Menarik mencermati organisasi yang saat ini getol ganti kulit, ketika menjadi organisasi terlarang seperti halnya HTI dan FPI.

MENJADI ORGANISASI TERLARANG.
Menjadi perhatian masyarakat dan media mainstream adalah keputusan FPI untuk tidak menggugat pemerintah ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) , terkait keputusan SKB 3 menteri tanggal 30 Desember 2020 tentang pelarangan kegiatan, penggunaan atribut serta simbol-simbol FPI.

FPI MEMBUBARKAN DIRI.
Tanggal 31 Desember 2020. Ahmad Sobri Lubis selaku Ketua Umum FPI dan Munarman selaku Sekjen beserta beberapa rekan lainnya, langsung mendeklarasikan Front Persatuan Islam, yang kemudian akhirnya berubah menjadi Front Persaudaraan Islam (Perkumpulan).

Setelah batal menggugat pemerintah ke PTUN, kemudian juga mendirikan perkumpulan baru dengan singkatan yang sama (FPI) serta para pendirinya adalah eks pengurus FPI terlarang, maka dengan sendirinya FPI terlarang telah dibubarkan oleh fungsional ormas FPI sendiri.

DASAR HUKUM PERKUMPULAN.
polemik muncul ditengah masyarakat soal berdirinya Front Persaudaraan Islam (FPI metamorfosis). Mayoritas masyarakat alergi begitu mendengar nama FPI. Terbayang arogansi, persekusi, ekstrimisme dan terorisme.
Masyarakat yang sudah alergi pada FPI lama, kemudian disuguhi FPI ganti kulit dengan pengurus dan massa yang sama, sudah tentu curiga dan apriori terhadap nama organisasi meresahkan tersebut.

Muncul berbagai penafsiran tentang legal formal FPI metamorfosis, apakah sah dan bisa memiliki ijin atau hak untuk berserikat dan berkumpul..?

FPI metamorfosis tidak bisa dilarang walau para pendirinya memutuskan untuk tidak mendaftarkan perkumpulan tersebut ke Kesbangpol Kemendagri untuk memperoleh SKT.

Lantas bisakah berjalan FPI metamorfosis tersebut..?

FPI metamorfosis dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 : “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”

Kemudian apakah masyarakat bisa mendapatkan jaminan bahwa FPI metamorfosis tidak melakukan hal tercela sebagai mana FPI lama…?

Pasal 24 ayat (1) UU HAM menjelaskan : “Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai”
Jadi jelas kalau untuk maksud damai tentu FPI metamorfosis memiliki hak untuk mendirikan perkumpulan.

Surat Keterangan Terdaftar (SKT) bukankah merupakan syarat berdiri dan diakuinya sebuah organisasi sebagaimana UU Ormas Nomor 16 tahun 2017…?

Menurut putusan MK nomor 82/PUU-XI/2013.
Dilihat dari salinan putusan yang diunggah di situs MK, putusan tersebut berisi soal perkara Pengujian UU Nomor 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) terhadap UUD 1945. Pemohon uji materi (judicial review) tersebut ialah PP Muhammadiyah yang diwakili Din Syamsuddin selaku Ketua Umum dan Abdul Mu’ti selaku Sekretaris Umum yang menjabat saat itu. Salah satu dalil yang diajukan pemohon ialah pengujian pembedaan ormas di lingkup nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang diatur dalam Pasal 8, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 UU 17/2013. Dalam putusannya, MK menyatakan dalil pemohon beralasan menurut hukum.

Artinya SKT bukan kewajiban untuk didaftarkan kalau perkumpulan atau ormas dimaksud mandiri dalam pendanaan organisasi. Tetapi menjadi wajib apabila perkumpulan atau ormas dimaksud bekerjasama dan mendapatkan dana pembinaan dari pemerintah.

MENJAWAB KEKUATIRAN MASYARAKAT.
Masyarakat tidak perlu kuatir atau takut dalam menyikapi FPI metamorfosis. Sebab apabila mengacu pada : Pasal 24 ayat (1) UU HAM menjelaskan : “Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai”
Penekanan kata “untuk maksud-maksud damai” tentu akan menjadi pegangan aparat untuk menangkap, menghukum pelaku tindakan membuat resah, serta membubarkan FPI metamorfosis, apabila perkumpulan tersebut tidak meninggalkan tabiat lama mereka.

Penulis : Novy Viky Akihary

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here