Presiden daripada Soeharto dan jajarannya pernah direpotkan oleh seorang pengacara dari Medan bernama Muchtar Pakpahan. Selain sebagai pengacara, dia juga adalah Ketua Umum Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) yang lahir pada 25 April 1992. Aparat hukum Orde Baru berusaha menjeratnya sejak awal 1994. Dalam Perjuangan Kebebasan Berserikat Buruh di Masa Orde Baru, 1992-1997 (2006:127) Muchtar Pakpahan menceritakan, pada 9 Februari 1994 dirinya tengah berada di Semarang dalam rangka pertemuan buruh yang diadakan sesepuh Angkatan 45 Jawa Tengah. “Acara pertemuan dimulai pukul 10.00 WIB, lengkap dengan permohonan ijin kepada polsek setempat. Ketika saya sedang berceramah sekitar 45 menit, tiba-tiba petugas dari Poltabes Semarang menghentikan acara tersebut,” ujar Muchtar. Bersama Trisjanto (Ketua Angkatan 45 Jawa Tengah) dan Sunarty (pimpinan SBSI), Muchtar digelandang ke Poltabes. Mereka dimintai keterangan mengenai izin pertemuan tersebut. Muchtar tak ditahan lama karena pertemuan itu. Namun beberapa bulan kemudian, dia ditahan lagi di Medan, setelah terjadi demonstrasi buruh pada April 1994. Menurut Jafar Suryomenggolo dalam Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal 1950an (2015:118) demonstrasi buruh ini adalah “aksi pemogokan terkemuka pada masa Orde Baru.” Aksi buruh tersebut terjadi menjelang lebaran. Aksi itu, masih menurut Jafar, “membuka kesempatan bagi gerakan buruh untuk berani menyuarakan tuntutannya.” Budiman Sudjatmiko, yang dulu jauh dari istana tapi kini sebaliknya, dalam Anak-anak Revolusi Volume 1 (2013:418) mengaku bahwa “Peristiwa demo di Medan ini menginspirasi kami semua.” Muchtar Pakpahan tak hanya dipenjara dari Agustus 1994 hingga Mei 1995, tapi juga seperti ditulis Vedi Hadiz dalam Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto (2005:63) dituduh memiliki latar belakang keluarga komunis oleh para petinggi militer. Mayor Jenderal Soeyono, Panglima Kodam Diponegoro, Jawa tengah, seperti dikutip Tempo (30/04/1994), menyebutkan bahwa berdasarkan penelusuran pihak militer, Muchtar Pakpahan orang berbahaya karena memiliki latar belakang sebagai anak tokoh penggerak Bandar Betsy Simalungun, yakni Sutan Johan Pakpahan. Menurut laporan itu, Muchtar waktu kecil bernama Bebas Pakpahan dan ayahnya yang konon anggota Barisan Tani Indonesia (BTI)–organisasi sayap PKI–meninggal ketika dia berusia 11 tahun. Muchtar memang anak seorang petani dan pernah merasakan jadi orang susah yang harus menarik becak di Medan. Dia merantau karena keluarganya hanya punya 1,5 hektare sawah yang tak mencukupi kehidupan keluarga. Dalam buku Advokat Muda Indonesia (1992:63) disebutkan bahwa kehidupannya pahit di masa bocah. Setelah ditinggal ayah pada usia 11 tahun, ibunya menyusul saat dia berusia 18 tahun. Hal tersebut membuat Muchtar dan saudara-saudaranya lebih cepat dewasa.

Muchtar tidak tahu pasti ayahnya anggota BTI atau bukan. Dia juga mengaku bahwa dirinya tak membuang nama Bebas. Hingga menikah, dia tetap dipanggil Bebas. Namun penulisan namanya sudah ditulis Muchtar Pakpahan karena kesalahan bagian tata usaha di SMP-nya. Betul tidaknya dia anak keturunan anggota organisasi sayap PKI, yang pasti di zaman itu menjadi anggota BTI adalah lumrah dan bukan hal terlarang. Menurut Muchtar, Bandar Betsy dengan kampungnya berjarak sekitar 80 km. Muchtar sendiri mengaku bahwa dia bukan seorang komunis. Namun, semua yang berseberangan dengan Orde Baru kerap dicap sebagai komunis atau PKI, termasuk dirinya.

Apa yang menimpa Muchtar Pakpahan itu bukan kasusnya yang terakhir. Kasus berikutnya berupa tuduhan dan tuntutannya lebih sangar lagi. “Sejak tanggal 30 Juli 1996, saya resmi menjadi tahanan Kejaksaan Agung RI, dan dituduh melakukan tindak pidana Subversi pasal 1 (1) UU No. 11/PnPs/1963, dengan ancaman hukuman mati,” ujar Muchtar dalam Perjuangan Kebebasan Berserikat Buruh di Masa Orde Baru, 1992-1997 (2006:3). Dia ditahan karena bukunya yang berjudul Potret Negara Indonesia (1995). “Ternyata pemikiran terhadap reformasi yang tertuang dalam Potret Negara Indonesia itu dianggap subversif dan diadili,” ungkapnya. Buku itu terkait dengan tugas akhirnya di program doktor hukum di Universitas Indonesia.

Pada hari-hari pertamanya ditahan, Muchtar merasa bahwa “penahanan ini hanyalah semacam shock therapy politik” yang akan ada akhirnya. Hukuman mati nyatanya tak pernah menghampirinya. Semasa dalam kurungan, Muchtar pernah bertemu Budiman Sudjatmiko dan aktivis lain yang disekap Orde Baru. Dia sadar bahwa penjara adalah konsekuensi dari pergerakannya bersama kaum buruh dalam melawan penguasa otoriter. Muchtar baru bebas setelah Soeharto lengser dan BJ Habibie naik sebagai presiden. Keadaan politik Indonesia lalu menjadi lebih semarak dengan kemunculan banyak partai. Muchtar Pakpahan sendiri mengibarkan Partai Buruh yang ternyata gagal dalam pertarungan politik elektoral dan akhirnya tersingkir. Muchtar yang lahir di Bahjambi II, Simalungun, Sumatra Utara, pada 21 Desember 1953 itu meraih gelar sarjana hukum dari Universitas Sumatra Utara pada 1981. Setelah itu jadi pengacara di Medan. Gelar Magister dia tempuh di Universitas Indonesia. Muchtar pernah mengajar di Universitas HKBP Nommensen Medan dan Universitas Kristen Indonesia. Dia tutup usia pada 22 Maret 2021 di Rumah Sakit Siloam Semanggi, Jakarta.

SUMBER : TIRTO.ID

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here