MENGORBANKAN KEBEBASAN DIRI DEMI KESEJAHTERAAN KAUM BURUH

(Tulisan-1)
“Selamat pagi, Pak Presiden…..”

Orang yang disapa menghentikan langkah. Tiga lelaki yang mengiringinya berlelaku serupa.

“Pagi…Apa kabar, kau sehat kan?” ucapnya sembari memperbaiki letak peci yang terlalu miring. Kemeja jins biru yang membalut tubuhnya yang agak pendek tapi berisi tampak lembab karena keringat.

“Sehat.”

“Syukurlah. Itu yang menting,” lanjut pria berpeci dengan tersenyum. Ia menepuk pundak teman bicaranya, seorang tahanan biasa, sebelum meneruskan langkah dengan bersemangat menuju sebuah sudut. Ketiga temannya setia mendampingi.

Sapaan ‘pak presiden’ terdengar juga di sudut yang dinaungi pohon. Dialamatkan ke lelaki separuh baya berpeci dan berpembawaan ceria.

Nyata bahwa dia populer. Buktinya, orang-orang di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang tersebut ada saja yang menyapa atau melambai dari kejauhan ke dia. Isyarat persabatan tersebut selalu dibalasnya dengan tak kurang hangat.

Mengapa Muchtar Pakpahan disapa orang dengan sebutan ‘pak presiden’? Pertanyaan itu mengusik kami, para wartawan yang berkali-kali membesuk kawan-kawan tahanan politik (tapol) di sana. Penasaran, suatu waktu seorang dari kami bertanya ke petugas yang sedang bercengkrama dengan sejawatnya.

“Bang Muchtar kan pimpinan kaum buruh. Jadi, orang-orang di sini menyebut dia presiden,” sipir itu menjelaskan.

Singkat tapi gamblang keterangan dia. Tapi itu sebenarnya rawan untuk dimasalahkan cecunguk rezim Orde Baru yang kupingnya ada di mana-mana sebab telah menduakan presiden Indonesia. Salah-salah bisa dianggap makar alias subversif.

Di masa itu, paruh kedua 1997, kanak-kanak saja tak boleh bercita-cita menjadi kepala negara sebab itu dianggap mengurangi wibawa Jenderal (purnawirawan) Soeharto. Menduakan organisasi resmi [baca: yang diakui negara] pun haram hukumnya.

Hanya boleh ada 1 organisasi buruh yakni Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Satu wadah pegawai negeri yaitu Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri). Satu perhimpunan pemuda: Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Organisasi wartawan pun demikian. Jika menduakan berarti subversif! Absurd dan menggelikan? Iya! Tapi setelah era reformasi saja kita bisa bebas menertawakannya.

SUBVERSIF
Muchtar Bebas Pakpahan menjadi penghuni LP Cipinang sejak Juli 1996 karena menulis buku Potret Negara Indonesia. Di sana ia menyatakan pembangunan yang sekian lama dijalankan Orde Baru gagal sehingga diperlukan sebuah reformasi. Ternyata dengan buah pikiran itu ia dianggap makar sehingga sempat diancam dengan hukuman pidana mati.

Buku Potret Negara Indonesia sebenarnya pengembangan dari disertasi yang dipertahankannya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 1993. Berjudul Pelaksanaan Tugas dan Hak DPR Masa Kerja 1982-1987, disertasi itu sempat menuai masalah karena menyoal rezim Orde Baru yang menurutnya jauh dari demokratis dan telah menyelewengkan UUD 1945.

Dua hari setelah mendoktor ia pun diinterogasi oleh Badan Intelijen Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (BIA). Otoritas yang sangat berkuasa itu meminta dia merevisi disertasinya dengan alasan agar tak membahayakan keselamatan negara.

Karya ini kemudian, pada 1994, diterbitkan Pustaka Sinar Harapan menjadi buku dengan judul DPR RI Semasa Orde Baru. Nadanya tentu lebih lembut, kata pengantarnya ditulis oleh ahli tata negara terkemuka Prof. Sri Sumantri.

Sebelum di LP Cipinang, Muchtar Pakpahan telah berpengalaman menjadi tahanan. Sejak Februari 1994, misalnya, ia meringkuk di sel Kepolisian Kota Besar (Poltabes) Semarang.

Ceritanya, Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) yang dipimpinnya merencanakan aksi mogok buruh se-Indonesia pada 12 Februari 1994. Ternyata rencana ini kemudian dibatalkan meski terlanjur sudah diumumkan ke khalayak luas. Alasannya? Terutama keamanan.

Untuk menginformasikannya sekaligus berkonsolidasi, dia dan Sekjen SBSI, Sunarty, bertolak ke Semarang. Rupanya kaum perkerja di kota lumpia ini sudah siap bergerak karena waktu untuk mogok nasional serentak itu tinggal 3 hari lagi. Aparat keamanan pun telah bersiap menghadapinya. Dalam suasana panas itulah ia dan Sunarty ditangkap.

Sebebas dari tahanan Semarang, Muchtar Pakpahan dan Sunarty terbang ke Medan. Di sana sejumlah pegiat buruh telah penjarakan sebagai ekor dari pemogokan akbar berhari-hari pada April 1994.
Awalnya adalah aksi buruh di Lapangan Merdeka, Medan. Sekitar 25 ribu pekerja dari 43 pabrik yang berlokasi di Kawasan Industri Medan (KIM) menuntut kenaikan gaji, hak untuk bebas berorganisasi, dan pengusutan kasus kematian seorang sejawat mereka.

Tentara ternyata menghalau pengunjuk rasa dari Lapangan Merdeka yang berada di jantung kota. Di tengah kekacauan suasana, seorang direktur pabrik yang berlokasi di KIM tewas terkena lemparan batu. Bertambah kisruh lagi, tentu, keadaan. Pemogokan massal serta-merta terjadi. Di Medan sampai 4 hari sedangkan di kitarannya—Tanjung Morawa, Binjai, dan Belawan—bahkan seminggu.

Bakorstanasda yang dipimpin Pangdam I Bukit Barisan, Mayjen Sudaryanto, turun tangan dan mempersalahkan SBSI sebagai biang kekacauan. Mereka menangkapi para pentolan buruh di kota bergolak. Dalam situasi seperti kacau itulah Mochtar Pakpahan dan Sunarty tiba di Medan. Ternyata mereka juga dibekuk.

Cap PKI dilekatkan penguasa pada SBSI. Organisasi tandingan SPSI ini dilarang berkegiatan untuk sementara di Sumatra Utara, oleh Ketua Bakorstanasda, Mayjen Sudaryanto.

Pengadilan kemudian memvonis Muchtar Pakpahan bersalah. Ia lantas membui di penjara Tanjung Gusta, Medan, pada Agustus 1994-Mei 1995. Ia tidak menjadi lembek apalagi tumpas di sana. Justru kian bergairah. Kreativitasnya juga bertamah. Minat mencipta lagu, misalnya, ia kembangkan. Nanti setelah di LP Cipinang pun demikian.

BINTANG NARAPIDANA
Selain Muchtar Bebas Pakpahan, Di LP Cipinang pada paruh kedua 1997 itu mendekam juga Sri Bintang Pamungkas, dosen Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FT-UI) yang merupakan pengecam keras penguasa Orde Baru. Ia dipenjarakan dengan tuduhan ikut mengotaki aksi unjuk rasa yang mempermalukan Presiden Soeharto di Dresden, Jerman, pada 5 April 1995.

Di bui ini juga meringkuk tokoh gerakan kemerdekaan Timor Timur, Kay Rala Xanana Gusmao. Tak jelas apakah seperti halnya Muchtar Pakpahan kedua tokoh kelas kakap yang menjadi terpidana ini bersebutan presiden juga di sana.

LP Cipinang kala itu diramaikan oleh puluhan narapidana politik. Selain Muchtar Pakpahan, Sri Bintang, dan Xanana terdapat anak-anak muda pegiat Partai Rakyat Demokratik (PRD): Budiman Sudjatmiko, Petrus Hariyanto, Wilson, Garda Sembiring, dan yang lain. Juga aktifis PIJAR (Nuku Sulaiman dan Tri Agus Susanto Siswomiharjo) serta Aliansi Jurnalis Independen (AJI: Ahmad Taufik, Eko ‘Item’ Maryadi, dan kemudian, Andi Syahputra).

Kombatan ada juga yaitu sekutu Xanana di gerakan kemerdekaan Timtim (Fernando Araujo dan Joao Freitas da Camara) dan anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Mereka yang tersangkut dalam kasus Talangsari, Lampung, tahun 1989 (di masa Kolonel AM Hendropryono menjadi Komandan Korem Kala Hitam) juga ada. Pun unsur Negara Islam Indonesia (NII).

Satu lagi yang mesti disebut adalah tapol G30S (Kol. Abdul Latief, Bungkus, dan yang lain). Tentu saja mereka ini sudah serba sepuh di tahun 1977 itu.

Tapol politik merupakan kelompok minoritas di sana. Yang terbanyak adalah napi kriminal. Di antara ratusan orang mereka terdapat beberapa pesohor. Di antaranya adalah adalah Muhammad Sirajudin (Pak De) dan Harnoko Dewantono (Oki).

Pak De yang belakangan berpraktik sebagai dukun tersangkut kasus kematian, Dietje Budiarsih, pada 1986. Ia yang dituduh menghabisi pragawati asal Bandung itu meski hubungan keduanya—seperti yang dikisahkannya—sudah seperti ayah-anak.

Pengadilan memvonis mantan tentara berpangkat pembantu letnan satu (peltu) seumur hidup kendati ia konsisten menyatakan tuduhan terhadap dirinya hanyalah rekayasa untuk menyelamatkan muka keluarga Cendana.

Seperti terungkap di persidangan, Dietje memiliki hubungan khusus dengan sejumlah orang besar termasuk Swidikatmono, Indra Rukmana, dan Suwoto Sukendar. Pengusaha terkemuka Sudwikatmono (pemilik supermarket Golden Truly dan jaringan bioskop 21) sepupu Presiden Soeharto; sedangkan Indra Rukmana menantunya (suami Siti Hardijanti Hastuti alias Mbak Tutut). Suwoto Sukendar adalah Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) periode 1969-1973 yang kemudian menjadi Ketua KADIN.

Harnoko Dewanto (Oki) dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat karena terbukti membantai secara sadis Eri Tiharto Darmawan, Gina Sutan Azwar, dan Suresh Gobid Michandani di Los Angeles, AS. Eri adik Oki, sedangkan Gina pacarnya. Adapun Suresh, ia mitra usahanya.

Pak De yang jangkung, berkumis tebal, dan gemar berpeci menjadi incaran kaum pewarta, setiap besuk ke LP Cipinang. Ia penutur yang baik sehingga menjadi teman bercakap yang asyik.

Adapun Oki, sang eksekutif muda yang selalu berpenampilan modis, ia cenderung dihindari. Predikatnya sebagai pembunuh berdarah dingin membuat jurnalis enggan bercakap dengannya. Padahal sesungguhnya ia sumber informasi yang sangat menarik apalagi sebagai narapidana dia mengajarkan para tahanan bahasa Inggris.

Kol. Latief salah satu favorit wartawan. Stroke telah membuat suaranya menjadi sengau dan terkadang kurang terang. Tapi, kehangatannya sebagai pribadi, semangat berkisahnya yang tak pernah surut, .serta peran sentralnya dalam peristiwa 30 September 1965 membuat sosok yang kreatif menukangi ini-itu terlalu penting untuk dikesampingkan.

Muchtar Pakpahan, Sri Bintang Pamungkas, Xanana Gusmao, dan Budiman Sudjatmiko tentulah bintang utamanya. Muchtar Pakpahan, misalnya. Kejuangannya di lapangan perburuhan kita di masa itu tiada duanya. Sayang, sebagian besar anak ‘zaman now’ tidak mengetahuinya sebab memang tak termaktub dalam kita-kitab sejarah versi penguasa. (Bersambung)

*Catatan tentang sumber foto: (1) viva.co.id, (2) jurnalintelijen.com, (4) Ade Zulkarnain, dan (5) today.line.me.
.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here