Putusan yang menyelamatkan hak pilih itu patut diacungi jempol.

KTP-E menjadi syarat mutlak untuk bisa memilih pada 17 April bagi pemilih yang tidak masuk daftar pemilih tetap (DPT) sesuai ketentuan Pasal 348 ayat (9) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Ketentuan itu menjadi lonceng kematian hak pilih 4,2 juta pemilih yang tidak tercantum dalam DPT dan hingga kini belum mengantongi KTP-E.

MK memutuskan bahwa pemilih yang tidak masuk DPT dan belum memiliki KTP-E tetap bisa memilih. Dengan demikian, MK telah memulihkan hak pilih 4,2 pemilih tanpa KTP-E. Mereka cukup menggunakan surat keterangan (suket) merekam data kependudukan yang dikeluarkan dinas kependudukan dan pencatatan sipil (dukcapil).

Putusan MK itu harus segera ditindaklanjuti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan dinas dukcapil. Tanggung jawab sekaligus kewajiban dinas dukcapil untuk memastikan bahwa 4,2 juta pemilih yang belum melakukan rekam data KTP-E bisa mendapatkan suket sebagai WNI yang akan menggunakan hak pilih mereka.

Hak pilih merupakan hak konstitusional warga di mana pun di sebuah wilayah yang menganut prinsip dan sistem demokrasi dalam bernegara. Oleh karena itu, baik hak memilih maupun hak dipilih tidak boleh dibatasi, disimpangi, ditiadakan, dan bahkan dihapuskan hanya karena persoalan administrasi kependudukan.

Dua butir putusan MK lainnya yang patut diapresiasi ialah perihal pemilih pindahan dan penghitungan suara. Pemilih pindahan boleh mengurus administrasi hingga H-7 dari sebelumnya H-30.

Terkait dengan penghitungan suara yang sebelumnya harus tuntas pada hari itu juga, oleh MK penghitungan suara di tempat pemungutan suara (TPS) diperpanjang selama 12 jam tanpa jeda.

Harus tegas dikatakan bahwa majelis hakim MK telah bertindak sebagai negarawan dengan memulihkan hak pilih warga yang belum mempunyai KTP-E. Sebaliknya, tegas pula dikatakan bahwa pembuat undang-undang perlu belajar menjadi negarawan sehingga tidak meniadakan hak pilih warga hanya karena persoalan administrasi kependudukan.

Disebut perlu belajar menjadi negarawan karena Undang-Undang No 7 Tahun 2017 hingga kini memegang rekor paling banyak diuji materi ke MK. Sepanjang 2018, sudah 28 kali UU itu dibawa ke MK. Pada tiga bulan terakhir, tiga pihak membawa UU Pemilu ke MK.

Pembuat undang-undang mestinya mempertimbangkan secara saksama setiap pasal terhadap konstitusi. Bukan mempertimbangkan kepentingan sesaat. Sejumlah ketentuan dalam UU Pemilu malah mengakomodasi kembali aturan yang sudah dibatalkan MK sebelumnya, misalnya terkait dengan kegiatan penghitungan cepat yang kini masih diuji di MK.

Jujur dikatakan bahwa UU Pemilu paling banyak dibawa ke MK karena berkaitan dengan kepentingan politik DPR sendiri dalam pemilu berikutnya. UU Pemilu kali ini disahkan pada 2017, sementara tahapan Pemilu 2019 dimulai pada 2018.

Perlu ada rentang waktu yang cukup antara pengesahan UU Pemilu dan tahapan pemilu, misalnya tiga tahun sebelumnya. Jika tahapan Pemilu 2024 dimulai setahun sebelumnya, UU Pemilu sudah disahkan pada 2020. Paling ideal bila UU yang ada sekarang juga diberlakukan untuk pemilu berikutnya dengan mengakomodasi seluruh putusan MK.

Putusan MK telah memulihkan hak pilih warga sekaligus menguatkan legitimasi Pemilu 2019. MK patut diapresiasi atas kinerja konstitusional mereka yang sempurna. (ANFPP)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here