Oleh: Jacobus E. Lato SBSINews – Memimpikan Perayaan Natal yang aman tentram tanpa persoalan terasa berlebihan di negeri yang beragam ini. Kedua orangtua Yesus yang mengklaim diri keturunan Daud saja menghadapi persoalan di Kota Daud. Mereka malah terlampau ndeso untuk dianggap elit di kota metropolitan kuno Yerusalem. Mereka malah dinilai terlalu hina untuk tidur dalam rumah warga Yerusalem. Apalagi dalam penginapan-penginapan. Meski kandang yang hina-dina menjadi tempat berlindung para penggembala dan secara teologis diagungkan karena dipertentangkan dengan istana sebagai simbol kekuasaan dan kemewahan. Injil sama sekali tidak mengisahkan bahwa tempat hewan itu kerapkali juga digunakan oleh masyarakat sebagai tempat melahirkan yang nyaman. Pernyataan ini harus dipertegas, supaya kita lebih mudah menempatkan kemiskinan dan ketidakberdayaan Yusuf dan Maria dalam kehidupan sosial masa itu. Masyarakat kita secara kasat mata terpetakan dalam berbagai pulau, suku, adat-istiadat, agama, status sosial, golongan kemampuan ekonomi dan lain-lainnya yang berjarak satu sama lain. Masalah Sektarian
Kenyataan yang cenderung primordial itu semakin terkotak lagi oleh kepentingan dan ideologinya yang saling berkompetisi merebut pengaruh di negeri ini, ketika kekuasaan terasa gamang menghadapi berbagai kekuatan sektarian. Tidaklah mengherankan, begitu banyak persoalan terasa menyesak meruak. Sebagai bangsa, Natal yang kudus dan transcendental seolah membawa orang kepada persoalan-persoalan di luar diri umat Kristen, yang bertali-temali dengan persoalan sosial politik dan kepentingan bangsa ini. Pada tataran pribadi, kita berhadapan dengan soal seperti ucapan salam antarpenganut agama, yang lebih menjadi ekspresi dan dinamika kehidupan sosial etis yang ketika dipertautkan dengan doktrin keagamaan yang eksklusif dan doktriner, ia pun menjadi masalah. Persoalan yang mengemuka pada penghujung kekuasaan Orde Baru itu pun berdampak pada larangan untuk memasang atribut Natal di bebagai tempat umum. Yang paling akhir, konon pihak berwenang di dua wilayah kabupaten di Sumatera, yaitu di Jorong Kampung Baru, Nagari Sikabau Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya, dan Nagari Sungai Tambang, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat melarang umat Kristen merayakan Natal di gereja. Mereka hanya boleh merayakannya di rumah masing-masing. Perekat yang Rapuh
Pada titik ini, kita pun tersentak betapa bangunan dan perekat sosial politik kita bisa dikatakan rapuh. Mengenai hal ini, tirto.id, (23/12) menulis dengan nada getir, “Dari melarang ibadah Natal bersama di dua kabupaten di Sumatera Barat dengan dalih “kesepakatan bersama” hingga imbauan melarang mengucapkan selamat Natal oleh MUI Jawa Timur, kecuali untuk Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Hal itu menggambarkan betapa rapuh bangunan “keluarga besar Indonesia.” Dan ternyata, persoalan sopan santun etis kehidupan sosial bersama ini dalam telaah Sekretaris MUI Jatim Mochammad Yunus bisa merusak akidah. Betapa berdosanya umat Kristen jika mengharapkan ucapan salam, tetapi sudi membiarkan rekan-rekan Muslim mereka, minimal Mochamad Yunus misalnya masuk neraka. Setelah Merdeka
Setelah hampir 74 tahun hidup sebagai bangsa, fenomena itu tentu saja terasa getir. Media daring yang sama lantas menurunkan artikel bertajuk “Pemerintah Ikut Melanggengkan Larangan Ibadah Natal di Sumbar.” Dan dalihnya seperti dikatakan oleh Sudarto dari Pusat Studi Antar Komunitas (PUSAKA) Padang, karena sudah ada kesepakatan bersama. Kejadian itu dalam temuan Sudarto bukan kali pertama, tetapi sudah sejak 1985. Sejak Orde Baru sedang jaya-jayanya dan kekuasaan seorang RT apalagi bupati terasa mendapatkan legitimasi dari Jakarta yang penuh ancaman sekaligus menindas membungkam. Pegiat sosial kebebasan beragama dan berkeyakinan itu mengisahkan, ketika itu, ada 20 Kepala Keluarga (sekitar 60 warga Katolik) Stasi Santa Anastasia, Jorong Kampung Baru, Nagari Sikabau dari berbagai latar-belakang diam-diam melakukan kebaktian di rumah salah satu umat Katolik. Karena kesulitan tempat, mereka kemudian membeli satu rumah untuk ibadah sebab Gereja Katolik terdekat berada di Kota Sawahlunto, yang berjarak sekitar 120 kilometer sana. Mulanya mereka tidak mendapatkan gangguan. Namun, sekitar awal tahun 2000, sekelompok warga menolak pelaksanaan kebaktian itu lalu membakar rumah tempat kebaktian umat Katolik itu. “Alasannya salah seorang dari orang Kristen menyembelih babi untuk dimakan,” ucapnya. Akibat pembakaran rumah ibadah itu, mereka dilarang melaksanakan kebaktian secara berjemaah sejak 2004 hingga 2009. Umat Menangis
Trisila, salah satu jemaat menyampaikan data berbeda dari Sudarto. Menurut dia, aturan ini sudah berlaku sejak 2017. Terlepas dari ketidakpastian historisnya, Trisila mengaku hanya bisa menangis menghadapi kasus pelanggaran konstitusi dan HAM ini. “Kami rela tapi menangis, pasrah tapi sedih, itulah yang kami alami saat ini.” “Kalau sudah dilarang ya sudahlah, kami tidak akan berunding lagi, daripada gaduh, biarlah kami tidak merayakan Natal. Tidak kumpul-kumpul,” sambungnya ABC Indonesia beberapa waktu lalu. Kanwil Kementerian Agama rupanya terusik. Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama Hendri mencoba berkelit. Menurutnya, umat Kristen tidak dilarang merayakan ibadah Natal. Namun, mereka, urainya seperti dituliskan CNN Indonesia, Minggu (22/12) membatasi perayaan Natal di luar tempat ibadah. Hal ini menurut Hendri merupakan hasil kesepakatan untuk menjaga kerukunan umat beragama. Sikap yang sama juga datang dari atasannya. Pemerintah yang Kontroversial
Menteri Agama, Fachrul Razi mengatakan perayaan Natal bersama tidak diijinkan di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, karena itu merupakan kesepakatan bersama. Alasannya, karena tidak ada gereja di Dharmasraya. Presiden Joko Widodo tampaknya sigap. Seperti dijelaskan Detik.com, orang nomor satu negeri ini lantas tegas mengatakan bahwa negara menjamin warganya memeluk agama dan merayakan hari raya. “Di negara ini konstitusi kita menjamin, sudah jelas tegas di konstitusi kita tegas konstitusi kita menjamin memeluk agama dan kepercayaan masing-masing tidak ada yang perlu diragukan untuk itu,” ujar presiden di Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (18/12/2019). Sikap tegas ini pun membuat presiden memerintahkan Kapolri Jenderal Idham Azis untuk menindak tegas pelaku sweeping selama Natal dan Tahun Baru. Polri pun menjamin dan mengajak masyarakat ikut menjaga keamanan pada momen itu. Para pejabat terkait pun menyampaikan sikap yang sama. Menko Polhukam Mahfud M.D. menegaskan tidak boleh ada sweeping saat perayaan Natal. Dia mengatakan sweeping oleh pihak swasta tidak diperkenankan. Pernyataan Kanwil Kemenag Sumatera Barat dan Menteri Agama Fachrul Razi rupanya susah dipahami. Persoalannya seperti diungkapkan berbagai media, gereja terdekat letaknya 120 Km dari sana. Dan juga kita tahu membangun gereja bukan pekerjaan mudah di negeri ini. Negeri yang Beradab
Jika pun dibangun, kita tahu betapa negeri yang diklaim beradab itu lebih mudah membongkar sebuah gereja ketimbang warung remang-remang. Malah ada orang tidak bertanggung jawab dan sedikit kurang ajar mengatakan membangun tempat prostitusi malah jauh lebih mudah di negeri yang konon sangat agamis ini. Selain itu, demokrasi negeri ini sudah dimanipulasi oleh berbagai kekuatan konservatif dan kaum ekstrim kanan yang oportunistis demi kepentingan mereka. Globalisasi terasa tidak banyak membuka wawasan berpikit segelintir oportunistis negeri ini untuk keluar dari batasan diri. Bukannya membuka diri, mereka malah terjebak dalam sikap sektarian dan partikularistis yang eksklusif yang membahayakan kehidupan bangsa ini. Pernyataan almarhum Rm. Mangunwijaya (1994:21) mungkin pantas direnungkan di sini. Menurutnya, bukan to have a religion itulah yang menentukan dan yang harus dihargai dan diusahakan, akan tetapi being religious. “Yang terakhir ini,” menurutnya “yang dirasakan jauh lebih penting dan menentukan segala-galanya sehingga pantas didialogkan dan diusahakan demi Kerajaan Allah. Demi hari depan bangsa manusia dan planet bumi kita ini.” (ikatolik.com/SM) Tentu saja demi hari depan Indonesia. Wassalam! Jacobus E. Lato Pemerhati masalah sosial yang berdiam di Surabaya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here