Oleh : Andi Naja FP Paraga
SBSINews – Sistem Pengupahan di Indonesia menuai kritik bertubi- tubi pasca terbitnya Peraturan Pemerintah No.78 Tahun 2015 karena diyakini PP tersebut tidak memberikan keadilan terhadap jerih payah dan keringat buruh.
Standart pengupahan dengan sistem UMP yang menggunakan standar kebutuhan pekerja lajang untuk menggaji buruh yang sudah berumah tangga tentu merupakan kekeliruan yang sangat fatal.
Sejatinya upah harus berbanding lurus dengan daya beli. Ketimpangan upah terhadap daya beli tersebut disebabkan adanya pembiaran oleh Serikat Buruh/Serikat Pekerja terhadap Perbuatan Melawan Hukum pemerintah didalam mengimplementasikan ketentuan pasal 1 angka 30 Undang Undang Nomor13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Perbuatan Melawan Hukum yang kronis tersebut mestinya diobati dengan Judicial Review ke Mahkamah Agung agar sistem pengupahan menjadi sehat. Pembiaran terhadap perbuatan melawan hukum ini telah membuat ketentuan Upah Minimum menjadi cacat hukum.
Semua keluh kesah ini memunculkan keinginan untuk mengajukan Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Pengupahan dan dengan demikian PP 78 bisa dienyahkan dan demikian pula segala kelemahan pada UU No.13 tahun 2003 bisa diatasi. Penyusunan Sistem Pengupahan Nasional terkendala kondisi ekonomi tiap daerah yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh Inflasi dan PDB.
Ada keinginan agar sistem pengupahan mengikuti model penggajian ASN/PNS dan sistem ini sangat mudah untuk diimplementasikan. Dimanapun pekerja/buruh bekerja standartnya jelas dan pasti. Berdasarkan pendidikan,kompetensi dan pengalaman kerja mereka bisa dimasukkan dalam golongan A, A1, B, B1 dan seterusnya. Tinggal ditetapkan berapa upah untuk tiap-tiap golongan saja. Sebisanya hal ini tertuang dalam.RUU Pengupahan tersebut.
Sistem pengupahan saat ini pun belum menjawab secara tegas persoalan upah selama proses Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) hingga akhirnya Mahkamah Agung RI sendiri yang memutuskan maksimal upah proses adalah enam bulan, sedang prises penyelesaian PHK melalui PHI berlarut – larut. I
nilah kekacuan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Hal -hal ini perlu diperbincangkan dan dievaluasi oleh pengurus Serikat Buruh/Serikat Pekerja dan sangat penting untuk disampaikan kepada pimpinan serikat buruh/pekerja yang berada dilapangan. Jangan sampai hal seperti ini hanya menjadi pembicaraan ditingkat pengurus SB/SP dipusat saja.
Menurut hasil penelitian Upah Minimum di Indonesia hanya berimbas pada 10% Pekerja dari 3 golongan pekerja yaitu Pekerja Perempuan, Pekerja dibawah umur dan Pekerja dengan masa kerja kurang dari 1(satu) tahun. Sebanyak 90% Pekerja tidak terpengaruh upah minimum dan kenaikan upah minimum menyebabkan ketimpangan yang dalam.
Menurut Ahli untuk menangani ketimpangan ini perlu dilakukan beberapa hal, antara lain penguatan Serikat Buruh/Pekerja, dibuatkan struktur dan sekala upah dan menuangkannya dalam Perjanjian Kerja Bersama(PKB), Sedangkan untuk mengarahkan pada Upah Minimum Nasional diperlukan kajian lebih dalam lagi terutama terkait histori upah selama puluhan tahun dengan berbagai diversity masyarakat Indonesia. (ANFPP)