Terkadang lisan kurang terkontrol, jejemari menekan tuts pun kerap tak terkendali.
Jika tidak dipikirkan dengan matang, lalu aneka hujatan dimuntahkan melalui rongga mulut―atau via postingan akun media sosial―akan memicu beragam polemik dan kecaman dari berbagai pihak.
Inilah berita viral pekan ini “Natalius Pigai disandingkan dengan foto gorila” sebagai trending topic.
Akun twitter, idealnya dijadikan sebagai sarana pemersatu bangsa dan wahana amal jariyah dari asbab cuitan di medsos, justru digunakan sebagai alat provokasi dan penghinaan diambang batas.
Itulah yang dilakukan tiga orang berlainan locus; Prof. Yusuf Leonard Henuk, dosen Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara (USU), Ambroncius Nababan salah seorang politikus nasional, serta pegiat media sosial Permadi Arya alias Abu Janda.
Ketiganya beravonturir mengeroyok mantan Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai (NP) sebagai ‘makhluk gorila’.
Ketiganya memfill up kalimat satire berujung ekshibisi;
Penghinaan…
Penodaan…
Membuli.
Adalah tindakannya telah menciderai UUD 1945 dan tidak mengindahkan HAM yang berlaku di negara ini.
Syahdan, apa yang terjadi lewat jejak digital itu?
Ulah mereka menimbulkan aneka reaksi nusantara.
Postingannya bagai gunung Anak Krakatau memamerkan letusan terdahsyatnya di level 6 skala Volcanic Explosivity Index (VEI).
Anatominya sekejap meleleh dan menyembur magma desiran darah panas mengalir cepat ke jagad raya Papua, lantaran diduga mengandung unsur rasialisme.
Ternyata, lisan & jejemari lewat postingan mampu menjulurkan lidah api, MAKKANRÊ SAMATAPPING. Lalu membakar semak-semak belukar ‘jiwa’ orang Papua yang solid.
Kenapa harus membalut narasi ‘NP identik makhluk gorila’―bila nantinya bumerang bagi dirinya―bahkan sebelantara komunitasnya.
Dari mana ia menjiplak konsonan “penghancur kedamaian”?
Ini harus dihentikan, dilawan & tdk boleh dibiarkan sampai kapan pun!
Berpikirlah sebelum berbicara/memposting di medsos; bila ujung-ujungnya dapat memunculkan virus amukan massa. Apakah deskripsi itu baik dan bermanfaat, atau dapat berbalik arah; melesat pesat menuju jantung si empunya.
Saudaraku Yang Budiman!
Jaga mulut…dan perhatikan gerakan piston jejemarimu yang suka menari-nari setiap saat di papan keyboard.
Sebab, ia bisa berwujud harimaumu!
Mulut & jejemari, bisa berharakah membuat langit Indonesia biru cerah… atau sebaliknya, dapat mengepulkan abu vulkanik membuat langit negeri menjadi gelap gulita.
Sekali lagi,
Adalah kebodohan durjana, baru saja dipertontonkan ketiga orang anak bangsa, mencaci sekoloninya sendiri.
Norma layu lepas tangkai, runtuh tiada berdaya.
Keterkenalan, tidaklah menjamin orang bisa ditiru semua prilakunya.
Mungkin mereka bisa diperiksa bagasi kepalanya.
Siapa tau ‘benalu-benalu’ di otak digit terendah masih bersarang divirtual memorinya…atau konslet kabel positif negatifnya.
Akankah pengacau-pengacau bangsa terus diberi kesempatan menyebarkan angin duri-durinya?
Relevankah ‘manusia sampah’ dipelihara?
Tabe’, tanya pemilik rumah Indonesia…
Penulis : Suf Kasman
Mariki’ di Kintamani