Oleh: Timboel Siregar
Seorang aktivis buruh migran tadi pagi ngobrol soal pelayanan JKN di RS. Dia bertanya apa benar ada ketentuan di RS bahwa pasien JKN dirawat hanya tiga hari saja.
Saya jawab pasien pulang kalau memang sudah layak pulang secara medis dan tidak ada ketentuan harus pulang dalam waktu tiga hari.
Saya tanya siapa yg bilang 3 hari, dijawab, dokter yg bilang. Ini kejadian di sebuah RS besar di bilangan Jakarta Timur.
Pembatasan waktu perawatan menjadi kasus yg banyak ditangani BPJS Watch.
Dari pasien yg tidak sadar harus keluar RS, pasien yg masih lemah dan belum bisa jalan hingga pasien yg merasa belum sembuh tapi sudah harus pulang kalau nggak dicerewetin perawat, merupakan hal biasa yg terjadi di RS namun tidak bisa diselesaikan oleh BPJS Kesehatan sebagai penjamin bagi peserta JKN.
Pasal 2 UU Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit dengan jelas menyatakan RS diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan, dan keselamatan pasien…”
Pasal 29 ayat 1 point (c) mewajibkan RS memberi pelayanan kesehatan yg aman, bermutu, anti diskriminasi… dengan mengutamakan kepentingan pasien…”
Point (m) menyatakan RS wajib menghormati dan melindungi hak hak pasien.
Pasal 32 menyebutkan pasien mempunyai hak memperoleh layanan yang manusiawi, adil jujur dan tanpa diakriminasi.
Mematok tiga hari tanpa melihat aspek kemanusiaan dan keselamatan pasien dan amanat pasal – pasal yg telah disebutkan merupakan pelanggaran sistemik yg terus terjadi dan dibiarkan BPJS Kesehatan.
Hanya karena paket INA CBGs sudah mau mentok, hak pasien diabaikan oleh RS dan BPJS Kesehatan. Pihak BPJS Kesehatan sepertinya tidak kuasa membantu pasien untuk menghadapi RS.
Kan sudah ada Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara BPJS Kesehatan dan RS. Apa memang salah satu isi PKS tersebut ada klausul tentang maksimal tiga hari tersebut ?
Kalau ada ya BPJS Kesehatan jujur saja kepada peserta JKN, kalau tidak ada koq kasus seperti ini banyak terjadi yg tidak bisa diselesaikan BPJS Kesehatan.
Apa masalah ini akan terus terjadi ? Apakah memang UU Nomor 44 tahun 2009 tentang RS sudah menjadi sampah dan tidak bisa diimplemetasikan oleh RS ?
Tabik
Timbul Siregar/OPSI