Ketentuan mendapat Jaminan Kehilangan Pekerjaan(JKP) dari BPJS Ketenagakerjaan Buruh/Pekerja membayar iuran 6 (enam) bulan berturut – turut sebelum terjadi Pemutusan Hubungan Kerja(PHK) Namun ada fakta

ketika belum terjadi PHK karena masih dalam proses perselisihan pihak pengusaha sering kali tidak bayar upah lagi sehingga iuran JKK,JKM,JHT dan JKP nya akan tertunggak.

Diperparah lagi adanya putusan PHI yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan PHK resmi terjadi, tetapi iuran tidak dibayar lagi oleh pihak perusahaan, maka dipastikan pekerja yang ter-PHK tidak akan dapat JKP.

Hal ini akan terus terjadi karena pihak Disnaker dan Kemnaker RI sangat lemah dalam hal pengawasan, akibatnya perintah pasal 155 ayat (2) UU ketgaakerjaan dan UU Cipta Kerja (lupa pasalnya) yang memerintahkan pengusaha dan pekerja harus menjalankan kewajibannya sebelum adanya putusan PHK yg berkekuatan hukum tetap.

Harusnya pengusaha tetap membayar upah termasuk membayar iuran jaminan sosial dan pekerja yang tetap bekerja.

Jadi hal utama dan pertama yang harus dilakukan Kemnaker RI dan Disnaker adalah meningkatkan peran pengawasan dan mediator.

Mediator dalam proses mediasi harus nertanya kepada pengusaha apakah tetap bayar upah dan iuran jaminan sosial bagi pekerjanya, bila dijawab tidak maka mediator harus melimpahkan masalah ini ke pengawasan ketenagakerjaan untuk dipastikan upah dan iuran jaminan sosial dibayarkan sehingga hak-hak pekerja atas jaminan sosial tetap aktif termasuk hak untuk mendapatkan JKP ,juga terjamin.
Kalau hanya sekadar sosialisasi, walaupun ini bukan hal utama. Buruh/pekerja membutuhkan kepastian pelaksanaan jaminan sosial dan itu harus dimulai dari keseriusan pemerintah cq. Kemnaker dan Disnaker cq. Pengawas ketenagakerjaan dan mediator hubungan induatrial.

Disamping itu sangat perlu bagi Serikat Buruh/Serikat Pekerjaan memastikan peran pemerintah tersebut danbenar-benar ditingkatkan, jangan membiarkan fungsi pengawas dan mediator jadi mandul.

Tentu Kita menunggu niat baik pemerintah dengan lahirnya UU Ciota Kerja dan 4 PP turunan UU CK untuk memperbaiki infrastruktur HI dan aparatnya.

Demikian juga kita tunggu respon SB-SP Upaya kembali memaksimalkan peran Pengawas dan Mediator sangat penting. Langkah penataan fungsi tersebut dengan ditariknya pengawasan ke level Provinsi juga merupakan masalah, sementara Mediator masih di Kabupaten/Kota yang jenjang karir mereka tergantung kepada Kepala Daerah yang di banyak hal kurang paham akan Hubungan Industrial.

Konkritnya untuk pengadaan tenaga mediator diperlukan persetujuan DPRD yangTerhormat karena proses penganggaran di Kabupaten/Kota termasuk Pengganggaran Pengawasan berada ditangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota.

Masalah pun menjadi tidak ringan ketika disisi lain Para Kepala Dinas yang memegang Dinas Ketenagakerjaan lahir dari berbagai profesi (Camat, Kepala Satpol PP, Kepala Pasar dan lain-lain. Bagaimana mungkin. mampu sekiranya pun mau memberikan masukan kepada Kepala Daerah secara komprehensif tentang pentingnya Hubungan Industrial harus tercipta dengan baik ditambah lagi Peran Pengawas yang sudah kembali sentralisasikan kinerja pasca reorganisasi Tenaga Pengawas di Kementrian dimana gerak langkahnya masih pada kecepatan dibawah rata-rata.

Semoga peran SP/SB lebih memberikan dorongan lebih hebat. Kesadaran akan hal ini dan itu semua hanya sebagian kecil juga dipahami oleh kalangan Pengusaha.

Redaksi SBSINEWS
03 Maret 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here