Tanggal 15 Februari 2021 lalu Menteri Ketenagakerjaan menandatangai Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 2 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pengupahan pada Industri Padat Karya Tertentu Dalam Masa Pendemi Covid-19. Tentunya regulasi ini baik bila merujuk pada Pasal 2-nya yaitu untuk memberikan pelindungan dan mempertahankan kelangsungan bekerja Pekerja/Buruh serta menjaga kelangsungan usaha pada industri padat karya tertentu selama pemulihan ekonomi nasional pada masa pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Ketentuan Permenaker ini hanya ditujukan kepada Industri Padat Karya dengan kriteria yang diatur dalam Pasal 3. Tentunya pandemi Covid-19 ini berdampak pada sebagian besar industri kita, tidak hanya industri padat karya dengan kriteria di Pasal 3 tersebut, sehingga seharusnya industri lain pun disebutkan dalam Permenaker ini.

Selama ini, baik sebelum pandemi maupun pada saat pandemi, pemotongan upah (istilah yang dipakai di Permenaker ini adalah penyesuaian besaran upah) merupakan hal yang biasa terjadi. Dalam masa pandemi di 2020 lalu pemotongan upah sudah banyak terjadi karena memang perusahaan mengalami persoalan dengan cash flownya, dan di 2021 ini pun kondisi masih belum membaik sehingga pemotongan upah akan terus terjadi. Permenaker ini memang telat terbit.

Setelah membaca isi Permenaker no. 2 Tahun 2021 ini, saya menilai tidak ada upaya perlindungan bagi pekerja/buruh serta ada upaya untuk mempertahankan kelangsungan bekerja pekerja/buruh, seperti yang diamanatkan Pasal 2. Permenaker ini lebih banyak untuk menjaga kelangsungan usaha saja.

Seharusnya dalam Permenaker ini disebutkan berapa persen upah pekerja yang bisa dipotong sehingga pekerja masih mampu memenuhi kebutuhan hidup layaknya besarta keluarganya. Saya kira pemotongan yang layak maksimal 30%. Lalu dalam Permenaker ini pun diatur proses pemotongan upah maupun cara pembayaran upah pekerja tersebut, yang terlebih dahulu diinformasikan kepada Pemerintah cq. Kementerian Ketenagakerjaan atau Dinas Tenaga Kerja Propinsi/Kabupaten/Kota sehingga ada proses pengawasan dan evaluasi dari Pemerintah, apakah memang perusahaan tersebut terdampak pandemi dan sedalam apa dampaknya. Dengan adanya informasi tersebut Pemerintah bisa mengukur berapa persen pemotongan upah pekerja tersebut.

Bila memang dampak pandemi ini tidak sistemik dan perusahaan bisa bangkit dengan cukup cepat, maka bisa saja pemotongan upah tersebut dijadikan utang yang akan dibayar ketika perusahaan pulih cash flownya. Pemerintah bisa mendorong proses pemotongan upah tersebut sebagai utang.

Setelah proses yang dilakukan Pemerintah, dan dilanjutkan dengan adanya negosiasi antara Pekerja/buruh (dan atau SP/SB) dengan Manajemen, maka proses pemotongan upah bisa dilakukan dengan obyektif berdasarkan kondisi yang ada. Jangan juga Permenaker ini menjadi ajang aji mumpung perusahaan yang niatnya memotong upah pekerja, walaupun dampak pandemi tidak terlalu signifikan kepada perusahaan. Ini yang harus diawasi Pemerintah cq. Pengawas Ketenagakerjaan.

Selain peran Pengawas Ketenagakerjaan, bagaimana juga peran siginifikan dari Mediator bila memang negosiasi pemotongan upah antara Pekerja Pekerja/buruh (dan atau SP/SB) dengan Manajemen tidak menemui titik temu, sehingga menjadi perselisihan hubungan industrial. Tentunya peran Mediator akan sangat membantu penyelesaian negosiasi ini sehingga tidak menjadi perselisihan yang berujung di Pengadilan Hubungan Industrial dan sampai ke Mahkamah Agung, yang akan memakan waktu relatif lama tentunya.

Dengan adanya Permenaker ini seharusnya Pemerintah memiliki mitigasi lainnya atas pemotongan upah yaitu dengan memberikan Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang di 2020 lalu diberikan. Saya mendorong Permenaker ini diikuti pemberian BSU kepada pekerja yang mengalami pemotongan upah sehingga daya beli pekerja dan keluarganya tetap terjaga. Walaupun di APBN 2021 tidak ada anggaran BSU, saya menilai anggaran BSU bisa dialokasikan dari Program Kartu PraKerja sehingga BSU bisa diberikan di 2021.

Dengan adanya peran Pemerintah dalam proses pendataan pemotongan upah ini maka Pemerintah akan memiliki data seberapa banyak pekerja yang mengalami pemotongan upah dan bisa diberikan BSU. Saya menilai jumlah pekerja yang dipotong upahnhya tidak akan besar seperti pemberian BSU di 2020 yang mencapai 12,4 juta orang. Saya kira jumlah pekerja yang dipotong upahnya tidak lebih dari 1 juta pekerja sehingga anggaran BSU untuk membantu mereka tidak sebesar di 2020. Dengan BSU yang tepat sasaran ini maka akan mendukung konsumsi masyarakat guna mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Hal lain yang harus dipastikan oleh Pemerintah dalam Permenkaer ini adalah pekerja/buruh yang dipotong upahnya tetap menjadi peserta jaminan sosial. Pasal 8 Permenaker ini yang menyebut tentang besaran upah untuk perhitungan iuran jaminan sosial yaitu berdasarkan upah sebelum dipotong, tentunya bukan hal yang akan serta merta dipatuhi. Ini harus diawasi oleh Pemerintah juga, dan dipastikan tidak ada pekerja/buruh yang dipotong upahnya menjadi peserta tidak aktif karena iurannya tidak dibayar lagi atau iuran jaminan sosial diturunkan berdasarkan upah setelah dipotong.

Bukan hanya Pemerintah saja yang harus berkreasi memberikan mitigasi kepada pekerja/buruh atas kehadiran Permenaker ini, tetapi juga kalangan Serikat Pekerja/Serikat Burh (SP/SB) harus bisa mengedukasi dan memberikan bantuan advokasi kepada anggotanya dalam proses pemotongan upah ini. Jangan juga malah berkolusi dengan Manajemen.

Pinang Ranti, 18 Februari 2021

Tabik,

Timboel Siregar

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here