Menerima dan menolak Upah Minimum Propinsi adalah Hak setiap Serikat Buruh/Serikat Pekerja. Tapi coba kita mulai berdiskusi bahwa :

1. Mengatasi kesenjangan upah antar daerah bukan dengan cara menekan yang cepat supaya melambat, tapi bagaimana mempercepat yang lambat agar dapat menyusul yang cepat.

2. Jika upah hanya dipandang sebagai cost semata, maka kesejahteraan bagi buruh akan sangat sulit terwujud.

3. Menjadi pertanyaan, siapakah sebenarnya yang banyak berkeluh kesah tentang UM. Pengusaha asingkah, atau Pengusaha lokal ? Rasa-rasanya sangat jarang Pengusaha asing mengajukan penangguhan upah di masa-masa lalu (sebelum UU Ciker).

4. Jika UU Ciker dimaksudkan untuk membuka peluang kerja yang seluas-luasnya demi menekan angka pengangguran, maka seharusnya bukan dengan melonggarkan perlindungan bagi mereka yang sudah bekerja, termasuk perlindungan terhadap upahnya.

5. Mencermati sejumlah regulasi yang diterbitkan, kerap terjadi ketidaksesuaian antara satu dengan yang lainnya. UU Ciker sebenarnya tidak berdiri sendiri. Harus dipahami bahwa UU 13/2003 sebagian besar masih berlaku. Demikian juga UU PPHI, masih utuh berlaku.

6. Jika regulasi bersifat jaring pengaman (safety net) yang memiliki nilai minimal, maka mestinya didorong (bukan dipaksa) agar di setiap perusahaan ada Serikat Pekerja. Dengan Serikat Pekerja, maka ada peluang utk menyusun PKB dengan nilai dan kualitas syarat-Syarat kerja yang di atas ketentuan UU. Sayangnya sosialisasi tehadap UU No.21 tahun 2000 tentang SP/SB sangat terbatas (beda yaa dgn sosialisasi terhadao UU Ciker yg sangat massive).

Masih sangat banyak pekerja yang belum berserikat dan tidak sedikit Perusahaan yang menerapkan Union Busting. Padahal Serikat sangat penting dan ujung tombak dalam hal perlindungan bagi Pekerja (di tengah apatisme terhadap pengawasan dan penegakan hukum).
Nah, gitu Monggo bebas ditanggapi/didiskusikan.

Redaksi SBSINEWS
17 November 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here