JAKARTA SBSINews – Rencana Revisi UU KPK bersamaan dengan seleksi Capim KPK yang dianggab banyak kalangan sarat dengan muatan kepentingan dan memicu aksi pro dan kontra yang cukup masif. Revisi ini diinisiasi DPR dan direstui oleh presiden pada penghujung masa jabatan DPR dan presiden.
Hal – hal itu mendorong Ketua Umum (K)SBSI Prof. Dr. Muchtar Pakpahan, SH., MA. untuk bersuara yaitu dengan menyurati Presiden Jokowidodo tertanggal 17 September 2019 dengan surat Nomor: A.6.001/EKS/IX/2019.
Dalam suratnya tersebut Muchtar menyampaikan bahwa sebagai Ketua Umum DPP (K)SBSI yang juga penulis buku “Potret Negara Indonesia” yang menggagas lahirnya reformasi dan dengan buku tersebut Dia diadili dengan tuduhan subversif.
Selain memimpin SBSI Muchtar Pakpahan juga pernah menjadi Ketua Umum Majelis Rakyat Indonesia (MARI) yang menggerakkan seluruh elemen dan melahirkan reformasi.
Dengan surat tersebut Muchtar Pakpahan menyampaikan beberapa hal, yaitu: Mendesak Presiden untuk menolak revisi Undang – Uandang KPK, karena pembahasannya tidak melibatkan publik dan stakeholder, materinya perubahannya berpotensi melemahkan KPK. Secara umum perubahan tersebut menyimpang dari cita – cita reformasi. Kalau memang tujuannya benar – benar untuk penguatan KPK, sebaiknya dibahas pada masa kerja Presiden periode 2019 s/d 2024.
Muchtar Pakpahan juga mendesak Presiden untuk mengambil sikap dan bertindak sebagai The Chief of Law Enforcement, Kepala Penegakkan Hukum, dan Administrator Indonesia. Untuk itu Muchtar Pskpahan menyarankan: Pertama; Agar presiden mengangkat KAPOLRI seperti Jenderal Hoegeng Imam Santoso , Jaksa Agung seperti Baharudin Lopa, dan Menkumham (yang dulu bernama Menteri Kehakiman) seperti Ali Said atau Ismail Saleh. Mereka itu adalah orang-orang bersih yang memiliki komitmen kuat dalam menegakkan hukum.
Kedua: Agar presiden mendorong Jaksa Agung untuk bertindak sebagai Ketua KPK, dan semua Jaksa Agung Muda untuk bertindak sebagai Wakil Ketua KPK di internal Kejaksaan Agung. Karena Jaksa Agung juga memiliki kewenangan untuk memberantas korupsi. Apabila ini dilakukan dengan benar, Kejaksaan Agung secara perlahan dapat menjadi pengganti KPK. Karena sebetulnya KPK itu ada disebabkan oleh kinerja Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI yang buruk.
Ketiga: Mendorong presiden untuk mengingatkan semua menteri, bahwa mereka adalah penegak hukum teknis di bidangnya. Misalnya, Menaker adalah penegak hukum di bidang Ketenagakerjaan, Menteri Lingkungan Hidup adalah penegak hukum di bidang Lingkungan Hidup.
Dahulu ada yang dinamakan “pengawasan melekat”. Agar lebih efektif, saya mendorong presiden mengambil inisiatif untuk menarik keluar semua Inspektorat Jenderal yang ada di Kementrian. Kemudian semuanya akan berada pada satu pintu, yaitu Wakil Presiden. Sehingga akan ada satu fungsi yang betul – betul dipertanggungjawabkan oleh Wakil Presiden. Apabila Inspektorat Jenderal tetap berada di bawah Kementrian, tidak mungkin “jeruk makan jeruk”. Karena Inspektorat Jenderal merupakan bawahan dari Menteri, yang tidak mungkin bertindak di luar keinginan atau porsi dari Menteri. (SM)