Bintang Timur, OCTOBER 30, 2020
“Jadi perseteruan kaum buruh dengan pihak pemerintah tampaknya masih berkepanjangan”
Setelah gaduh oleh berbagai versi naskah Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disahkan DPR RI pada 5 Oktober 2020, masih saja ada warga masyarakat yang mengalami kesulitan untuk mengakses situs resmi DPR untuk memastilan naskah mana yang sah dan falid untuk dijadikan pegangan. (Kompas.Com, Senin, 26 Oktober 2020).
Draft Undang-Undang Cipta Kerja itu pun terus mengalami perubahan yang membingunngkan, karena naskah resmi undang-undang yang disusun dengan mekanisme Omnibus Law itu belum juga bisa diperoleh. Itulah sebabnya gelombang aksi memprotes dan menolak Omnibus Law Cipta Kerja itu terus membludak terus mendesak agar Presiden Joko Widodo segera mencabut UU Cipta Kerja ini.
Cilakanya Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas juga mengaku ada perubahan substansi dalam draft final dengan draft yang beredar sebelumnya. Untuk Pasal 154A menurut dia sudah ada upaya mengembalikan ketentuan PHK itu sesuai dengan UU Ketenagakerjaan Perubahannya hanya menyesuaikan saja dengan kesepakatan yang sudah diambil sebelumnya dalam rapat panja, namun belum sempat ditulis di draft. Jadi tak ada penambahan pasal baru di luar kesepakatan rapat panja.
Wakil Ketua DPR Aziz Syamsudin juga mengatakan, draft naskah yang diserahkan oleh DPR ke Presiden terdiri dari 812 halaman. Naskah itu mengalami penyusutan halaman karena perubahan format kertas yang digunakan.
Sekjen DPR Indra Iskandar yang mengantar draf naskah setebal 812 halaman itu ke Sekretariat Negara, pada 14 Oktober 2020. Setelah naskah itu berada di Istana, naskah UU Cipta Kerja itu kembali berubah. Perubahan ini diketahui setelah Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyerahkan salinan draf UU Cipta Kerja itu ke Majelis Ulama Indonesia dan PP. Muhammadiyah.
Lain lagi cerita dari Wakil Ketua MUI Muhyiddin yang menyebut bahwa pihaknya mendapat naskah sejumlah 1.187 halaman itu dalam bentuk hard copy dan soft copy. Belakangan soft copy naskah 1.187 halaman seoerti itu yang beredar luas di kalangan wartawan.
Mensesneg Pratikno menyebut perbedaan halaman yang cukup signifikan terjadi karena adanya perbedaan format yang digunakan. Dia juga memastikan tak ada substansi yang berubah.
Yang runyam dalam suasana gaduh dan kacau seperti itu tiba-tiba dimunculkan masalah klasik kaum buruh ialah “kebutuhan hidup layak tidak lagi menjadi acuan”.
Kisah ceritanya masalah komponen kebutuhan hidup layak atau KHL tak lagi menjadi acuan dalam. perhitungan upah minimum pada masa selanjutnya
Kementerian Ketenagakerjaan justru masih mencari bentuk pengganti KHL (Kompas.com 30 Oktober 2020)
Begitulah jadinya, Rancangan Peraturan Pemerintah tentang pengupahan sebagai aturan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja telah meniadakan komponen kebutuhan hidup layak dari perhitungan upah minimum seperti yang berlaku sebelnya. Karena rancangan peraturan pemerintah itu juga tidak mengatur secara detail batasan jenis pekerjaan yang dapat dibayar dengan upah per jam. Karena itu semakin jelas hak pekerja untuk mendapat upah demi hidup dan kehidupan yang layak menjadi terancam.
Adapun rincian Penghapusan komponen dari kebutuhan hidup layak (KHL) itu seperti tercantum dalam Pasal 43 Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengupahan.
Saat ini, RPP itu sedang dibahas dalam forum tripartit antara pemerintah, pengusaha, dan perwakilan serikat buruh. Namun realitas dari pembahasan itu pula yang ditolak oleh buruh dan serikat buruh. Sebab logikanya Omnibus Law Cipta Kerja itu sebagai biangnya kegaduhan toh bel ada titik temu.
Atas dasar inilah perseteruan antara buruh dengan pihak pemerintah yang membuat UU Cipta Kerja dalam model Omnibus Law masih akan terus berlanjut. Karena dapat diperkirakan bila pemerintah tidak mungkin mau surut atau membatalkan UU Cipta Kerja yang dianggap oleh kaum buruh itu telah hanya mendatangkan malapeta.*
Penulis : Jacob Ereste