Untuk kesekian kalinya kebhinekaan negeri ini tercederai oleh tekanan dan aksi arogan kelompok intoleran. Kali ini lagi-lagi menimpa kaum minoritas Syiah. Acara peringatan Haul Asyura (20 September 2018) di Solo, yg semestinya syahdu dan khusyuk, tiba-tiba terusik oleh teriakan-teriakan massa intoleran sambil menggedor-gedor pintu. Tak lama berselang, polisi datang. Setelah dimediasi, akhirnya acara haul terpaksa dibubarkan; sesuai tuntutan massa intoleran yg menganggapnya acara sesat. Peserta haul pun diminta untuk segera meninggalkan lokasi.
Saya sedang berada di lokasi saat itu. Saya mendengar dengan telinga saya sendiri bagaimana beberapa orang dari kerumunan massa tersebut meneriaki para wanita yg sedang berjalan keluar dengan teriakan, “Ini PSK…ini PSK!” sembari terkekeh puas. Saya hanya bisa menatap tajam ke arah mereka, yg dibalas dengan semburan teriakan bernada tantangan duel. Tak hanya itu, teriakan “Syiah kafir” bagaikan zikir di mulut mereka, saat para peserta haul keluar meninggalkan lokasi acara.
Apakah ini yg diajarkan Nabi saw ? Demi Allah, tidak. Mereka sedang menistakan ajaran Nabi saw atas nama agama dan pemurnian akidah. Dan, mengapa acara haul tersebut dianggap sesat? Bukankah peringatan haul telah menjadi tradisi di dalam masyarakat Nusantara selama ratusan tahun, khususnya masyarakat NU? Bahkan peringatan haul Habib Ali Al-Habsyi telah menjadi wisata religi dan ritual tahunan di Solo. Lalu mengapa peringatan haul Sayyidina Husein (cucunda Nabi saw) malah dianggap sesat ? Saya rasa ini penyimpangan nalar yg fatal.
Apalagi acara tersebut privat dan tertutup, speaker juga ke arah dalam sehingga tidak terdengar dari luar, serta lokasinya pun jauh dari markas mereka kaum intoleran. Mengapa mereka merasa terganggu? Bahkan para tetangga pun tidak merasa terganggu. Tidak lain hanya kedengkian dan kebencianlah yg menjadikan mereka terganggu, meskipun terpisah oleh jarak yg jauh.
Saya mengapresiasi upaya aparat keamanan dalam mencegah bentrok fisik. Namun demikian, aparat keamanan juga mesti sadar bahwa mereka adalah abdi negara. Dengan demikian, setiap tindakan mereka harus mengacu pada Konstitusi Negara, bukan tekanan ormas dan kerumunan massa.
Oleh sebab itu, aparat keamanan jangan terkesan tidak mau repot kerja dan mengambil jalan pintas melalui pendekatan utilitarian, di mana penyelesaian masalah diukur dari kepuasan kelompok mayoritas, sehingga kelompok minoritas selalu diminta mengalah dengan dalih menghindari kerusuhan dan bentrok. Ini jelas pendekatan yg tidak bertanggung jawab. Aparat justru seharusnya melindungi pihak yg terintimidasi dan tertekan, dengan segenap kemampuan dan kekuatan.
Pihak panitia acara juga jangan sampai patah semangat dan gentar oleh tekanan kaum intoleran. Mereka itu sebenarnya kelompok kecil yg cuma bermodal gertak dan sama sekali tidak mewakili masyarakat muslim Solo. Ke depannya, selain meminta bantuan ke kepolisian, mungkin berkoordinasi dengan Banser NU bisa dipertimbangkan sebagai opsi oleh pihak panitia. Alhasil, kita tidak boleh memberi kesan seolah kaum intoleran itu berada di atas angin.
Wallahul Musta’an,
(M. Anis, Forum Toleransi Umat Beragama)