Oleh: Muchtar Pakpahan
Sebagai Ketua Umum DPP SBSI terlebih dahulu saya menyampaikan ucapan turut berduka cita yang sedalam – dalamnya atas meninggalnya 31 buruh/karyawan korban pembunuhan di Nduga Papua, serta prihatin atas kekerasan serupa terus terjadi di Papua, sejak saya aktivis HAM tahun 1978. Kekerasan sejak tahun 1978 terus berlangsung di Papua. Seingat saya, hanya ada jedanya saat GusDur menjadi Presiden RI. Setelah GusDur digantikan Megawati Sukarnoputri, kekerasan meningkat kembali yang diawali dibunuhnya Theys Hiyo Eluay, Ketua Dewan Adat Papua pada 10 November 2011 oleh seorang TNI dari Kopassus. Beberapa hari sebelumnya, saya sempat bertemu dengan almarhum di kediamannya di Sentani.
Membahas judul di atas saya mulai lagi dengan apa yang saya alami tahun 1984. 26 April 1984 seorang dosen Anthropolog Universitas Cenderawasih (uncen) bernama Arnold Ap dibunuh ABRI. Beberapa waktu sebelumnya kami sama-sama peserta diskusi di Solo yang topiknya advokasi masyarakat dengan pendekatan pengorganisasian. Narasumber atau sekaligus pelatihnya bernama Dr. George Ninan dari CCA Christian Conference of Asia atau Dewan Gereja Asia.
Usai pelatihan ada berita yang mengutip ucapan Arnold Ap yang intinya seperti berikut. “Jakarta mengeksploitasi kekayaan Irian Jaya” (waktu itu nama Papua sekarang), “ Jakarta memindahkan orang miskin Pulau Jawa ke Papua lewat transmigrasi, dan mereka dimakmurkan di Papua. Tetapi orang Papua tetap dibiarkan miskin. Karena hanya apabila ada transmigrasi menjadi tersedia Puskesmas dan SD Inpres”. Pengadaan puskesmas dan SD Inpres bukan untuk rakyat Papua melainkan untuk orang Jawa. Statemen itulah sebagai penyebab Arnold Ap ditangkap, kemudian dibunuh.
Setelah pembunuhan Arnold Ap, eskalasi kekerasan meningkat signifikan baik kwantitas maupun kwalitas, baik yang dilakukan rakyat Papua yang menuntut keadilan maupun yang dilakukan oleh NKRI dengan tangan ABRI (TNI dan polri). Kwalitas tuntutannya pun resmi menuntut merdeka. Dewan Adat Papua menuntut keadilan dengan jalur kultural, dan OPM menuntut kemerdekaan dengan jalur bersenjata. Mereka OPM itulah yang sekarang disebut KKSB, Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata. Penyebutan KKSB tidak merubah tuntutan OPM ingin merdeka.
Pada 3 September 2014 di kantor Gubernur DKI Jakarta, saya mempertemukan wakil Dewan Adat Papua dengan Presiden terpilih Joko Widodo. Dalam pertemuan tersebut kami sarankan meninggalkan security aproach dengan menerapkan welifare and human aproach sebagai jalan penyelesaian Papua. Saran kami disertai ada 8 butir-butir naskah tertulis yakni :
- Membebaskan rakyat Papua dari buta huruf (kebodohan) , menjadi memiliki berkemampuan formal minimal setingkat SMP. Perlu dilakukan spesial treatment untuk menerapkan Pasal 31 UUD. Beberapa waktu sebelumnya pernah ada ungkapan Gubernur Papua Barnabas Suebu, 80% orang asli Papua yang buta huruf.
- Membangun pasar tradisional yang dikhususkan bagi pedagang Papua. Karena kenyataannya semua kos di pasar-pasar tradional Papua dimiliki oleh suku non Papua (Bugis, Manado, Batak, Ambon dan Jawa). Sedangkan orang Papuanya berdagang dipinggir jalan di sekitar pasar.
- membangun infrastruktur untuk membebaskan rakyat Papua dari keterisolasian. Kontraktornya orang Papua dan yang berdagang untuk makanan buruh kontraktor adalah orang Papua. Pemerintah wajib melatih orang Papua berdagang bagi yang berbakat dagang. Menerapkan Prinsiplearning by doing bagi rakyat Papua asli.
- Mengangkat satu orang dari Dewan Adat Papua menjadi staf khusus urusan Papua. Agar melalui staf khusus ini terbuka komunikasi dengan yang menuntut keadilan dan menuntut kemerdekaan. Orangnya dari DAP bukan dari yang pro Republik.
- Seperti Timor Leste, bangun kuburan para pahlawan Papua seperti Arnold App, Theys dll sebagai korban kekerasan dari ABRI dan Pemerintah Indonesia minta maaf.
- Mengangkat Kapolda dan Pangdam dari orang Papua supaya bisa menarik simpati dan empati rakyat Papua .
- Membangun istana di Papua yang artinya ada perhatian khusus dari Presiden Republik Indonesia.
- Melanjutkan kebijakan Gusdur, bendera bintang kejora adalah bendera adat masyarakat papua. Tidak usah dilarang. Maaf kalau menjadi terbuka.
Kalau saya evaluasi, yang dipenuhi dillakukan Presiden Joko Widodo, hanya nomor 6 mengangkat Kapolda orang Papua, nomor 2 baru dimulai bangun pasar, dan nomor 3 Infrasturktur tetapi tidak melibatkan secara total orang Papua. Lalu infrastruktur untuk siapa? Untuk penduduk Papua yang mayoritas tidak asli Papua.
Mengapa penting hal tersebut saya sarankan dan sekarang saya ingatkan? Sewaktu saya Governing Body ILO dan Vice President of WCL (World Confederation of Labour) yang sekarang menjadi nama ITUC (Internatyional Trade Union Confederation), saya menangkap sinyal di internasional ada upaya diam-diam membantu perjuangan DAP-OPM dengan suatu saat mengagendakan masalah Papua di Sidang PBB.
Pesan penting kepada Presiden dan wakil presiden 2019-2024, Jokowi-Ma’ruf atau Prabowo-Sandiaga. hentikan security aproach dengan kekerasan di Papua, terapkan welfare aproach dan human aproach. Bila kebijakan solusi kekerasan diteruskan, berarti RI sedang membuka pintu untuk Papua menuju kemerdekaannya.