Sbsinews- Kebebasan berserikat dijamin oleh konstitusi Pasal 28 E Ayat 3 UUD 1945, disamping UUD 1945 tersebut, dalam Aturan dibidang Ketenagakerjaan kebebasan berserikat merupakan hak mendasar yang dimiliki oleh buruh untuk membentuk, mendirikan serikat pekerja serta menjalankan tugas dan fungsi serikat pekerja. begitu juga dengan para pengusaha mempunyai hak untuk mendirikan serikat/organisasi bagi para pengusaha.

Terbukanya “kran” kebebasan berserikat khususnya bagi para pekerja/buruh dimulai pada saat pengunduran Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998. Indonesia memulai era baru dalam hubungan ketenagakerjaan. karena sebelumnya pada saat rezim Presiden Soeharto, Indonesia dikritik oleh negara-negara di dunia karena praktek-praktek represip dalam ketenagakerjaan.

Pada saat Presiden Soeharto, di era orde baru hanya ada satu serikat pekerja nasional yang diakui yaitu Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) dan para buruh yang berusaha untuk membuat serikat pekerja baru atau memprotes upah dan kondisi kerja akan menghadapi intimidasi, integroasi, penjara, kekerasan fisik atau bahkan lebih buruk.[1]

Lengsernya Presiden Soeharto, yang digantikan oleh Pemerintahan Habibie, ingin mengubah keadaan hubungan ketenagakerjaan di Indonesia, dari catatan buruh dunia internasional. Dalam beberapa bulan Presiden Habibie, membuka “kran” kebebasan berserikat dengan mengizinkan serikat buruh diluar SPSI berdiri dan kurang dari dua tahun Indonesia meratifikasi semua konvensi inti ILO. [2]

Setelah Indonesia meratifikasi Konvensi Inti ILO, dengan menghasilkan paket undang-undang dibidang ketenagakerjaan yaitu; UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; UU No. 4 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dan Paket UU Ketenagakerjaan tersebut, masih belum sepenuhnya mematuhi konvensi-konvensi ILO inti yang sudah diratifikasi oleh Indonesia.

Dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan

dalam bentuk lain[3]. Disamping itu pula, pengertian Pekerja/Buruh diatur dalam UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh, yang sama dengan Pasal 1 ayat 3 UU Ketenagakerjaan[4].

Maka menjadi pertayaan, apakah Satuan Pengamanan (Satpam) di berbagai perusahaan merupakan pekerja/buruh?. Hal tersebut dapat terjawab dengan mengacu kepada Pasal 1 ayat 3 UU Ketenagakerja dan Pasal 1 ayat UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh. Sehingga dengan demikian bahwa Satpam merupakan pekerja/buruh.

Bila, Satpam merupakan pekerja/buruh, apakah mempunyai hak yang sama dengan pekerja/buruh yang lainnya?

Ketentuan hukum mengenai ketenagakerjaan diatur dalam UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh, UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian perselisihan hubungan industrial beserta peraturan pelaksanaanya ditambah dengan konvensi internasional yang sudah diratifikasi oleh Indonesia.

Bila mengacu kepada ketentuan hukum ketenagakerjaan serta konvensi internasional, maka tidak ada perbedaan hak pekerja/buruh yang jabatannya sebagai satuan pengamanan dengan jabatan yang lainnya. Semuanya adalah mempunyai hak yang sama.

Akan tetapi yang merupakan masalah, Kepolisian Negara Republik Indonesia Mabes Polri, atas nama Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui Kabarhakam mengeluarkan Surat Edaran Nomor; B/194/I/2013/Baharkam, Perihal; Satpam Bukan Anggota Serikat Pekerja (SPSI, SBSI atau sejenisnya) yang ditujukan kepada Para Kepala Kepolisian Daerah, yang pada pokoknya; Bahwa Satpam bukanlah anggota serikat pekerja dan tidak dibenarkan menjadi anggota organisasi serikat pekerja.

Oleh karenanya, Surat Edaran Nomor; B/194/I/2013/Baharkam, Perihal; Satpam Bukan Anggota Serikat Pekerja (SPSI, SBSI atau sejenisnya) yang dikeluarkan oleh Kabaharkam Mabes Polri tertanggal 28 Januari 2013, apakah dibenarkan oleh ketentuan hukum yang bersifat nasional dan internasional dibidang kebebasan berserikat. Maka hal ini akan dianalisa dalam tiga aspek yaitu pertama; dilihat dari aspek ham, kedua; aspek hukum, ketiga; aspek kebijakan keamanan.

ANALISA SURAT EDARAN NOMOR; B/194/I/2013/BAHARKAM, PERIHAL; SATPAM BUKAN ANGGOTA SERIKAT PEKERJA (SPSI, SBSI ATAU SEJENISNYA).

Aspek Hukum.

Surat Edaran Nomor; B/194/I/2013/Baharkam, Perihal; Satpam Bukan Anggota Serikat Pekerja (SPSI, SBSI atau sejenisnya) tertanggal 28 Januari 2013 bukanlah merupakan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dapat dilihat dalam UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU Pembentukan Peraturan Per-UU).

Dalam Pasal 7 ayat 1 dan 2 UU Pembentukan Peraturan Per-UU menjelaskan;

Ayat 1; Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas;

UUD 1945;Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.Peraturan Pemerintah.Peraturan Presiden.Peraturan Daerah Provinsi.Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Ayat 2; Kekuatan Hukum Peraturan Perundang-Undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat 1.

Lebih lanjut menjelaskan dalam Pasal 8 ayat 1 dan 2 UU Pembentukan Peraturan Per-UU menjelaskan;

Ayat 1; Jenis Peraturan Perundang-Undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat 1 mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Ayat 2; Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Bahwa Rujukan Surat Edaran Nomor; B/194/I/2013/Baharkam, Perihal; Satpam Bukan Anggota Serikat Pekerja (SPSI, SBSI atau sejenisnya) tertanggal 28 Januari 2013 yaitu; Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolian Negara Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kordinasi, Pengawasan dan Pembinaan Teknis terhadap Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan Bentuk-bentuk Pengamanan Swakarsa., Peraturan Kapolri Nomor 24 tahun 2007 tentang Sistem Manajemen Pengamanan Organisasi Perusahaan dan atau Instansi /Lembaga Pemerintah, Surat Kapolda Sumatera Selatan Nomor B/32/I2013 tanggal 4 Januari 2013 perihal; Persetujuan Satpam Tidak Terlibat Organisasi Serikat Pekerja/Buruh.

Dalam Rujukan Surat Edaran Nomor; B/194/I/2013/Baharkam, Perihal; Satpam Bukan Anggota Serikat Pekerja (SPSI, SBSI atau sejenisnya) tertanggal 28 Januari 2013 yang masuk kategori peraturan perundang-undangan adalah UU No. 2 tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2012 Tata Cara Pelaksanaan Kordinasi, Pengawasan dan Pembinaan Teknis terhadap Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan Bentuk-bentuk Pengamanan Swakarsa, tidak ada satu pasal pun yang menyatakan larangan bagi Satpam untuk berserikat, berorganisasi.

Sehingga, terbitnya Surat Edaran Nomor; B/194/I/2013/Baharkam, Perihal; Satpam Bukan Anggota Serikat Pekerja (SPSI, SBSI atau sejenisnya) tertanggal 28 Januari 2013, bukanlah aturan yang dimandatkan oleh UU Kepolisian dan PP No. 43 tahun 2012.

Maka, konsekuensinya Surat Edaran aquo tidak bisa mengatur, memaksa dan mengikat para buruh/pekerja dibidang satuan pengamanan untuk tidak berorganisasi/berserikat. Karena tidak mengikat secara umum. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 ayat 2 UU Pembentukan Peraturan Per-UU menjelaskan;

“Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan olehlembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan”.

Disamping itu pula, Surat Edaran Nomor; B/194/I/2013/Baharkam, Perihal; Satpam Bukan Anggota Serikat Pekerja (SPSI, SBSI atau sejenisnya) tertanggal 28 Januari 2013, adalah bertentangan dengan Pasal 104 ayat 1 UU Ketenagakerjaan dan Pasal 5 UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh.

Pasal 104 ayat 1 UU Ketengakerjaan menjelaskan;

“Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh”.

Pasal 5 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh menjelaskan;

Ayat 1; Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

Ayat 2; Serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh.

Dengan demikian, Surat Edaran Nomor; B/194/I/2013/Baharkam, Perihal; Satpam Bukan Anggota Serikat Pekerja (SPSI, SBSI atau sejenisnya) tertanggal 28 Januari 2013 bertentangan hukum, maka semestinya Kapolri harus mencabut SK Aquo karena batal demi hukum.

ASPEK HAK ASASI MANUSIA

Setiap orang mempunyai mempunyai hak asasi. Yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuha Yang Maha Esa dan merupakan anugerahn-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia[5].

Buruh/Pekerja mempunyai hak asasi untuk membentuk dan mendirikan serikat pekerja/buruh, dan siapapun tidak boleh melarang dan menghalang-halanginya. [6]

Akan tetapi, Kabarhakam Mabes Polri selaku otoritas negara mengeluarkan Surat Edaran Nomor; B/194/I/2013/Baharkam, Perihal; Satpam Bukan Anggota Serikat Pekerja (SPSI, SBSI atau sejenisnya) tertanggal 28 Januari 2013, yang pada pokoknya;

“Satpam bukanlah anggota Serikat Pekerja dan tidak dibenarkan menjadi anggota organisasi serikat pekerja.akibatnya para satpam yang ingin berserikat banyak yang di PHK, serta perusahaan mendelegitimiasi keberadaan SP/SB yang didirikan para pekerja dibidang Satpam.

Bahwa jaminan setiap orang mempunyai hak untuk berkumpul, berapat dan berserikat untuk maksud damai dijamin dalam Pasal 24 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Selanjut disebut UU HAM).

Saat ini Indonesia meratifikasi berbagai Konvensi Inti ILO diantaranya;

Konvensi 87 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berserikat pada tanggal 5 Juni 1998 melalui Kepres No. 83 tahun 1998. Konvensi ILO No. 98 tentang Berlakunya Dasar-Dasar Hak Untuk Berorganisasi dan Untuk Berunding Bersama yang diratifikasi dengan UU No. 18 tahun 1956.Konvensi Ilo 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa pada tanggal 7 Mei 1999 diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 19 tahun 1999.Konvensi Ilo 111 mengenai diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan pada tanggal 7 Mei 1999 diratifikasi melalui UU No. 21 tahun 1999.Konvensi Ilo 138 tentang Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja pada tanggal 7 Mei 1999 diratifikasi melalui UU No. 20 tahun 1999.Konvensi Ilo 182 tentang Larangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerjaan Anak pada tanggal 28 Maret 2000 diratifikasi melalui UU No. 1 tahun 2000.

Atas tindakan Indonesia yang telah melakukan berbagai ratifikasi Konvensi ILO khususnya Konvensi ILO Nomor 87 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berserikat melalui Kepres No. 83 tahun 1998 dan Konvensi ILO Nomor 98 tentang

Berlakunya Dasar-Dasar Hak Untuk Berorganisasi dan Untuk Berunding Bersama yang diratifikasi melalui UU No. 18 tahun 1956. Maka Indonesia sebagai negara dalam Organisasi Perburuhan Internasional mempunyai kewajiban untuk menghormati melalui perundang-undangan nasional dan bertanggungjawab terutama untuk memastikan penghormatan terhadap prinsip-prinsip kebebasan berserikat.

Prinsip-prinsip kebebasan berserikat yang diatur dalam Konvensi ILO diantaranya;

Para pekerja dan pengusaha, tanpa perbedaan apapun, berhak untuk mendirikan dan, menurut aturan organisasi masing-masing, bergabung dengan organisasi-organisasi lain atas pilihan mereka sendiri tanpa pengaruh pihak lain.Organisasi pekerja dan pengusaha tidak boleh dibubarkan atau dilarang kegiatannya oleh “penguasa administratif”.Organisasi pekerja dan pengusaha berhak untuk mendirikan dan bergabung dengan federasifederasi dan konfederasi-konfederasi dan organisasi sejenis, dan setiap federasi atau konfederasi tersebut berhak untuk berafiliasi dengan organisasi-organisasi pekerja dan pengusaha internasional.

Didasarkan kepada prinsip-prinsip kebebasan berserikat yang diatur dalam Konvensi ILO, maka semua otoritas negara termasuk otoritas peradilan harus menghormati dan bertanggungjawab untuk memastikan penghormatan terhadap prinsip-prinsip kebebasan berserikat. Maka suatu negara juga tidak dapat mempergunakan argumentasi bahwa komitmen-komitmen atau perjanjian-perjanjian lain dapat membenarkan tidak diterapkannya Konvensi-Konvensi ILO yang telah diratifikasi[7].

Atas berbagai ratifikasi konvensi ILO yang dilakukan oleh Indonesia, maka kewajiban Indonesia untuk menghormati melalui perundang-undangan nasional dan bertanggungjawab terutama untuk memastikan penghormatan terhadap prinsip-prinsip kebebasan berserikat, maka Indonesia membuat berbagai peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksananya, diantaranya;

UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Serikat Pekerja/Serikat Buruh. UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Disamping itu pula, Indonesia pada tahun 2005 telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Ekonomi Sosial dan Budaya melalui UU No. 11 tahun 2005 dan meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik melalui UU No. 12 tahun 2005, yang mana di kedua kovenan internasional tersebut mengatur tentang kebebasan berserikat, yang tercantum Dalam Pasal 8 Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan Pasal 22 ayat 1, 2 dan 3 Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik.

Pasal 8 Konvenan Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya menjelaskan;

Ayat 1; Negara-negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin:

Hak setiap orang untuk membentuk serikat buruh dan bergabung dalam serikat buruh pilihannya, tunduk pada aturan-aturan organisasi yang bersangkutan, demi memajukan dan melindungi kepentingan ekonomi dan sosialnya. Tidak ada pembatasan yang boleh dikenakan pada pelaksanaan pelaksanaan hak ini selain pembatasan yang ditetapkan oleh hukum dan yang diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan nasional atau ketertiban umum, atau bagi perlindungan hak dan kebebasan orang lainHak serikat buruh untuk membentuk federasi atau konfederasi nasional, dan hak federasi atau konfederasi tersebut untuk membentuk atau bergabung dengan organisasi serikat buruh internasional.Hak serikat buruh untuk berfungsi secara bebas tanpa dikenai pembatasan selain pembatasan yang ditetapkan oleh hukum dan yang perlu dalam suatu masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan nasional atau ketertiban umum, atau bagi perlindungan hak dan kebebasan orang lain;Hak untuk melakukan pemogokan, dengan ketentuan bahwa hak tersebut dilaksanakan sesuai dengan hukum negara tertentu;

Ayat 3; Pasal ini tidak akan menghalangi dibuatnya pembatasan-pembatasan yang sah dalam pelaksanaan hak tersebut diatas oleh anggota angkatan bersenjata, atau kepolisian, atau pemerintah Negara.

Ayat 4; Tidak ada satu pun ketentuan dalam Pasal ini yang memberi kewenangan pada Negara Pihak “Konvensi Internasional Organisasi Perburuhan Internasional 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Kebebasan Berorganisasi” untuk mengambil tindakan legislatif atau menerapkan undang-undang sedemikian rupa sehingga mengurangi jaminan yang telah ditetapkan dalam Kovenan tersebut.

Pasal 22 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik menjelaskan;

Ayat 1; Setiap orang berhak atas kebebebasan untuk berserikat dengan orang lain, termasuk hak untuk membentuk dan bergabung dalam serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya.

Ayat 2; tidak satu pun pembatasan dapat dikenakan pada pelaksanaan hak ini, kecuali jika hal tersebut dilakukan berdasarkan hukum, dan diperlukan dalam masyarakat yang demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan public, ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan atau moral masyarakat, atau perlindungan atas hak dan kebebasan orang lain. Pasal ini tidak boleh mencegah diberikannya pembatasan yang sah bagi anggota angkatan bersenjata dan kepolisian dalam melaksanakan hak ini.

Ayat 3; Tidak ada satu hal pun dalam pasal ini yang memberikan kewenangan kepada Negara-negara Pihak Konvensi Organisasi Buruh Internasional 1948 mengenai Kebebasan Berserikat dan Perlindungan atas Hak Berserikat untuk mengambil tindakan legislative yang dapat mengurangi, datau memberlakukan hukum sedemikian rupa sehingga mengurangi, jaminan yang diberikan dalam Konvensi tersebut.

Bahkan Kebebasan berserikat bagi setiap pekerja/buruh dijamin dalam isntrumen hukum nasional sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 104 ayat 1 UU Ketengakerjaan dan Pasal 5 UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh menjelaskan;

Disamping itu pula, Indonesia pada tahun 2005 telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Ekonomi Sosial dan Budaya melalui UU No. 11 tahun 2005 dan meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik melalui UU No. 12 tahun 2005, yang mana di kedua kovenan internasional tersebut mengatur tentang kebebasan berserikat, yang tercantum Dalam Pasal 8 Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan Pasal 22 ayat 1, 2 dan 3 Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik

Pasal 8 Konvenan Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya menjelaskan;

Ayat 1; Negara-negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin:

“Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh”.

Pasal 5 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh menjelaskan;

Ayat 1; Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

Ayat 2; Serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh.

Dalam Pasal 15 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh menjelaskan;

Pekerja/buruh yang menduduki jabatan tertentu di dalam satu perusahaan dan jabatan itu menimbulkan pertentangan kepentingan antara pihak pengusaha dan pekerja/buruh, tidak boleh menjadi pengurus serikat pekerja/serikat buruh diperusahaan yang bersangkutan.

Lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 15 UU SP/SB menjelaskan;

Jabatan tertentu yang dimaksud dalam Pasal ini misalnya manajer sumber daya manusia, manajer keuangan, manajer personalia, sebagaimana yang disepakati dalam perjanjian kerja bersama.

Ketentuan Pasal 15 UU SP/SB diatas tidak ada larangan bagi pekerja/buruh untuk membentuk dan mendirikan serikat pekerja di perusahaan sepanjang sesuai dengan UU SP/SB.

Kembali kepada Surat Edaran Nomor; B/194/I/2013/Baharkam, Perihal; Satpam Bukan Anggota Serikat Pekerja (SPSI, SBSI atau sejenisnya) tertanggal 28 Januari 2013, yang ditandatangani oleh Kabarhakam, tindakan yang dilakukan oleh Kabarhakam yang melakukan pelarangan bagi Satpam untuk berserikat. Tentu bila dikaitkan dengan ketentuan hukum nasional dan internasional yang mengatur kebebasan berserikat sebagaimana dijelaskan diatas, maka tindakan yang dilakukan oleh Kabaharkam Mabes Polri merupakan pelanggaran HAM dalam hal ini kebebasan berserikat yang dimiliki oleh Satpam.

Bahkan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 628 K/PDT.SUS/2009tertanggal 17 Nopember 2009 dalam pertimbangannya menyatakan;

Ketentuan Pasal 15 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh beserta penjelasannya tegas menyatakan yang tidak boleh menjadi pengurus serikat pekerja/buruh misalnya Manajer SDM, manajer keuangan, atau manajer personalia tidak mengatur mengenai Satpam. Sehingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan oleh Perusahaan dengan mendasarkan kepada surat Kapoltabes Medan tanggal 17 Mei 2002 dengan mendasarkan kepada Pasal 3 ayat 2 UU No. 2 tahun 2002 kepada Satpam karena mendirikan serikat pekerja merupakan perbuatan melawan hukum.

Dengan demikian, tidak ada larangan bagi Satpam untuk membentuk dan mendirikan serikat pekerja/buruh. Siapapun yang menghalang-halangi Satpam untuk berserikat merupakan suatu kejahatan, yang dapat dipidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama lima tahun sesuai dengan Pasal 28 jo. Pasal 43 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

[1] Dokumentasi Indonesia dan Pusat Informasi 1981-86; Hadi 1997; Ford 1999).

[2] Indonesia meratifikasi Konvensi 87 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berserikat pada tanggal 5 Juni 1998; Konvensi Ilo 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa pada tanggal 7 Mei 1999; Konvensi Ilo 111 mengenai diskriminasi dalam pekerjaan dna jabatan pada tanggal 7 Mei 1999; Konvensi Ilo 138 tentang Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja pada tanggal 7 Mei 1999; Konvensi Ilo 182 tentang Larangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerjaan Anak pada tanggal 28 Maret 2000.

Pasal 1 ayat 3 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pasal 1 ayat 6 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Pasal 1 ayat 1 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Lihat Pasal 28 jo. Pasal 43 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Intisari Keputusan-Keputusan dan Prinsip-Prinsip Komite Kebebasan Berserikat Badan Pimpinan ILO. Edisi Kelima. Hal. 10. Tahun 2006. Melarang Satpam Berserikat Adalah Tindakan Inkonstitusional

Kebebasan berserikat dijamin oleh konstitusi Pasal 28 E Ayat 3 UUD 1945, disamping UUD 1945 tersebut, dalam Aturan dibidang Ketenagakerjaan kebebasan berserikat merupakan hak mendasar yang dimiliki oleh buruh untuk membentuk, mendirikan serikat pekerja serta menjalankan tugas dan fungsi serikat pekerja. begitu juga dengan para pengusaha mempunyai hak untuk mendirikan serikat/organisasi bagi para pengusaha.

Terbukanya “kran” kebebasan berserikat khususnya bagi para pekerja/buruh dimulai pada saat pengunduran Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998. Indonesia memulai era baru dalam hubungan ketenagakerjaan. karena sebelumnya pada saat rezim Presiden Soeharto, Indonesia dikritik oleh negara-negara di dunia karena praktek-praktek represip dalam ketenagakerjaan.

Pada saat Presiden Soeharto, di era orde baru hanya ada satu serikat pekerja nasional yang diakui yaitu Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) dan para buruh yang berusaha untuk membuat serikat pekerja baru atau memprotes upah dan kondisi kerja akan menghadapi intimidasi, integroasi, penjara, kekerasan fisik atau bahkan lebih buruk.[1]

Lengsernya Presiden Soeharto, yang digantikan oleh Pemerintahan Habibie, ingin mengubah keadaan hubungan ketenagakerjaan di Indonesia, dari catatan buruh dunia internasional. Dalam beberapa bulan Presiden Habibie, membuka “kran” kebebasan berserikat dengan mengizinkan serikat buruh diluar SPSI berdiri dan kurang dari dua tahun Indonesia meratifikasi semua konvensi inti ILO. [2]

Setelah Indonesia meratifikasi Konvensi Inti ILO, dengan menghasilkan paket undang-undang dibidang ketenagakerjaan yaitu; UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; UU No. 4 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dan Paket UU Ketenagakerjaan tersebut, masih belum sepenuhnya mematuhi konvensi-konvensi ILO inti yang sudah diratifikasi oleh Indonesia.

Dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan

dalam bentuk lain[3]. Disamping itu pula, pengertian Pekerja/Buruh diatur dalam UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh, yang sama dengan Pasal 1 ayat 3 UU Ketenagakerjaan[4].

Maka menjadi pertayaan, apakah Satuan Pengamanan (Satpam) di berbagai perusahaan merupakan pekerja/buruh?. Hal tersebut dapat terjawab dengan mengacu kepada Pasal 1 ayat 3 UU Ketenagakerja dan Pasal 1 ayat UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh. Sehingga dengan demikian bahwa Satpam merupakan pekerja/buruh.

Bila, Satpam merupakan pekerja/buruh, apakah mempunyai hak yang sama dengan pekerja/buruh yang lainnya?

Ketentuan hukum mengenai ketenagakerjaan diatur dalam UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh, UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian perselisihan hubungan industrial beserta peraturan pelaksanaanya ditambah dengan konvensi internasional yang sudah diratifikasi oleh Indonesia.

Bila mengacu kepada ketentuan hukum ketenagakerjaan serta konvensi internasional, maka tidak ada perbedaan hak pekerja/buruh yang jabatannya sebagai satuan pengamanan dengan jabatan yang lainnya. Semuanya adalah mempunyai hak yang sama.

Akan tetapi yang merupakan masalah, Kepolisian Negara Republik Indonesia Mabes Polri, atas nama Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui Kabarhakam mengeluarkan Surat Edaran Nomor; B/194/I/2013/Baharkam, Perihal; Satpam Bukan Anggota Serikat Pekerja (SPSI, SBSI atau sejenisnya) yang ditujukan kepada Para Kepala Kepolisian Daerah, yang pada pokoknya; Bahwa Satpam bukanlah anggota serikat pekerja dan tidak dibenarkan menjadi anggota organisasi serikat pekerja.

Oleh karenanya, Surat Edaran Nomor; B/194/I/2013/Baharkam, Perihal; Satpam Bukan Anggota Serikat Pekerja (SPSI, SBSI atau sejenisnya) yang dikeluarkan oleh Kabaharkam Mabes Polri tertanggal 28 Januari 2013, apakah dibenarkan oleh ketentuan hukum yang bersifat nasional dan internasional dibidang kebebasan berserikat. Maka hal ini akan dianalisa dalam tiga aspek yaitu pertama; dilihat dari aspek ham, kedua; aspek hukum, ketiga; aspek kebijakan keamanan.

ANALISA SURAT EDARAN NOMOR; B/194/I/2013/BAHARKAM, PERIHAL; SATPAM BUKAN ANGGOTA SERIKAT PEKERJA (SPSI, SBSI ATAU SEJENISNYA).

Aspek Hukum.

Surat Edaran Nomor; B/194/I/2013/Baharkam, Perihal; Satpam Bukan Anggota Serikat Pekerja (SPSI, SBSI atau sejenisnya) tertanggal 28 Januari 2013 bukanlah merupakan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dapat dilihat dalam UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU Pembentukan Peraturan Per-UU).

Dalam Pasal 7 ayat 1 dan 2 UU Pembentukan Peraturan Per-UU menjelaskan;

Ayat 1; Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas;

UUD 1945;Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.Peraturan Pemerintah.Peraturan Presiden.Peraturan Daerah Provinsi.Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Ayat 2; Kekuatan Hukum Peraturan Perundang-Undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat 1.

Lebih lanjut menjelaskan dalam Pasal 8 ayat 1 dan 2 UU Pembentukan Peraturan Per-UU menjelaskan;

Ayat 1; Jenis Peraturan Perundang-Undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat 1 mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Ayat 2; Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Bahwa Rujukan Surat Edaran Nomor; B/194/I/2013/Baharkam, Perihal; Satpam Bukan Anggota Serikat Pekerja (SPSI, SBSI atau sejenisnya) tertanggal 28 Januari 2013 yaitu; Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolian Negara Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kordinasi, Pengawasan dan Pembinaan Teknis terhadap Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan Bentuk-bentuk Pengamanan Swakarsa., Peraturan Kapolri Nomor 24 tahun 2007 tentang Sistem Manajemen Pengamanan Organisasi Perusahaan dan atau Instansi /Lembaga Pemerintah, Surat Kapolda Sumatera Selatan Nomor B/32/I2013 tanggal 4 Januari 2013 perihal; Persetujuan Satpam Tidak Terlibat Organisasi Serikat Pekerja/Buruh.

Dalam Rujukan Surat Edaran Nomor; B/194/I/2013/Baharkam, Perihal; Satpam Bukan Anggota Serikat Pekerja (SPSI, SBSI atau sejenisnya) tertanggal 28 Januari 2013 yang masuk kategori peraturan perundang-undangan adalah UU No. 2 tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2012 Tata Cara Pelaksanaan Kordinasi, Pengawasan dan Pembinaan Teknis terhadap Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan Bentuk-bentuk Pengamanan Swakarsa, tidak ada satu pasal pun yang menyatakan larangan bagi Satpam untuk berserikat, berorganisasi.

Sehingga, terbitnya Surat Edaran Nomor; B/194/I/2013/Baharkam, Perihal; Satpam Bukan Anggota Serikat Pekerja (SPSI, SBSI atau sejenisnya) tertanggal 28 Januari 2013, bukanlah aturan yang dimandatkan oleh UU Kepolisian dan PP No. 43 tahun 2012.

Maka, konsekuensinya Surat Edaran aquo tidak bisa mengatur, memaksa dan mengikat para buruh/pekerja dibidang satuan pengamanan untuk tidak berorganisasi/berserikat. Karena tidak mengikat secara umum. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 ayat 2 UU Pembentukan Peraturan Per-UU menjelaskan;

“Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan olehlembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan”.

Disamping itu pula, Surat Edaran Nomor; B/194/I/2013/Baharkam, Perihal; Satpam Bukan Anggota Serikat Pekerja (SPSI, SBSI atau sejenisnya) tertanggal 28 Januari 2013, adalah bertentangan dengan Pasal 104 ayat 1 UU Ketenagakerjaan dan Pasal 5 UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh.

Pasal 104 ayat 1 UU Ketengakerjaan menjelaskan;

“Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh”.

Pasal 5 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh menjelaskan;

Ayat 1; Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

Ayat 2; Serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh.

Dengan demikian, Surat Edaran Nomor; B/194/I/2013/Baharkam, Perihal; Satpam Bukan Anggota Serikat Pekerja (SPSI, SBSI atau sejenisnya) tertanggal 28 Januari 2013 bertentangan hukum, maka semestinya Kapolri harus mencabut SK Aquo karena batal demi hukum.

ASPEK HAK ASASI MANUSIA

Setiap orang mempunyai mempunyai hak asasi. Yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuha Yang Maha Esa dan merupakan anugerahn-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia[5].

Buruh/Pekerja mempunyai hak asasi untuk membentuk dan mendirikan serikat pekerja/buruh, dan siapapun tidak boleh melarang dan menghalang-halanginya. [6]

Akan tetapi, Kabarhakam Mabes Polri selaku otoritas negara mengeluarkan Surat Edaran Nomor; B/194/I/2013/Baharkam, Perihal; Satpam Bukan Anggota Serikat Pekerja (SPSI, SBSI atau sejenisnya) tertanggal 28 Januari 2013, yang pada pokoknya;

“Satpam bukanlah anggota Serikat Pekerja dan tidak dibenarkan menjadi anggota organisasi serikat pekerja.akibatnya para satpam yang ingin berserikat banyak yang di PHK, serta perusahaan mendelegitimiasi keberadaan SP/SB yang didirikan para pekerja dibidang Satpam.

Bahwa jaminan setiap orang mempunyai hak untuk berkumpul, berapat dan berserikat untuk maksud damai dijamin dalam Pasal 24 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Selanjut disebut UU HAM).

Saat ini Indonesia meratifikasi berbagai Konvensi Inti ILO diantaranya;

Konvensi 87 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berserikat pada tanggal 5 Juni 1998 melalui Kepres No. 83 tahun 1998. Konvensi ILO No. 98 tentang Berlakunya Dasar-Dasar Hak Untuk Berorganisasi dan Untuk Berunding Bersama yang diratifikasi dengan UU No. 18 tahun 1956.Konvensi Ilo 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa pada tanggal 7 Mei 1999 diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 19 tahun 1999.Konvensi Ilo 111 mengenai diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan pada tanggal 7 Mei 1999 diratifikasi melalui UU No. 21 tahun 1999.Konvensi Ilo 138 tentang Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja pada tanggal 7 Mei 1999 diratifikasi melalui UU No. 20 tahun 1999.Konvensi Ilo 182 tentang Larangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerjaan Anak pada tanggal 28 Maret 2000 diratifikasi melalui UU No. 1 tahun 2000.

Atas tindakan Indonesia yang telah melakukan berbagai ratifikasi Konvensi ILO khususnya Konvensi ILO Nomor 87 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berserikat melalui Kepres No. 83 tahun 1998 dan Konvensi ILO Nomor 98 tentang

Berlakunya Dasar-Dasar Hak Untuk Berorganisasi dan Untuk Berunding Bersama yang diratifikasi melalui UU No. 18 tahun 1956. Maka Indonesia sebagai negara dalam Organisasi Perburuhan Internasional mempunyai kewajiban untuk menghormati melalui perundang-undangan nasional dan bertanggungjawab terutama untuk memastikan penghormatan terhadap prinsip-prinsip kebebasan berserikat.

Prinsip-prinsip kebebasan berserikat yang diatur dalam Konvensi ILO diantaranya;

Para pekerja dan pengusaha, tanpa perbedaan apapun, berhak untuk mendirikan dan, menurut aturan organisasi masing-masing, bergabung dengan organisasi-organisasi lain atas pilihan mereka sendiri tanpa pengaruh pihak lain.Organisasi pekerja dan pengusaha tidak boleh dibubarkan atau dilarang kegiatannya oleh “penguasa administratif”.Organisasi pekerja dan pengusaha berhak untuk mendirikan dan bergabung dengan federasifederasi dan konfederasi-konfederasi dan organisasi sejenis, dan setiap federasi atau konfederasi tersebut berhak untuk berafiliasi dengan organisasi-organisasi pekerja dan pengusaha internasional.

Didasarkan kepada prinsip-prinsip kebebasan berserikat yang diatur dalam Konvensi ILO, maka semua otoritas negara termasuk otoritas peradilan harus menghormati dan bertanggungjawab untuk memastikan penghormatan terhadap prinsip-prinsip kebebasan berserikat. Maka suatu negara juga tidak dapat mempergunakan argumentasi bahwa komitmen-komitmen atau perjanjian-perjanjian lain dapat membenarkan tidak diterapkannya Konvensi-Konvensi ILO yang telah diratifikasi[7].

Atas berbagai ratifikasi konvensi ILO yang dilakukan oleh Indonesia, maka kewajiban Indonesia untuk menghormati melalui perundang-undangan nasional dan bertanggungjawab terutama untuk memastikan penghormatan terhadap prinsip-prinsip kebebasan berserikat, maka Indonesia membuat berbagai peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksananya, diantaranya;

UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Serikat Pekerja/Serikat Buruh. UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Disamping itu pula, Indonesia pada tahun 2005 telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Ekonomi Sosial dan Budaya melalui UU No. 11 tahun 2005 dan meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik melalui UU No. 12 tahun 2005, yang mana di kedua kovenan internasional tersebut mengatur tentang kebebasan berserikat, yang tercantum Dalam Pasal 8 Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan Pasal 22 ayat 1, 2 dan 3 Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik.

Pasal 8 Konvenan Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya menjelaskan;

Ayat 1; Negara-negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin:

Hak setiap orang untuk membentuk serikat buruh dan bergabung dalam serikat buruh pilihannya, tunduk pada aturan-aturan organisasi yang bersangkutan, demi memajukan dan melindungi kepentingan ekonomi dan sosialnya. Tidak ada pembatasan yang boleh dikenakan pada pelaksanaan pelaksanaan hak ini selain pembatasan yang ditetapkan oleh hukum dan yang diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan nasional atau ketertiban umum, atau bagi perlindungan hak dan kebebasan orang lainHak serikat buruh untuk membentuk federasi atau konfederasi nasional, dan hak federasi atau konfederasi tersebut untuk membentuk atau bergabung dengan organisasi serikat buruh internasional.Hak serikat buruh untuk berfungsi secara bebas tanpa dikenai pembatasan selain pembatasan yang ditetapkan oleh hukum dan yang perlu dalam suatu masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan nasional atau ketertiban umum, atau bagi perlindungan hak dan kebebasan orang lain;Hak untuk melakukan pemogokan, dengan ketentuan bahwa hak tersebut dilaksanakan sesuai dengan hukum negara tertentu;

Ayat 3; Pasal ini tidak akan menghalangi dibuatnya pembatasan-pembatasan yang sah dalam pelaksanaan hak tersebut diatas oleh anggota angkatan bersenjata, atau kepolisian, atau pemerintah Negara.

Ayat 4; Tidak ada satu pun ketentuan dalam Pasal ini yang memberi kewenangan pada Negara Pihak “Konvensi Internasional Organisasi Perburuhan Internasional 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Kebebasan Berorganisasi” untuk mengambil tindakan legislatif atau menerapkan undang-undang sedemikian rupa sehingga mengurangi jaminan yang telah ditetapkan dalam Kovenan tersebut.

Pasal 22 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik menjelaskan;

Ayat 1; Setiap orang berhak atas kebebebasan untuk berserikat dengan orang lain, termasuk hak untuk membentuk dan bergabung dalam serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya.

Ayat 2; tidak satu pun pembatasan dapat dikenakan pada pelaksanaan hak ini, kecuali jika hal tersebut dilakukan berdasarkan hukum, dan diperlukan dalam masyarakat yang demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan public, ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan atau moral masyarakat, atau perlindungan atas hak dan kebebasan orang lain. Pasal ini tidak boleh mencegah diberikannya pembatasan yang sah bagi anggota angkatan bersenjata dan kepolisian dalam melaksanakan hak ini.

Ayat 3; Tidak ada satu hal pun dalam pasal ini yang memberikan kewenangan kepada Negara-negara Pihak Konvensi Organisasi Buruh Internasional 1948 mengenai Kebebasan Berserikat dan Perlindungan atas Hak Berserikat untuk mengambil tindakan legislative yang dapat mengurangi, datau memberlakukan hukum sedemikian rupa sehingga mengurangi, jaminan yang diberikan dalam Konvensi tersebut.

Bahkan Kebebasan berserikat bagi setiap pekerja/buruh dijamin dalam isntrumen hukum nasional sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 104 ayat 1 UU Ketengakerjaan dan Pasal 5 UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh menjelaskan;

Disamping itu pula, Indonesia pada tahun 2005 telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Ekonomi Sosial dan Budaya melalui UU No. 11 tahun 2005 dan meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik melalui UU No. 12 tahun 2005, yang mana di kedua kovenan internasional tersebut mengatur tentang kebebasan berserikat, yang tercantum Dalam Pasal 8 Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan Pasal 22 ayat 1, 2 dan 3 Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik

Pasal 8 Konvenan Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya menjelaskan;

Ayat 1; Negara-negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin:

“Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh”.

Pasal 5 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh menjelaskan;

Ayat 1; Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

Ayat 2; Serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh.

Dalam Pasal 15 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh menjelaskan;

Pekerja/buruh yang menduduki jabatan tertentu di dalam satu perusahaan dan jabatan itu menimbulkan pertentangan kepentingan antara pihak pengusaha dan pekerja/buruh, tidak boleh menjadi pengurus serikat pekerja/serikat buruh diperusahaan yang bersangkutan.

Lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 15 UU SP/SB menjelaskan;

Jabatan tertentu yang dimaksud dalam Pasal ini misalnya manajer sumber daya manusia, manajer keuangan, manajer personalia, sebagaimana yang disepakati dalam perjanjian kerja bersama.

Ketentuan Pasal 15 UU SP/SB diatas tidak ada larangan bagi pekerja/buruh untuk membentuk dan mendirikan serikat pekerja di perusahaan sepanjang sesuai dengan UU SP/SB.

Kembali kepada Surat Edaran Nomor; B/194/I/2013/Baharkam, Perihal; Satpam Bukan Anggota Serikat Pekerja (SPSI, SBSI atau sejenisnya) tertanggal 28 Januari 2013, yang ditandatangani oleh Kabarhakam, tindakan yang dilakukan oleh Kabarhakam yang melakukan pelarangan bagi Satpam untuk berserikat. Tentu bila dikaitkan dengan ketentuan hukum nasional dan internasional yang mengatur kebebasan berserikat sebagaimana dijelaskan diatas, maka tindakan yang dilakukan oleh Kabaharkam Mabes Polri merupakan pelanggaran HAM dalam hal ini kebebasan berserikat yang dimiliki oleh Satpam.

Bahkan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 628 K/PDT.SUS/2009tertanggal 17 Nopember 2009 dalam pertimbangannya menyatakan;

Ketentuan Pasal 15 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh beserta penjelasannya tegas menyatakan yang tidak boleh menjadi pengurus serikat pekerja/buruh misalnya Manajer SDM, manajer keuangan, atau manajer personalia tidak mengatur mengenai Satpam. Sehingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan oleh Perusahaan dengan mendasarkan kepada surat Kapoltabes Medan tanggal 17 Mei 2002 dengan mendasarkan kepada Pasal 3 ayat 2 UU No. 2 tahun 2002 kepada Satpam karena mendirikan serikat pekerja merupakan perbuatan melawan hukum.

Dengan demikian, tidak ada larangan bagi Satpam untuk membentuk dan mendirikan serikat pekerja/buruh. Siapapun yang menghalang-halangi Satpam untuk berserikat merupakan suatu kejahatan, yang dapat dipidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama lima tahun sesuai dengan Pasal 28 jo. Pasal 43 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

[1] Dokumentasi Indonesia dan Pusat Informasi 1981-86; Hadi 1997; Ford 1999).

[2] Indonesia meratifikasi Konvensi 87 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berserikat pada tanggal 5 Juni 1998; Konvensi Ilo 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa pada tanggal 7 Mei 1999; Konvensi Ilo 111 mengenai diskriminasi dalam pekerjaan dna jabatan pada tanggal 7 Mei 1999; Konvensi Ilo 138 tentang Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja pada tanggal 7 Mei 1999; Konvensi Ilo 182 tentang Larangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerjaan Anak pada tanggal 28 Maret 2000.

Pasal 1 ayat 3 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pasal 1 ayat 6 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Pasal 1 ayat 1 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Lihat Pasal 28 jo. Pasal 43 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Intisari Keputusan-Keputusan dan Prinsip-Prinsip Komite Kebebasan Berserikat Badan Pimpinan ILO. Edisi Kelima. Hal. 10. Tahun 2006.

~ Andi Naja FP Paraga ~

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here