzimi, melainkan yang maha-tak-bisa-direpresentasikan. Seperti yang dialami Musa di puncak Sinai, di mana wajah Tuhan tetap juga tak nampak, seperti Amir Hamzah dalam sajaknya yang mirip doa: “Di manakah Engkau/rupa tiada/suara sayup…”.

Di saat seperti itu, yang hadir adalah eikon, “azimat”.

Tapi upacara “Traslación” menegaskan bahwa beda antara “berhala” dan “azimat” bukanlah beda si obyek — ia tetap patung hitam yang satu itu — melainkan beda dalam posisi memandangnya. Di sini terasa benar agama ambigu dan keyakinan cemas. Berdosakah aku karena menyembah berhala? Atau diberkatikah aku, karena, dengan susah payah tapi tulus, merindukan yang maha tak tepermanai?

Maka orang pun berhimpun, beratus ribu, saling mengukuhkan diri: lihat, kita di jalan yang benar!

Mungkin sebab itu agama-agama, Kristen, Hindu, Islam, Budhisme — sebagai ekspresi ambiguitas dan kecemasan — selalu punya upacara di mana manusia saling merapat. Dalam prosesi gemuruh ke Quiapo, kita dengar teriak, viva! viva!…Suara harapan. Suara ketakutan.

Goenawan Mohamad

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here