(SBSINEWS.Makassar)
Assimulangenna siddi’E kampong, engkatu assabarennna” artinya kurang lebih seperti ini. “Awal mula suatu kampung, pasti ada sebabnya. Izinkan saya menyatakan kalimat berbahasa Bugis ini untuk memulai tulisan tentang kota yang bernama Parepare.
Kota Parepare adalah suatu daerah yang tidak banyak mitos dan legenda yang dapat dikisahkan perihal nama-nama tempat yang sejak dulu sudah menjadi ikon di dalamnya, sebagaimana halnya dengan penamaan wilayah Soreang.
Soreang itu muncul bersamaan dengan terbentuknya Pelabuhan Soreang, sehingga nama kerajaan yang dulunya pernah ada di sekitar pelabuhan itu, juga diberi nama Kerajaan Soreang.
Dari literatur yang pernah saya baca, arti kata Soreang itu sendiri berasal dari Bahasa Bugis, yakni “sore” berarti berlabuh, dan pada zaman itu di Soreang sudah ramai ditempati lopi (perahu), londe (kapal) untuk berlabuh. Jadi kata Soreang ini berarti tempat berlabuh.
Menurut sejarah pula, konon penamaan kota ini berawal di wilayah Soreang. Lontara Kerajaan Suppa menyebutkan, sekitar abad XIV seorang anak Raja Suppa meninggalkan Istana dan pergi ke selatan mendirikan wilayah tersendiri pada tepian pantai karena memiliki hobi memancing. Wilayah itu kemudian dikenal sebagai kerajaan Soreang, kemudian satu lagi kerajaan berdiri sekitar abad XV yakni Kerajaan Bacukiki.
Kata Parepare ditenggarai sebagian orang berasal dari kisah Raja Gowa, dalam satu kunjungan persahabatan Raja Gowa XI, Manrigau Dg. Bonto Karaeng Tunipallangga (1547-1566) berjalan-jalan dari kerajaan Bacukiki ke Kerajaan Soreang.
Sebagai seorang raja yang dikenal sebagai ahli strategi dan pelopor pembangunan, Kerajaan Gowa tertarik dengan pemandangan yang indah pada hamparan ini dan spontan menyebut ‘Bajiki Ni Pare’ artinya ‘(Pelabuhan di kawasan ini) dibuat dengan baik’. Parepare pun ramai dikunjungi termasuk orang-orang Melayu yang datang berdagang ke kawasan Suppa.
Tokoh-tokoh besar sejarah juga pernah tinggal dan menetap di Kota ini, sebagaimana Datu Toa Suppa Andi Makkasau, yang rela nyawanya berakhir di tangan penjajah Belanda di dasar laut Marabombang, demi untuk mempertahankan kemerdekaan, begitu pun Datu Lolo Suppa Bau Massepe, yang juga rela tubuhnya diseret dengan mobil oleh pasukan Westerling dan dikubur hidup-hidup, serta banyak lagi tokoh pejuang lainnya yang kisahnya tak kalah heroik.
Tentu kita tidak ingin sejarah perjuangan para syuhada bangsa ini ikut kita tenggelamkan di dasar laut, atau diseret hingga dikubur hidup-hidup pada kubangan lumpur, lalu ditimbun. Kota ini telah banyak melahirkan tokoh-tokoh besar, dan bukan hanya satu nama orang yang kemudian dijadikan sebagai penamaan ikon-ikon baru, hanya karena pernah lahir di kota ini.
Pada kondisi dikekinian, banyak pembangunan yang terkesan telah meninggalkan nilai-nilai local wisdom atau kearifan lokal dan sejarah. Padahal, jika seandainya kearifan lokal ini terpelihara dengan baik, maka akan bermuara pada sebuah sumber ekonomi baru dalam bentuk wisata kultur dan sejarah.
Selain kearifan lokal yang sifatnya sebagai norma-norma, juga melestarikan yang berbentuk adat istiadat bahkan pada nilai peninggalan sejarah.
Mungkin kita bisa banyak belajar dari daerah Banyuangi, Jawa Tengah, yang kini menjadi sorotan dunia karena sangat serius menggarap potensi sektor pariwisata berbasis kultur yang dimilikinya, hanya dengan menggarap kalender tahunan yang ia beri nama “Banyuangi Festival”, sehingga berimbas pada peningkatan pendapatan warga sebesar 120%, dan mempengaruhi pendapatan perkapitanya yang melonjak hingga 70 Persen.
Sahabat saya yang pernah menjabat sebagai Direktur Eksekutif Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Sulawesi Selatan, Hendra Nick Arthur pernah berpesan, daya tarik wisata kultur dan sejarah yang kita miliki seharusnya menjadi konsen kita bersama.
Apalagi kita kenal dengan yang namanya Energi Pentahelix Kepariwisataan Nasional yang di dalamnya mecakup kalangan akademisi, pelaku bisnis, pemerintah, komunitas dan media.
Sejak gerakan pentahelix pariwisata nasional yang diperkenalkan oleh Arief Yahya, Menteri Pariwisata di era pertama kabinet Jokowi mengungkapkan, perwakilan industri media bersama praktisinya sudah mulai menunjukkan eksistensi mereka. Bahwa pelaku industri media bukan hanya sebagai alat propaganda dalam memperkuat pengembangan kepariwisataan daerah, melainkan media telah menjadi katalisator gerakan promosi kepariwisataan daerah. Keterbatasan anggaran branding dan advertisement bukan lagi kendala dalam kegiatan promosi daerah.
Tetapi menjadi sebuah tantangan baru di era revolusi industri 4.0 yang mewajibkan kecepatan informasi harus tepat dan akurat. Apalagi akurasi konten sangat dibutuhkan publik saat ini di tengah terjangan informasi hoaks, disinformasi dan false news yang mulai menjamur di sekitar kita.
Praktisi jurnalistik di kawasan Ajatapareng misalnya, mereka telah membuktikan hal ini, bahwa kalangan media bukan lagi unsur yang harus dianggap sebelah mata. Tanpa alokasi anggaran pemerintah daerah pun, mereka terus berbuat, dan berkarya tanpa pamrih demi kemajuan pariwisata di daerahnya.
Parepare, 25 Agustus 2021
Penulis
Maharani Laikha