SBSINews – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) tampak tak berhenti menuai kontroversi. Belum selesai masalah arus kas BPJS Kesehatan yang masih defisit, tiba-tiba direksi dan anggota dewan pengawas BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan malah mendapat bonus tambahan.
Di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112 Tahun 2019 tentang Manfaat Tambahan Lainnya dan Insentif bagi Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Direksi BPJS, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menambah tunjangan cuti tahunan bagi anggota dewan pengawas dan dewan direksi dengan nilai satu kali dan paling banyak dua kali dari nilai gaji dan upah.
Sejatinya, jumlah tunjangan itu naik dua kali lipat dibandingkan dengan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34 Tahun 2015 tentang Manfaat Tambahan Lainnya dan Insentif bagi Anggota Dewan pengawas dan Anggota Direksi BPJS. Sesuai beleid tersebut, tunjangan cuti tahunan bagi anggota dewan pengawas dan anggota direksi BPJS hanya diberikan dengan ketentuan paling banyak satu kali dalam satu tahun dan paling banyak satu kali gaji atau upah.
Namun, Kemenkeu mengungkap bahwa BPJS ternyata sebelumnya mengusulkan perubahan tunjangan lainnya. Sebut saja kenaikan THR keagamaan, tunjangan cuti tahunan, tunjangan cuti besar, dan tunjangan perumahan, serta peningkatan tunjangan komunikasi, fasilitas kesehatan, dan fasilitas olahraga.
Hanya, Kemenkeu menolak usulan kenaikan tunjangan yang bejibun tersebut. Kemenkeu juga memastikan kenaikan tunjangan tidak menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Pembayaran manfaat lainnya tersebut (termasuk di dalamnya adalah tunjangan cuti tahunan) menggunakan dana operasional BPJS dan tidak menggunakan sumber dana dari APBN,” jelas Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Nufransa Wira Sakti.
Meski demikian, kenaikan tunjangan ini tentu menimbulkan tanda tanya besar. Apalagi, kinerja direksi dan dewan pengawas BPJS sampai saat ini dinilai minim prestasi.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan penambahan bonus kepada manajemen BPJS seharusnya didasarkan pada kinerja yang ditorehkan. Namun sayangnya, kinerja direksi dan dewan pengawas tidak bisa membawa BPJS mencapai target-targetnya.
Untuk BPJS Kesehatan, masalah defisit arus kas menahun adalah cermin penting pengelolaan BPJS yang tidak baik. Pada tahun ini, defisit BPJS Kesehatan diproyeksi mencapai Rp28 triliun atau membengkak dari tahun lalu Rp9,1 triliun sesuai audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Menurutnya, besaran iuran bukanlah faktor satu-satunya penyumbang defisit. Masih ada inefisiensi pelayanan kesehatan, potensi kecurangan (fraud) di rumah sakit hingga piutang yang belum bisa tertagih. Menurutnya, itu semua berkaitan dengan performa manajemen.
Rapor merah pun ia sematkan kepada BPJS Ketenagakerjaan. Banyak indikator kinerja yang menurutnya jika tak optimal. Misalnya, investasi dana kelolaan yang hanya Rp27 triliun dari target Rp32 triliun pada 2018 lalu serta dana kelolaan sebesar Rp364 triliun yang lebih kecil dari targetnya Rp367 triliun.
“Persoalan ini (kenaikan tunjangan) harusnya dilihat dari sisi prestasi, masalahnya prestasi mereka apa? Target-target yang sudah ditetapkan saja tidak tercapai,” jelas Timboel.
Timboel juga heran dengan permintaan kenaikan tunjangan tersebut di tengah tunjangan direksi dan dewan pengawas yang dianggapnya sudah cukup besar. Untuk tunjangan ini, ia mengambil contoh rencana kerja BPJS Kesehatan.
Mengutip Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT) 2019, BPJS Kesehatan menganggarkan beban insentif kepada direksi sebesar Rp32,88 miliar. Jika dibagi ke delapan anggota direksi, maka setiap anggota direksi mendapatkan insentif Rp4,11 miliar per orang.
Dengan kata lain, seluruh direksi menikmati insentif Rp342,56 juta per bulan. Sementara itu, beban insentif dewan pengawas BPJS Kesehatan dianggarkan Rp17,73 miliar per tahun.
Jika dibagi kepada tujuh dewan pengawas, maka tiap kepala mendapat insentif Rp2,55 miliar. Jika dirata-rata ke dalam 12 bulan, maka insentif yang diterima dewan pengawas adalah Rp211,14 juta per bulan.
Dengan nilai insentif yang jumbo, Timboel pun mempertanyakan urgensi penambahan tunjangan. Apalagi, bonus yang ditambah adalah tunjangan cuti yang memang tidak ada sangkut pautnya dengan peningkatan kinerja BPJS Kesehatan.
“Tunjangan mereka sudah besar, jadi tunjangan ditambah satu bulan gaji itu maunya apa? Mau liburan ke Planet Mars? Atau Planet Venus? Kalau memang tujuannya meningkatkan kinerja, lantas tunjangan cuti seharusnya tidak relevan,” papar dia.
Sebelum menyetujui kenaikan tunjangan, seharusnya pemerintah melakukan penilaian menyeluruh terhadap kinerja dewan direksi dan pengawas BPJS. Evaluasi seharusnya ditekankan pada realisasi atas target-target yang ingin dicapai duo BPJS.
Di BPJS Ketenagakerjaan, misalnya, pemerintah harus lakukan pengawasan mumpuni untuk target investasi, dana kelolaan, hingga target pelayanan. Sementara untuk BPJS Kesehatan, pemerintah bisa mengukur kemampuan mengumpulkan piutang iuran hingga realisasi pelayanan di masyarakat.
Seluruh indikator itu, lanjut Timboel, seharusnya bisa dilihat secara kasat mata. “Presiden harus langsung evaluasi kinerja direksi dan dewan pengawas BPJS. Dan kemudian, kami berharap Menteri Keuangan mencabut PMK tersebut. Jika tidak mau, presiden harus tegur Menkeu. Sebab, ini bikin masyarakat bertanya-tanya, mengapa ada proses yang kontraproduktif di pengelolaan BPJS,” jelas dia.
Menurut dia, pengelolaan BPJS harus kembali lagi sesuai amanah seharusnya. Iuran yang diberikan peserta seharusnya dikembalikan untuk manfaat bersama.
“Jadi selama tidak ada argumentasi yang valid mengenai ini, saya menganggapnya mereka hanya aji mumpung,” jelas dia.
Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan kenaikan tunjangan itu punya perspektif berbeda dari sisi kebijakan publik. Menurut dia, langkah Sri Mulyani ini sebenarnya cukup baik karena bisa memotivasi kinerja manajemen BPJS agar punya kinerja lebih.
Hanya saja, tetap perlu dilihat korelasi antara kenaikan tunjangan cuti dengan tujuan yang ingin dicapai BPJS. Namun, mengukur hal tersebut tentu akan sulit. Sehingga, sebelum menyetujui kenaikan tunjangan cuti, pemerintah seharusnya memang melakukan evaluasi atas kinerja BPJS.
“Memang ada kemungkinan kenaikan kompensasi manajemen pelayanan publik bisa meningkatkan kinerja mereka. Tapi tidak serta merta begitu. Tengok saja Aparatur Sipil Negara (ASN), kenaikan jumlah gaji ke-13 dan gaji ke-14 kemarin juga bukan jaminan kinerjanya makin bagus,” tutur dia.
Maka, sebelum memutuskan kenaikan tunjangan cuti, pemerintah harus mempertimbangkan beberapa prinsip dasar. Pertama, formulasi kebijakannya. Kenaikan angka kompensasi harus rasional sesuai dengan kinerja mereka selama ini.
Kedua, prinsip hukum. Pemberian kenaikan tunjangan bisa saja dilakukan kalau memang BPJS sudah melaksanakan tugasnya sesuai aturan hukum dan konstitusi yang berlaku meski targetnya tidak tercapai. Sebab, sebagai institusi pelayanan publik, BPJS tetap harus patuh dengan rambu-rambunya.
“Terlebih, bisa jadi institusi pelayanan publik tidak bergerak maksimal karena aturan lain yang diterbitkan pemerintah. Jadi hal ini perlu diperhatikan di dalam assesment tersebut,” terang dia.
Namun, nasi sudah menjadi bubur. Kenaikan tunjangan pun sudah terjadi. Jika sudah begini, maka ia menyarankan pemerintah untuk terus mengawasi kinerja BPJS.
Bahkan, dengan kenaikan tunjangan ini, masyarakat juga berhak menuntut BPJS untuk lebih transparan mengenai pengelolaan dana selama ini. Apalagi, pendapatan utama mereka adalah iuran kepesertaan.
“Kalau misalnya ada kenaikan tunjangan, ini kan buat publik bertanya-tanya. Kalau (tunjangan) direksinya naik, maka buat operasional kesehatannya bagaimana? Nah, ini yang sebaiknya perlu dijelaskan secara terbuka ke publik agar tidak menimbulkan spekulasi liar,” papar dia. (CNN Indonesia/Jacob Ereste)