Dalam catatan sejarahnya, bola kaki sejatinya dimulai dari tindakan spontan, sejumlah tentara perang Inggris diwilayah pendudukannya, yang melepas kepenatan dengan memainkan, menendang-nendang, dan saling mengoper, tengkorak kepala manusia yang sudah kering dan terbiar di lokasi peperangan. Lalu tahun demi tahun berjalan, permainan itu terevolusi dan absah menjadi peradaban yang turut dibangun, dipoles, dikembangkan, dan dilakoni mengikuti dinamika jaman, hingga hari ini.
Bola kaki, jika itu dipandang sebagai tolak ukur yang bisa merobah perilaku manusia, maka betapa bola kaki itu sangat menyihir dan bikin terpesona. Mengobok-obok juga emosi banyak orang. Jadi andai bola kaki itu sebuah teladan moral, maka faktanya dia telah memiliki miliaran pengagum dan pengikut. Maka jangan ditanya lagi, mengapa ada orang yang ingin bertato dan bergaya seperti Messi, bintang bola Argentina itu yang penuh tato dibadan. Atau ada orang yang memaksakan model rambut dan tampilannya seperti Cristian Ronaldo sang bintang Portugal. Atau ada yang berlaku alim seperti Ricardo kaka atau yang dikenal Kaka si bintang Brasil yang juga seorang pendeta. Atau misalnya juga seperti Mesut Ozil bintang Jerman yang tidak lepas lima waktu dan puasa. Alhasil figur bintang bola kaki, adalah teladan dan panutan.
Tapi disisi lain kita dibuat tercengang dengan bola kaki yang mampu ciptakan milliaran uang berputar dipasar-pasar taruhan dan perjudian, menciptakan juga huru-hara, konflik-konflik anarkis antar pendukung, konvoi-konvoi brutal, hingga harus menyentuh dan menggetarkan juga tatanan politik. Untuk yang terakhir dipentas bola kaki ini, kita juga disuguhkan dengan pro kontra LGBT serta bagimana tekanan politik hadir juga didalamnya.
Ditengah orang-orang politik dan agama yang dipandang membingungkan dengan sistem moral yang berbelit untuk membuat segala hal tampak lebih rumit dari keadaan sebenarnya, kemungkinan (dilakukan) untuk mencapai tujuan mereka sendiri. Lalu sekarang orang-orang merasa menjadi lebih baik jika mengikuti moralitas sederhana lapangan bola kaki ketimbang politisi dan agamawan. Sekarang bola kaki jika tidak ingin dianggap telah menjadi, maka setidaknya bola kaki nyaris dikultuskan sebagai sebuah ideologi dan agama (?).
Bukan suatu kebetulan dan bukan main-main, hampir lima miliaran orang dan itu berarti seluruh dunia, mulai dari anak kecil yang belum paham, sampai orang tua renta yang mulai pikun, ikut terpedaya oleh daya tarik bola kaki. Saat ini jika ditanya mana yang paling disukai, ikut gelaran politik atau khotbah agama. Orang tentu lebih suka menonton dan main bola kaki.
Jika orang-orang sepakat menonnton film tidak sama dengan menonnton bola kaki, lalu apa yang bisa didapatkan? Tentu bergantung pada setiap orang. Dan ada lima milliaran orang yang tentu akan menyembulkan pula lima milliaran apresiasi, tafsiran, dan pandangan. Lalu sejatinya, bola kaki yang mengklaim menjunjung tinggi sportivitas, lapangan hijaunya yang menghampar telah menjadi ajang suburnya benih, yang melegalkan dan membudayakan dendam, pertikaian, dan permusuhan. Disamping banyak orang dengan mudah bisa dikuasai, dikendalikan dan diarahkan.
Tokoh filsafat Albert Camus, pernah bertutur tentang bola kaki; “Aku belajar bahwa bola tidak pernah datang dari arah yang diduga. Itu membantuku kemudian dalam hidup, terutama di Perancis daratan, di mana orang-orang tidak pernah bermain jujur.”
Penulis
Motu Hamasu
Pegiat Medsos