Jacob Ereste

Kebebasan Pers, Ratifikasi ILO, dan UU kebebasan berserikat sungguh memberi peluang untuk tumbuh dan berkembangnya organisasi buruh. Lalu mengapa buruh Indonesia yang berjumlah 140 juta orang itu tidak berhasrat gabung dalam organisasi buruh?

Lalu mengapa jumlah organisasi buruh yang justru berkembang jumlahnya, meski total jendral hingga jumlah organisasi buruh nyaris 100-an jumlahnya ditingkat nasional dan ribuan untuk tingkat daerah atau lokal.

Hal yang sangat kentara dan terasa sekali, yang disebut dengan roh dari buruh maupun serikat buruh itu adalah kepedulian, kebersamaan serta solidaritas dan hal itu sangat merosot. Nyaris tidak ada acara penting se-level nasional yang dilakukan organisasi buruh, utamanya yang melibatkan berbagai elemen masyarakat yang beragam dan banyak jumlahnya.

Sungguh sangat terasa, masing-masing organisasi buruh berjalan sendiri-sendiri. Benarkah slogan buruh bersatu pasti menang itu masih patut ditetiakkan? Agaknya slogan itu hanya berlaku bagi kelompok terbatas guna memompa semangat yang lebih bersifat elitis.

Sehingga rasa kangen untuk berhimpun dalam satu wadah Dewan Buruh Nasional misalnya seperti yang pernah digagas oleh para tokoh aktivis buruh beberapa tahun silam, semakin membuat nostalgia buruk dalam perjalanan sejarah organisasi buruh di Indonesia.

Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) misalnya yang menjadi sangat fenomenal semasa Orde Baru, karena memilih sikap melawan rezim penguasa bersama segenap kaki tangannya, termasuk mengatur organisasi buruh yang memberi hak monopoli oleh Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), bisa runtuh. Sayangnya buah reformasi 1998 di Indonesia tidak berjalan lurus dengan idealisme organisasi buruh. Langka aktivis maupun fungsionaris organisasi buruh yang handal dan tangguh jelas jadi penyebab bagi organisasi buruh seperti kerakap di atas batu.

Masing-masing organisasi buruh asyik membangun kerajaan sendiri dan tidak ada gagasan untuk membangun kebersamaan dari ratusan organisasi buruh yang ada agar bisa menjadi satu kekuatan penyeimbang untuk dan guna memperjuangkan aspirasi kaum buruh Indonesia secara terpadu dan menyeluruh dan tidak terkotak-kotak.

Sikap egois dan individualistik dari budaya yang bertumbuh pada hampir semua organisasi buruh yang ada di tanah air kita jelas sekali sebagai bentuk dari kesalahan buruh dan organisasi buruh yang tergasak oleh kapitalisme yang sesungguhnya tidak ada dalam tradisi maupun budaya kita sebelumnya.

Sosialisme khas yang tumbuh di taman budaya warga bangsa nusantara tergerus habis hanya karena distigma sama dengan komunis yang dilarang hidup di Indonesia sampai hari ini. Perjuangan yang paling substansial bagi kaum buruh maupun organisasi buruh Indonesia untuk beberapa tahun ke depan tetap tidak akan lebih bermakna kecuali tetap berharap pada belas kasihan pemerintah serta pengusaha, belum bisa sepenuhnya hasil murni dari perjuangan organisasi.

Karena itu catatan penting diujung tahun 2017, buruh dan organisasi buruh patutlah segera menata dan menyusun kembali cara dan strategi untuk membangun organisasi buruh yang kuat, mandiri dan mampu mengaksentuasikan segenap aspirasi kaum buruh. Jika tidak, maka selamanya nasib kaum buruh Indonesia tidak akan berubah kecuali atas dasar kesadaran dan belas kasihan pemerintah dan pengusaha.

Banten, 31 Desember 2017
Ratuate
Sulaiman Salam
Jacob Ereste

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here