Catatan Pagi
(lanjutan Catatan Malam)

SBSINews – Putusan Hakim MA yang menurunkan iuran JKN peserta mandiri memaparkan dua pertimbangan hukum yaitu daya beli masyarakat masih rendah, dan kedua pelayanan BPJS kesehatan belum membaik.

Dengan dua pertimbangan hukum ini maka Hakim MA membatalkan iuran peserta mandiri yang klas 1 awalnya 160 ribu diturunkan jadi 80 ribu, klas 2 yang awalnya Rp.110 ribu diturunkan jadi Rp.51 ribu dan klas 3 dari 42 ribu menjadi Rp. 25.500.

Dengan pertimbamgan hukum ini seharusnya Pemerintah berusaha bagaimana agar daya beli masyarakat ditingkatkan dan pelayanan BPJS Kesehatan juga ditingkatkan, baru lakukan kenaikan iuran JKN.

Dalam kondisi pandemi seperti ini kan sudah sangat jelas dan kasat mata kalau daya beli masyarakat termasuk peserta mandiri yang didominasi pekerja informal sangat jatuh. Pekerja informal sulit bekerja seperti biasa karena Covid19 ini.

Lalu kalau bicara pelayanan BPJS, di era covid 19 ini justru pelayanan BPJS malah cenderung menurun. Sebagai contoh yang banyak terjadi dan menjadi persoalan saat ini, seorang pasien JKN ketika harus dirawat inap harus melakukan test covid19, dan pasien diminta bayar 750 ribu untuk test covid19 tersebut, padahal dgn sangat jelas2 di pasal 86 perpres 82 tahun 2018 pasien JKN tidak boleh diminta biaya lagi. Ada pasien JKN yg krn tidak mampu bayar 750 ribu jadi pulang, yg seharusnya dirawat di RS. Si pasien meninggal di rumah. Masih banyak kasus lainnya yang tidak bisa saya tulis di sini.

Ok saya akan paparkan RKAT BPJS kesehatan di 2020. Pos Penerimaan ditargetkan 137 Triliun, krn adanya putusan MA maka direvisi sehingga jadi 132 Triliun. Pemerintah sudah tambah 3 triliun (bagian dari 75 Triliun yg dialokasikan APBN untuk Covid – 19). Penerimaan jadi 135 Triliun. Ini masih ditambah pendapatan dari pajak rokok yang bisa mencapai Rp. 5 Triliun lebih kalau pemda membayar pajak rokok ke BPJS Kesehatan sesuai Pasal 99 dan 100 Pepres no. 82 tahun 2018.

Sekarang kita analisa beban biaya. Tahun lalu beban biaya 108 Triliun. Kalau pun naik 10% di 2020 maka beban biaya jadi 118.8 Triliun. Ditambah utang BPJS ke RS RS di 2019 yaitu 15 Triliun. Jadi total 133.3 Triliun. Ini ditambah biaya operasional BPJS Kesehatan sekitar Rp. 5 Triliun.

Dari analisa biaya ini saja seharusnya BPJS bisa surplus di 2020 sebesar Rp. 1.7 Triliun.
Itu pun surplus bisa lebih besar bila BPJS mau serius mengawasi fraud di RS, dan mengawasi puskesmas dan klinik yang suka merujuk pasien ke RS sehingga biaya muncul di RS.

Belum lagi kalau BPJS mampu menagih utang iuran dari peserta yang satu bulan nilainya Rp. 3.4 Triliun. Bila Pemerintah menerapkan PP 86 tahun 2013 ttg sanksi tidak dapat layanan publik maka utang iuran bisa didapat lebih besar sehingga menjadi pendapatan riil BPJS Kesehatah. Belum lagi kalau Bu Menkeu tegas ke pemda yang tidak mau nyetorin pajak rokoknya ke BPJS Kesehatan.

Saya kira kalau itu dijalanin tahun ini DJS JKN bisa surplus dan TIDAK harus dinaikkan iurannya.

Lalu kalau kita sandingkan isi perpres 64 ini dengan UU SJSN maka sangat kasat mata perpres ini bertentangan dengan UU SJSN dan UU BPJS.
UU SJSN dan UU BPJS mengamanatkan pemerintah hanya bayar iuran rakyat miskin, tapi di perpres 64 ini peserta mandiri klas 3 yang juga mampu disubsudi oleh pemerintah. Klas 3 mandiri itu juga dihuni oleh orang mampu. Orang mampu di klas 2 dan klas 1 sudah banyak yang turun klas ke klas 3 ketika Pepres 75 tahun 2019 dirilis.

Seharusnya langkah yang diambil adalah lakukan cleansing data PBI dan bila memang penghuni klas 3 mandiri miskin ya masukkan saja ke PBI, sementara yang mampu bayar sendiri tanpa subsidi. Saya kira UU SJSN dan UU BPJS tidak boleh dilanggar oleh Pepres no. 64 ini. Kalau Pemerintah mau seperti Perpres 64 ini ya lakukan saja Perppu terhadap UU SJSN dan UU BPJS untuk memuluskan Perpres 64 tsb.

Di tengah pandemi ini pekerja informal yang sangat sulit ekonominya malah dinaikkan iurannya per 1 juli 2020 nanti untuk klas 1 dan 2, yang nilainya dekat-dekat dengan iuran yang sudah dibatalkan MA. Per 1 juli 2020 ini klas 1 naik lagi jadi 150 ribu per orang pee bulan. Klas 2 jadi 100 ribu. Klas 3 di subsidi 16.500 dan di 1 januari 2021 naik jadi 35.000 sehingga pemerintah hanya subsidi 7.000.
Rakyat sudah susah malah disusahin lagi. Rakyat yang tidak mampu bayar 150 ribu dan 100 ribu di juli 2020 nanti akan jadi non aktif. Tunggakan iuran akan meningkat lagi. Kalau non aktif tidak bisa dijamin. Terus hak konstitusional rakyat mendapatkan jaminan kesehatannya dimana ?

Memang Pepres 82 tahun 2018 mengamanatkan iuran ditinjau paling lama 2 tahun, tapi pasal ini juga harus melihat kondisi riil daya beli masyarakat seperti yang “diamanatkan” Hakim MA dalam pertimbangan hukumnya. Jangan juga Pemerintah aji mumpung pakai pasal itu untuk memberatkan masyarakat di tengah pandemi Covid ini.

Saya kira masih banyak cara mengatasi defisit, BUKAN dgn menaikkan iuran apalagi di tengah resesi ekonomi saat ini. Presiden harus melakukan evaluasi kepada seluruh anak buahnya yang terkait JKN, terutama evaluasi kinerja Direksi BPJS Kesehatan.

Pinang Ranti, 13 Mei 2020

Tabik

Timboel Siregar

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here