Makam Pahlawan hanya untuk mereka yang dicatat oleh birokrasi, dan kata “pahlawan” itu sendiri adalah cara pandang. “Pahlawan” sejatinya adalah ruang semat yang lepas dari bisingnya kategori. Pahlawan bisa terkubur dimana saja, bahkan melebur bersama udara dan samudera tanpa nama.

8 Mei 1993, hari itu Marsinah meninggal dunia setelah sebelumnya dijemput 10 orang bertubuh kekar. Tidak ada enkripsi apalagi testimoni. Hanya secarik otopsi yang menyatakan dia mengalami penganiayaan berat: kemaluannya hancur dan tengkorak kepalanya rusak oleh hantaman benda tumpul. Marsinah meregang nyawa setelah rasa sakitnya tak tertahan. Perjuangannya sebagai buruh yang menyuarakan ketidakadilan dihabisi tak tersisa. Ia berjuang demi kenaikan upah dari 1.700 menjadi 2.250 di pabrik arloji tempatnya bekerja. Angka yang tak seimbang dengan nyawa.

Beberapa orang ditangkap dan diadili – mereka yang pada dasarnya tidak tahu apa-apa. Dalam sidang pengadilan mereka divonis beragam, yang pada akhirnya dibebaskan oleh sidang lanjutan setelah ternyata para terdakwa tidak terlibat apapun. Mereka bebas murni. Pelaku sebenarnya tidak pernah terungkap hingga sekarang.

Marsinah berada di waktu yang salah. Dia hidup di masa Orde Baru dimana nyawa kaum jelata kadang sesederhana rekayasa. Tapi takdir memang bukan wacana yang bisa ditawar. Keberanian di hadapan para pengecut, seringkali harus dihadapi dengan persekusi. Keberanian seorang Marsinah dalam kegelisahan totalitarian, sama dengan jumlah pasukan berlapis-lapis.

Marsinah mewakili ribuan pahlawan lainnya yang tak sempat bersaksi saat ini; betapa lumuran darah telah menghiasi tangan Orde Baru. Yang oleh keluarga dan para penjilatnya sekarang, anyir darah disulap paksa beraroma melati. Aroma bunga yang sejatinya milik “Marsinah-Marsinah” yang telah terkubur tanpa salvo.

Wahai anak muda hari ini, banyaklah bertanya. Itulah suasana kami pada masa Orde Baru. Kalian juga harus tahu, betapa keberanian masa itu harus berlarian di tengah intaian banyak tikus yang mengerat di lumbung padi Cendana. Kalian juga harus berkaca, agar bisa membandingkan masa lalu dengan apa yang kalian alami hari ini, sejujur-jujurnya. Apa adanya.

Menolak Lupa

Penulis
Islah Bahrawi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here