Catatan Malam

Oleh: Timboel Siregar

SBSINews – Keputusan Menteri Keuangan yang menaikkan tunjangan cuti bagi direksi dan dewas BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan tentunya mendapat sorotan publik saat ini, mengingat persoalan-persoalan di kedua BPJS terutama BPJS Kesehatan juga belum bisa diselesaikan dengan baik dan sistemik.

Alasan Menkeu menaikan tunjangan cuti adalah untuk mendongkrak kinerja Direksi dan Dewa kedua BPJS. Saya menilai keputusan Menkeu tersebut tidak tepat. Alasan saya adalah :

Pertama, upah dan insentif Direksi dan Dewas kedua BPJS sudah besar saat ini. Saya ambil contoh BPJS Kesehatan. Menurut Buku Laporan Bulanan BPJS Kesehatan tercatat Beban Insentif Direksi Kesehatan setahun dianggarakan di RKAT 2019 yaitu Rp. 32.886.000.000 utk 8 direksi BPJS Kesehatan.
Ini artinya rata rata per direksi = 32.886.000.000/8 = Rp. 4.110.750.000 per orang. Jadi rata rata yang diterima seorang direksi per bulan adalah Rp.4.110.750.000/12 bulan = Rp.342.562.500 per bulan.

Beban Insentif Dewan Pengawas (Dewas) BPJS Kesehatan setahun dianggarakan Rp. 17.736.000.000 utk 7 dewan pengawas BPJS Kesehatan.

Ini artinya rata rata per direksi = Rp.17.736.000.000 32/7 = Rp. 2.533.714.285 per orang.

Jadi rata rata yang diterima seorang dewan pengawas per bulan adalah Rp.2.533.714.285/12 bulan = Rp.211.142.857 per bulan.

Dari data di atas bisa kita simpulkan kompensasi ke Direksi dan dewas BPJS Kesehatan sudah sangat besar. Dan dengan nilai tersebut saya kira Direksi dan Dewas bisa menjalankan cuti dengan sangat mudah dan senang, tanpa harus ada kenaikan tunjangan cuti.

Kedua, kalau alasan Menkeu mengatakan kenaikan ini akan meningkatkan kinerja Direksi dan Dewas, saya kira itu tidak benar. Bukankah selama ini direksi dan dewas beserta keluarganya juga sudah menjalankan cuti dengan sangat baik dan menyenangkan. Tapi apakah kinerja mereka nertambah baik ? Tidak juga.

Faktanya masih banyak target-target yang belum tercapai. Misalnya, di BPJS Kesehatan, utang iuran masih besar, kepesertaan mencapai taget UHC masih dibayangi kegagalan, pengawasan terhadap RS terkait ketentuan dalam PKS (perjanjian kerjasama) dengan RS masih lemah, dan sebagainya, dan sebagainya. Demikian juga dengan capaian investasi di BPJS Ketenagakerjaan yang juga belum maksimal. Target hasil investasi dan dana kelolaan tahun 2018 tidak tercapai.

Kalau tunjangan yang dinaikkan adalah tunjangan pelatihan dan pendidikan atau tunjangan membeli buku maka ada relevansinya dengan kinerja.

Ketiga, bahwa seluruh dana operasional kedua BPJS termasuk insentif direksi dan dewas itu dari iuran. Defisit yang besar dengan utang klaim ke RS yang makin besar harusnya jadi fokus utama utk diatasi dgn meningkatkan iuran. Tapi iuran belum naik eehhh… malah digunakan utuk menaikkan kesejahteraan segelintir direksi dan dewaa. Ini kan sebuah hal yang sangat kontraproduktif yang akan menyebabkan distrust dari rakyat kita.

Keempat, bahwa SJSN diselengarakan dgn 9 prinsip yang salah satunya nirlaba. Oleh karenanya direksi dan dewas seharusnya punya sense of belonging dengan semangat sosial untuk bekerja dgn semangat nirlaba, yaitu tidak aji mumpung.

Atas argumen tersebut, saya mendorong Presiden untuk menegur Menkeu, agar SK Menkeu tersebut harus segera dibatalkan.

Lalu Presiden harus segera melakulan evaluasi terhadap kinerja direksi dan dewas kedua BPJS. Rakyat harus diinfokan tentang evaluasi kinerja tersebut. Dengan evaluasi kinerja yang obyektif tersebut akan mendorong peningkatan kinerja direksi dan dewas, bukan dengan menambah tunjangan cuti.

Pinang Ranti, 14 Agustus 2019

Tabik

Timboel Siregar

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here