Oleh: Hendrik Hutagalung, SH.
JAKARTA SBSINews – Buruh perkebunan sawit maupun perkebunan karet setiap pagi wajib mengikuti lingkaran pagi agar mereka tahu apa yang harus di kerjakan dan target kerja yang harus dikerjakan untuk mencapai upah harian, dengan status buruh harian lepas (BHL).
Buruh perkebunan ini menikmati upah harian yang di bayar secara mingguan atau bulanan berdasarkan hasil kerja mereka dengan standar upah yang telah ditetapkan pemerinatah melalui Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Upah Minimum Kabupaten (UMK).
Berbagai problem dialami BHL diantaranya :
a. upah yang diterima berdasarkan berdasarkan volume/hasil kerja secara borongan dan mutu upah tidak dapat memberikan hidup sejahtera
b. tidak ada jaminan kesejahteraan karena tidak pernah diangkat menjadi buruh tetap
c. dalam bekerja tidak di lengkapi dengan perlengkapan keselamatan kerja atau alat pelindung diri (APD)
d. tidak dilengkapi fasilitas alat kerja seperti alat semprot, masker, nutrisi penambah kekuatan, dodos, agrek, arco.
e. bahaya secara khusus BHL adalah menghadapi ancaman binatang liar dan buas, lebih khusus yang bekerja di perkebunan karet setiap pagi subuh mereka sudah bekerja menyadap karet dan harus berhadapan dengan pacet (pengisap darah) dan hampir setiap pagi darah mereka di hisap oleh pacet-pacet tersebut.
Permasalahan hak-hak normatif juga sering diabaikan oleh pihak managemen perusahaan perkebunan seperti:
a. Upah, komponen penghasilan/upah memang tidak diatur secara khusus dalam Undang Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, undang-undang tersebut lebih memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan upah antara lain tidak boleh membayar upah lebih rendah dari upan minimum propinsi/kabupaten/kota (UMP/UMK) yang di tetapkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota, bahkan lebih tragis buruh harian lepas (BHL) ketika sakit juga tidak mendapatkan upah.
b. Upah lembur adalah upah yang diberikan ketika buruh bekerja melebihi waktu kerja yang telah diatur dalam peraturan perburuhan (lebih dari 8 jam sehari untuk 5 hari kerja atau 7 jam sehari untuk 6 hari kerja atau jumlah akumulasi kerjanya lebih dari 40 jam seminggu), hal ini juga tidak pernah didapatkan oleh buruh harian lepas.
c. cuti dan istirahat kerja adalah hak buruh yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan, dan klasifikasinya adalah sebagai berikut :
1. Cuti tahunan (selama 12 hari kerja), diberikan pada buruh yang telah bekerja selama 12 bulan berturut-turut.
2. Istirahat panjang (selama dua bulan), diberikan pada buruh yang telah bekerja 6 tahun terus menerus pada perusahaan yang sama.
3. Cuti Haid, diberikan pada buruh perempuan yang merasa sakit pada hari pertama dan kedua saat haid.
4. Cuti Hamil/Bersalin/Keguguran, diberikan pada buruh perempuan 1,5 bulan sebelum dan bulan setelah melahirkan. Namun pelaksanaan waktu istirahat tahunan atau cuti tahun sangat jarang didapatkan oleh buruh harian lepas, begitu juga dengan cuti melahirkan sesudah dan atau sebelum melahirkan tidak mereka dapat bahkan disaat hamil buruh perempuan ini diberhentikan oleh mandor dengan tidak mendapatkan hak apa – apa, dan pada saat cuti melahirkan juga tidak dibayarkan oleh pihak managemen perusahaan.
d. Jaminan sosial tenaga kerja, setiap buruh wajib diikut sertakan dalam program BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan akan tetapi dengan status buruh harian lepas (BHL) buruh yang bekerja di perkebunan hanya diikutsertakan setengah program yang diantaranya jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan jamainan kematian (JKM).
Dari rangkaian perjalanan selama ini, Kami sebagai Pengurus Pusat Federasi Pertanian Perkayuan dan Konstruksi (Konfederasi) Serikat Buruh Sejahtera Indonesia di berbagai daerah perkebunan seperti halnya Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, ada banyak kelemahan dipengawasan oleh Pengawas Ketenagakerjaan seperti:
Pertama, pengawas ketenagakerjaan di provinsi tidak punya pengetahuan teknis yang memadai tentang industri sawit sehingga sulit pengawas memahami konteks perkebunan sawit. Sehingga sulit juga untuk menemukan pelanggaran di dalam perkebunan.
Kedua, jumlah pengawas tak sebanding dengan jumlah perusahaan dan luasnya wilayah pengawasan.
Selain dari kelemahan tersebut pengawas ketenagakerjaan juga selalu mengeluhkan biaya transportasi untuk melakukan investigasi kelapangan sehingga beberapa masalah atau laporan yang masuk ke UPT Pengawas Ketenagakerjaan staknan, persoalan pengawasan dan penegakan hukum lemah dan tak berpihak buruh. Ini terlihat dari pembiaran atas eksploitasi buruh.
Beberapa masalah biasa terjadi, seperti pemberian target kerja tak manusiawi, diskriminasi buruh perempuan, pekerja anak, dampak target tak manusiawi, penyelewengan status kerja dan praktik upah di bawah aturan yang melanggar UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003.
Dalam praktik perburuhan di perkebunan sawit, sering kali banyak diskriminasi terhadap kaum perempuan.
Kebanyakan perempuan bekerja dengan status BHL, mereka biasa bekerja di bidang perawatan, pemupukan, penyemportan insektisida, pembrondol, dan lain-lain. Karena banyak bersinggungan dengan pestisida, katanya, kesehatan reproduksi buruh perempuan makin terancam.
Perempuan juga dengan sistematis dibatasi hari kerja menjadi 20 hari dalam sebulan, ini untuk mensiasati aturan pemerintah yang mengharuskan perusahaan membayar pekerja yang bekerja 21 hari berturut-turut dengan upah minimum daerah dan mengangkat mereka jadi pekerja tetap.
Perlu ada regulasi khusus
Ketiadaan aturan khusus mengenai buruh di perkebunan sawit dan karet, maka masalah ini semakin pelik.
Di Indonesia, ada beberapa regulasi mengatur ketenagakerjaan, antara lain, UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaanan PP 78 Tahun 2015 tentang skema pengupahan, Kepmenakaer atau Permenaker. Sayangnya aturan – aturan itu belum menjawab persoalan pelik buruh perkebunan sawit dan karet.
Dalam konteks perkebunan sawit, UU ini gagal memberikan perlindungan pada buruh sawit karena UU Ketenagakerjaan dibuat berdasarkan kondisi pekerja sektor pertambangan. Sifat pekerjaan perkebunan sawit/karet berbeda jauh dari pekerjaan sektor pertambangan, ini bisa dilihat dari kebutuhan kalori yang jauh lebih tinggi.
Selain itu, penerapan beban kerja di perkebunan sawit atau karet juga berbeda. Ia lebih menekankan tiga aspek, yakni target tonase, luas lahan, dan jam kerja.
Pekerja sektor perkebunan memiliki beban kerja jauh lebih berat daripada sektor pertambangan. Pekerja perkebunan secara sosiologis terisolasi dari dunia luar.
Mereka hidup dalam pemukiman berbentuk kompleks perumahan yang disediakan perusahaan dan banyak yang tak layak. Masalah-masalah dasar seperti sanitasi, air bersih, saluran air, ruang bermain yang aman untuk anak, sampai fasilitas kesehatan, tidak disediakan dengan layak oleh perusahaan.
Buruh kebun sawit juga harus mengeluarkan dana ekstra untuk berangkat ketempat kerja dengan membeli BBM, begitu untuk mengakses pendidikan, fasilitas kesehatan untuk penyakit berat, dan akses hiburan. Lokasi mereka jauh di dalam perkebunan, diperparah dengan infrastruktur jalan sulit untuk dilalui.
Hendrik Hutagalung, SH. Sekretaris Wilayah III, Kalimantan – Sulawesi