Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI membuka perspektif hukum pada upaya Uji Materi UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 yang sedang digugat oleh berbagai pihak ke Mahkamah Konstitusi.

Aktivis berat semasa Reformasi 199 ini justru bertanya, apakah upaya Yudicial Review tehadap UU Cipta Kerja ke MK itu tidak sia-sia belaka ? (Law Justice, Kamis, 15/10/2020).

Kecualj itu, Desmon J. Mahesa aktif mencermati hingga ulasannya dibuat ia melihat gelombang aksi penolakan terhadap UU Omnibuslaw Cipta Kerja masih terus merebak dimana mana. Demo-demo itu menuntut Pemerintah agar mengeluarkan Perpu untuk membatalkan UU Omnibuslaw Cipta kerja.

Bahkan ada kelompok lain yang lebih keras menunt supaya Presiden Jokowi mundur dari kursinya. Seperti disampaikan oleh Persaudaraan Alumni (PA) 212  dkk itu muncul karena Presiden dinilai tidak mampu menjalankan kekuasaan yang diamanahkan kepadanya.

Tuntutan yang dilontarkan pada Prediden itu pun ditanggapi oleh Joko Widodo dengan nada enteng.

“Pemerintah tidak memiliki opsi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja”, katanya Joko Widodo seperti dikutif Desmon J Mahesa dalam ulasannya.

Timbal baliknya, Presiden Joko Widodo justru meminta pada masyarakat yang keberatan dengan Undang-Undang Cipta Kerja untuk mengajukan gugatan ke MK.
kata Jokowi dalam konferensi pers virtual dari Istana Bogor.

Joko Widodo menegasakan bahwa uji materi ke MK atas suatu UU merupakan langkah yang sesuai sistem tata negara di Indonesia.

Lalu mengapa upaya untuk mengajukan uji materi UU Cipta Kerja ke MK dinilai sebagai upaya yang sia sia ?.

Menurut Desmon J Mahesa dalam peraturan   perundang-undangan atau hukum tertulis disusun dalam tingkatan yang disebut dengan hierarki peraturan perundang-undangan, konsekuensi dari peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kalau pun terdapat materi muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka dapat dilakukan pengujian.

Adapun cara pengujian peraturan perundangan undangan itu mekanismenya untuk dapat memastikan bahwa suatu peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya, atau tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dalam tingkat tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak merugikan hak-hak warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang tersebut.

Adapun lembaga negara yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan melalui mekanisme peradilan.

Upaya pengujian peraturan perundang-undangan yang terdiri dari pengujian secara formal (formele toetsing) dan pengujian secara materiel (materiele toetsing) bahwa pengujian secara formal adalah pengujian terhadap sah atau tidaknya prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan, bentuk resmi peraturan perundang-undangan, dan lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan.

Sedangkan pengujian secara materiil adalah pengujian terhadap kesesuaian materi muatan peraturan perundang-undangan dengan materi muatan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi hierarkinya.

Meskipun MK dalam melakukan pengujian undang-undang putusannya bersifat final dan mengikat, akan tetapi realitasnya  putusan MK  tersebut banyak yang  tidak dipatuhi atau diabaikan oleh penguasa (dalam hal ini DPR dan Presiden) sebagai lembaga pembentuk undang-undang.

Hasil penelitian sejumlah dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti tahun 2019 berjudul “Constitutional Compliance Atas Putusan Pengujian Undang-Undang di MK Oleh Adressat Putusan”, menunjukkan adanya ketidakpatuhan pembentuk undang undang (DPR dan Pemerintah yang berkuasa).

Tingkat kepatuhan terhadap 109 putusan MK kurun waktu 2013-2018 menemukan dari banyak keputusan MK itu yang tidak dipatuhi. Dari hasil kajian Setara Institute riset atas putusan MK dalam rentang waktu 19 Agustus 2015 hingga 15 Agustus 2016 pada 18 Agustus 2016 terdapat 124 putusan MK dari 137 undang-undang ternyata tingkat disiplin penyelenggara negara dalam mematuhi putusan MK sungguh sangat rendah.

Ketidakpatuhan itu diantaranya seperti masih berlakunya Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 100 Tahun 2004 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang diamanatkan oleh Pasal 59 ayat (8) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan..Padahal, melalui Putusan MK Nomor 7/PUU-XII/2014 telah mengabulkan tiga pasal, yakni Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU Nomor 13 Tahun 2003. Dan sejak UU itu disahkan pada tanggal 4 November 2015.

Menurut Desmon J. Mahesa tidak dipatuhinya keputusan MK ini membuat ketua MK gundah. Maka Ketua MK sempat mengeluh atas putusan MK yang dicuekin pelaksanan oleh pemerintah. Anwar Usman, Ketua MK menyampaikan kegundahannya dalam sidang pleno laporan MK tahun 2019 yang dihadiri Presiden (28/1/2020).

Apalagi saat sejumlah pihak mengajukan Judicial Review UU Cipta Kerja No. 11 tahun 2029 ke MK santer beredar  video dan narasi di media sosial menginformasikan Pengajuan Judicial Review UU Cipta Kerja itu akan sia-sia. Sebab dengan dihapuskannnya Pasal 59 ayat (2) dalam UU MK hingga narasinya mengesankan bahwa dengan dihapuskannya pasal tersebut jika pun hasil Pemohon Judicial Review UU Cipta kerja itu menang di MK maka tidak ada kewajiban bagi pemerintah dan DPR untuk menindaklanjutinya.

UU No. 7 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menghapus ketentuan Pasal 59 ayat 2 yang mentebutkan;
Pasal 59 ayat (2) : “Jika diperlukan perubahan terhadap undang- undang yang telah diuji, DPR atau Presiden akan segera menindaklanjuti putusan MK itu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Ironisnys meski keputusan MK bersifat final dan mengikat namun kenyataannya keputusan MK itu tidak pasti selalu dilaksanakan oleh penguasa. Apalagi kalau keputusan MK itu tidak sesuai dengan keinginan penguasa.

Mahkamah Konstitusi memang  tidak mempunyai daya paksa untuk para puhaj melaksanakan keputusannya, dan tidak dapat mengeksekusi putusannya itu.
Karenanys diperlukan kesadaran dan tindakan konkrit dari DPR dan Pemerintah sebagai lembaga negara yang membentuk undang-undang, agar putusan Mahkamah Konstitusi itu dilaksanakan.

Untuk dapat memastikan putusan MK dipatuhi senua pemangku kepentingan, perlu adanya sanksi yang tegas bagi subjek yang tidak melaksanakan putusan MK. Itu.

Sebelum adanya ketentuan yang pasti,maka yang bisa dilakukan oleh mereka yang menolak UU Cipta kerja menurut Desmon J. Mahesa adalah tetap mengajukan gugatan Judisial Review ke MK meski hasilnya banti bisa saja mengcewakan. Maka itu cara lain barus tetap ditempuh seperti meminta Presiden untuk menerbitkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang). Meski harapan dari permintaan ini pun sangat tidak masuk akal  direalisasikan. Sebab tidaklahl mungkin orang yang menginisiasi lahirnya RUU Cipta kerja mau disuruh untuk membatalkannya.

Toh, sikap serupa sudah dinyatakan oleh pemerintah yang menyatakan tidak ada opsi untuk dikeluarkan Perpu yang membatalkan UU Cipta Kerja.

Dismon J. Mahesa juga merasa perlu mengingatkan bahwa UU Cipta kerja yang telah diketok oleh DPR tersebut akan berlaku dengan sendirinya setelah 30 hari pasca pengesahan oleh DPR  sekalupun nanti tidak juga ditandatangani oleh Presiden.

Jadi melakukan yudisial review ke MK maupun meminta Presiden mengeluarkan Perpu memang sama sama mustahilnya, seperti minta membatalkannya. Sebab UU Omnibuslaw cipta kerja ini tetap perlu opsi ketiga yang saat ini terus menerus digaungkan, yaitu melakukan tekanan secara terus menerus dengan cara aksi unjuk rasa sebagai upaya paksa dan mendegradasi kredibilitas penguasa. Dan aksi unjuk rasa atau demo juga merupakan cara konstitusional menyampaikan aspirasi kepada penguasa agar di dengar suaranya.

Pada akhirnya Desmon J. Mahesa, menyimpulkan justru mereka yang memilih jalan ini nampaknya akan lebih terhormat ketimbang cara pertama dan kedua. Yaitu aksi dan unjuk rasa sebagai cara yang juga tjdak kalah terhormat dan legal serta konstitusional.

Penulis : En Jacob Ereste

Editor : SBSINews

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here