SBSINews – Bermula pada 1998, krisis keuangan yang terjadi di kawasan Asia berdampak pada stabilitas makroekonomi dunia. Kala itu, organisasi tujuh negara ekonomi maju atau dikenal sebagai G7 dinilai gagal mencari solusi untuk meredam krisis ekonomi global.
Kekecewaan komunitas internasional terhadap G7 melahirkan aksi lanjutan. Saat itu, negara-negara berpendapatan menengah dan memiliki pengaruh ekonomi sistemik diikutsertakan dalam perundingan internasional guna mencari solusi permasalahan ekonomi global.
Pada akhirnya, perundingan tersebut menjadi cikal bakal lahirnya organisasi organisasi Group of Twenty (G20) pada tahun 1999. G20 merupakan kelompok 20 ekonomi utama yang terdiri dari 19 negara dengan perekonomian besar di dunia ditambah dengan Uni Eropa.
Sejumlah negara yang termasuk dalam anggota G20 antara lain, Indonesia, Amerika Serikat (AS), Argentina, Brasil, Australia, Kanada, Meksiko, dan Turki.
Selain itu, Korea Selatan, Jepang, China, Jerman, Inggris, India, Arab Saudi, Afrika Selatan, Italia, Perancis, Rusia, dan satu organisasi regional yaitu Uni Eropa.
Sebagai forum ekonomi utama dunia, G20 memiliki posisi strategis, lantaran secara kolektif mewakili sekitar 65 persen penduduk dunia, 79 persen perdagangan global, dan setidaknya 85 persen perekonomian dunia.
Setelah terbentuk, G20 rutin mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) tiap tahunnya, dimulai dari KTT G20 perdana tahun 2009 di Pittsburgh, AS.
Khusus tahun ini, KTT G20 tengah berlangsung di Osaka, Jepang. Presiden Joko Widodo (Jokowi) berangkat ke negeri Sakura, Kamis (27/6) malam untuk bertemu dengan pemimpin negara lain di KTT G20.
Indonesia patut berbangga, karena menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masuk sebagai anggota G20. Bahkan, Indonesia tercatat sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar ketiga di antara negara G20 pada kuartal I 2019, yakni sebesar 5,07 persen. Indonesia hanya kalah dari China sebesar 6,4 persen dan India sebesar 5,8 persen.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Lana Soelastianingsih mengatakan raihan itu membuktikan bahwa Indonesia mampu menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi di tengah gejolak ketidakpastian global. Beberapa negara lain justru mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Lihat juga:Jokowi Hadiri KTT G20 Bahas Digitalisasi hingga Perang Dagang
“India dan China juga mengalami perlambatan, kinerja kita masih tetap tinggi karena seluruh dunia juga mengalami perlambatan,” katanya.
Dengan kinerja ekonomi yang cukup gemilang, ia meyakini suara Indonesia bakal didengar dalam forum G20, meskipun itu bukan jaminan utama.
Tak hanya itu, Lana optimistis kinerja pertumbuhan ekonomi itu bisa mendatangkan berbagai investasi bilateral di antara negara G20. Pasalnya, capaian kuantitatis Indonesia menandakan Indonesia sebagai negara berkembang masih memiliki potensi pertumbuhan ekonomi ke depannya.
Namun, tantangan selanjutnya adalah merealisasikan kerja sama antar pemerintah (government to government/g to g) tersebut dalam skema kerja sama bisnis (business to business/b to b).
“Karena itu, ekonomi kita harus tumbuh 5 persen, sehingga kita bisa pertahankan posisi di negara terbesar ketiga,” tuturnya.
Jika ditilik dari sisi pertumbuhan ekonomi, Indonesia memang patut diacungi jempol. Namun, Lain halnya dengan posisi Indonesia dari segi Produk Domestik Bruto (PDB).
Dana Moneter Internasional (IMF) menyebutkan PDB Indonesia hanya menempati posisi ke 16 di antara negara G20, dengan PDB nominal sebesar US$1,07 triliun.
Sebagai informasi, PDB merupakan nilai barang dan jasa yang dihasilkan di suatu negara dalam kurun waktu satu tahun, yang berasal dari seluruh warga dan perusahaan yang berdomisili di negara tersebut, termasuk perusahaan dan warga asing.
PDB Stagnan
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listyanto menuturkan angka PDB merepresentasikan kekuatan ekonomi suatu negara. Sedangkan, angka pertumbuhan ekonomi menggambarkan potensi ekonominya.
Dia menilai angka pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5 persen merupakan hal wajar. Pasalnya, Indonesia merupakan negara berkembang yang masih memiliki potensi pertumbuhan ekonomi. Ini berbeda dengan AS sebagai negara maju yang pertumbuhannya sudah stabil di angka 3 persen.
Akan tetapi, ia menuturkan pemerintah perlu mencermati angka PDB di samping pertumbuhan ekonomi. Sebab, sebagai negara dengan penduduk terbesar keempat yakni mencapai 269 juta, Indonesia seharusnya bisa menggenjot pertumbuhan PDB.
“Beberapa tahun terakhir, peringkat PDB Indonesia tak bergerak dari posisinya sekarang. Indonesia mempunyai jumlah penduduk besar, jadi walaupun secara individu (PDB per kapita) kecil tapi jumlah penduduk banyak, jadi PDB besar,” katanya.
Dengan jumlah penduduk yang besar, Indonesia seharusnya bisa naik peringkat. Sayangnya, Negeri Katulistiwa masih kalah dengan beberapa negara berkembang lain. Sebut saja Brasil yang menempati posisi ke-10 dengan PDB sebesar US$2,13 triliun atau dua kali lipat dari PDB Indonesia.
Padahal jumlah penduduknya lebih sedikit dari Indonesia, yaitu 209 juta orang. Alasannya, Brasil memiliki PDB per kapita yang lebih tinggi, yakni US$9.821 merujuk data Bank Dunia tahun 2017.
Sementara itu, PDB per kapita Indonesia hanya sebesar US$3.927 mengutip data Badan Pusat Statistik tahun 2018. Bahkan, jika dibandingkan dengan negara di Asia Tenggara, PDB per kapita Indonesia masih tertinggal dengan Malaysia sebesar US$9.944, Singapura sebesar US$57.714, Brunei sebesar US$28.290, dan Thailand sebesar US$6.593 mengacu data Bank Dunia tahun 2017.
“Malaysia dan Singapura tidak masuk G20 karena meskipun per PDB kapita tinggi tapi penduduknya kecil, jadi secara total tidak masuk ukuran ekonomi negara G20. Jadi, Indonesia sebetulnya murni karena jumlah penduduk banyak dan ada pertumbuhan,” imbuhnya.
Dengan demikian, tak ada alasan bagi Indonesia untuk berpangku tangan. Guna menggenjot kekuatan ekonomi ini, Eko bilang Indonesia bisa berkaca kepada negara maju anggota G20 seperti Jepang dan Korea Selatan. Toh, dulunya dua negara itu juga pernah terpuruk.
Jepang pernah mengalami kejatuhan ekonomi usai serangan bom atom yang meluluh lantakkan Hiroshima dan Nagasaki, sedangkan Korea Selatan pernah di posisi yang setara dengan Indonesia usai perang tahun 1950-an.
Kunci utama keberhasilan negara maju, lanjutnya, adalah kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Hal ini yang perlu menjadi fokus Indonesia, sebab tak ada lagi negara maju yang hanya bertumpu kekayaan Sumber Daya Alam (SDA), tetapi lebih mengandalkan kekuatan SDM.
“Dengan pendidikan itu lompatan ekonomi bisa terjadi. Negara G20 yang PDB per kapitanya tinggi dapat dipastikan memiliki kualitas pendidikan tinggi pula,” paparnya.
Di samping itu, Indonesia harus mengembangkan ekonomi yang berbasis industri sebagaimana yang dilakukan negara maju lainnya. Pernyataan Eko ini diamini oleh Wakil Ketua Umum Kadin Shinta Widjaja Kamdani.
Ia menyatakan negara G20 yang berhasil menggenjot PDB seperti China, India, dan Rusia tidak terlepas dari upaya industrialisasi besar-besaran. Mereka, katanya, menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi, investasi, dan perdagangan di samping memaksimalkan kekuatan pasar domestik.
“Jadi, apabila Indonesia mau seperti negara-negara tersebut, kita tidak bisa hanya menggantungkan pertumbuhan ekonomi pada pasar domestik seperti saat ini. Kita harus komitmen untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi yang lebih intens,” ujarnya.
Dorongan kepada industrialisasi ini harus diiringi dengan reformasi kebijakan. Dengan demikian, Indonesia bisa mendatangkan investasi di berbagai sektor dan memungkinkan industrialisasi dalam skala besar.
Konsekuensi dari industrialisasi tentunya terjadi peningkatan impor, namun sifatnya barang modal untuk keperluan industri. Kondisi ini lanjutnya bisa diakali dengan membuka keran perdagangan strategis dengan negara lain.
“Meskipun impor, tetapi ekspor tetap jauh lebih besar daripada impornya. Dan kualitas impornya pun baik untuk mendukung output ekonomi Indonesia yang lebih baik lagi,” imbuhnya.
Tentunya ini menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi Indonesia. Sebab, pertumbuhan industri Indonesia masih melempem. Tahun lalu, industri manufaktur hanya tumbuh 4,07 persen dari sebelumnya 4,74 persen pada 2017.
Akan tetapi, Eko menilai Indonesia masih memiliki peluang emas, yakni memanfaatkan bonus demografi yang diprediksi mencapai puncaknya hingga 2045. Pada 2030 angkatan usia produktif yaitu 15-64 tahun diperkirakan mencapai 200 juta orang. Jumlah tersebut mewakili 68 persen dari total populasi Indonesia. Sedangkan, angkatan tua usia 65 tahun ke atas hanya sekitar 9 persen.
Masifnya penduduk usia produktif ini menjadi peluang emas bagi Indonesia jika dimanfaatkan dengan baik. Sebab, dengan mayoritas penduduk produktif maka otomatis mampu menggerakkan ekonomi. India, contohnya, sebagai negara dengan penduduk besar dia telah berhasil memanfaatkan bonus demografi. Salah satunya melalui transfer teknologi dari negara maju, yaitu AS.
“India nempel ketat kepada AS untuk mendapat transfer teknologi. Sekarang mereka sudah memperoleh itu sehingga pertumbuhan ekonomi lebih tinggi,” ujarnya.
Secara umum, ia meyakini Indonesia masih memiliki peluang untuk menunjukkan tajinya sebagai negara dengan ekonomi besar anggota G20. Ini dapat terwujud jika pemerintah mulai berkaca dari keberhasilan negara lain kemudian mengadopsinya melalui kebijakan-kebijakan ekonomi yang tepat sasaran. Tentunya, dengan memanfaatkan berbagai anugerah yang dimiliki Indonesia, salah satunya bonus demografi. (Sumber: CNNIndonesia)